Kau adalah Sperma yang meliuk-liuk, bergerak bebas. Bergerak liar,
memburu mangsa. kau bertarung dengan kawanmu sendiri. Walau aturan
dihidangkan, kau bebas memilih. Memilih dengan mengusai kebebasan.
Tiap kebebasan menurut aturanmu. Sehingga kau adalah makhluk
pembebasan. Kau usulkan kebebasan kehidupan dengan aturanmu. Kau
membuat patung simbol kebebasan. Tak puas, sampai kau bebas
mengharapkan 1001 lebih kenikmatan, datang atas nama kebebasan
kehidupan. Dan kau bebas menikmati. Bebas pula mengingkari seribu
satu kenikmatan.
Pantaslah malaikat di atas langit merasa iri melihatmu. Kau punya surat
kuasa untuk bebas merusak. Kau hanya makhluk perusak kehidupan
dunia. Kau sombong. Kau berlagak berkuasa. Unggul di antara para
makhluk Tuhan.
“Kenikmatan sudah kau raih.”
Kau terlahir. Kau telentang. Kau merangkak. Kau berjalan. Kau berlari-lari.
Kau sanggupi kehidupan. Nafsumu memburu garang seiring dewasamu.
Kau memburu makanan, memburu harta, memburu kuasa, memburu
cinta, dan memburu segalanya. Tapi kau berhasrat memburu dunia dari
sisi gelapnya.
“Kenikmatan hidup kau peroleh. Kau hirup udara kebebasan hidup.”
Kau lapar, makan. Kau haus, minum. Tapi kau lahap dengan kenikmatan
rakus. Seolah kerakusan adalah kenikmatan. Kau pun tahu, kenikmatan
tidaklah dari suatu yang berlebih dalam kepemilikan. Melainkan dari suatu
yang bernilai berbagi. Perutmu butuh nilai pembagian. Jangan kau selalu
isi dengan kekenyangan. Berilah kebebasan untuk kehidupan laparmu.
“Masihkah kau mau menikmati?” Kau terdiam saja. Padahal kau punya
kenikmatan mulut dalam berbicara. Mungkin kau bebas dalam penentuan
jadwal bicaramu. Kau berhak itu dan kau hanya berhak menerima
acuhmu.
Lalu kau pergi. Meninggalkan aku. Bergerak bebas. Dasar Sperma! Kau
hanya mengurusi kehidupanmu sendiri. Berurusan dengan orang lain
hanyalah untuk kepentingan nafsumu.
Malam kau membawa barang. Sembari lelah. Cemas menemani pula.
Kau kucurkan keringat di tubuh. Keringkan tubuh dalam tempat teduh.
Lalu kau pamerkan perhiasan yang ada pada potongan jari, dompet
bercampur darah, dan celana dalam perawan berwarna kelabu. Sungguh
inilah caramu mempertahankan hidup. Sperma hina semakin hina,
berwarna lumpur lapindo.
Betapa kau malas melongok sisi terang. Padahal kenikmatan sejati ada di
dalamnya: menerangi dunia dan menampakkan keindahan di tiap bunga-
bunga. Betapa kau hanyut dalam sisi gelap, di saat indah bunga tak akan
berwarna tanpa cahaya. Bunga tak ada keindahan. Tak nikmat dipandang
mata. seharusnya kau berpikir, tak ada kehidupan bila dunia gelap gulita.
Kau bebas memakai warna kegelapan: wajah kegelapan, berbaju
kegelapan, ruang nongkrong kegelapan, dan cinta dalam kamar
kegelapan.
“Inikah kenikmatanmu dalam hidup?”
Kau hanya suguhkan kemarahan padaku. Kau tak menjawab. Kau
tinggalkan pertanyaanku begitu saja, Sperma! Apakah kebebasan
bersuara tak ada untukku? Untuk seorang pengagum kenikmatan terang
cahaya. Sungguh, cuma dunia gelap yang bebas bersuara, bebas
menyuruh orang untuk memasukinya. “Kau tak akan merasakan
kenikmatan sejati bila menikmati dengan kemarahan!”
Berhari-hari kau luangkan waktu hanya untuk berburu harta iblis yang
maha terkutuk. Berhari-hari pula kau pamerkan hasil kegelapanmu
padaku. Kau pun menyuguhkan hasil itu untukku. Tapi aku tolak, Sperma!
Kau merasa senang menjual barang najis itu. Tapi entah, apa yang kau
senangi terhadap barang itu. Padahal hidupmu tertekan kehidupan itu
sendiri karena barang itu. “Mana ada dunia gelap yang nyaman di saat
kegelapan itu menutupi kehidupan? Kau akan tertabrak, atau menabrak.”
Lantas kau meningkat derajat. Nasib beruntung tetap hadir pada seorang
pengagum dunia gelap. Kau tersenyum nikmat. Usaha kegelapanmu
meledak sukses. Sperma mafia, kini berkuasa. Kau banyak harta. Harta
banyak, berlebih, sampai di tangan bawahanmu, di selimut
selingkuhanmu, di legalitas rumah pelacuran, di saku aparat, di bra bunga
raya, dan di amplop penguasa politik. Sampai kau melenggang santai tak
tertekan lagi tentang pemburuan itu. Kau telah punya kuasa.
“Apakah hidup muliamu masih terasa nikmat di saat kemuliaan hidupmu
diperoleh dari jalan kegelapan?”
Kau hanya tersenyum. Lantas kau pergi.
Sampai berhari-hari kau pergi. Kini kau kembali. Sepulangnya di rumah,
kau bawakan oleh-oleh gadis cantik. Kau pamerkan ke hadapanku.
Lantas kau bermain dalam kegelapan kamarmu.
Terus-menerus kau selalu bawakan gadis. Kau menusuk dengan ilusi
cinta sehingga mereka cucurkan darah duka atau cucurkan darah
kenikmatan. Entah apa keinginanmu. Kau bertingkah dengan spermamu.
Nafsu-nafsu bersarang, menyerang: dalam kelembutan atau kekerasan.
Menusuk, menerobos pembatas, dan kau leluasa. Setelah itu kau bebas
tak peduli. Kau nikmati sendiri. Kau tinggalkan gadis-gadis itu. lalu, gadis-
gadis itu menjadi bunga raya sejati karena ulahmu.
“Apakah kenikmatan bisa dirasakan sejati bila bermain kelamin?”
Kau tertawa saat aku bertanya. Seolah-olah memang benar tentang
perkiraanku. Dan aku melongok lagi pada keburukannya.
“Siapakah yang menjual gadis-gadis?” Bukankah kegadisan hanya bisa
dibeli dengan perantara penghulu, saksi dan seindah mahar?”
Kau beralasan. Kau bisa beralasan. Kau seenaknya beralasan dengan
kebebasan kekuasaan. Kau merujuk pada kisah para tokoh mewah yang
beristri sepuluh, bahkan lebih, lewat jual-beli rahasia. Sah. kau tak perlu
menutup aib-lewat jual-beli rahasia-dalam menikmati rembulan-rembulan
remaja. Tak seperti para tokoh mewah lainnya. Memang, kau
penganggum kegelepan hidup yang sejati.
“Sialan kau, Sperma! Aku tetap tak terima!”
Lihat saja para korban akibat ulahmu, Sperma. Kini akibat kesuksesanmu
menguasai jagat dengan label kebebasan yang hakiki, menyebar luas
tema tentang kebebasan. kerap kali kebebasan ini mengikuti kebebasan
warna kehidupan gelapmu.
Kebebasan sex, tapi kerap kali melakukan kebebasan pelecehan seksual.
Beringas dalam melakukan kepungan terhadap mangsanya. Mengikat
cincin tapi selingkuhan dimana-mana. Kerap kali memaksakan kehendak
dengan muslihat: iming-iming mendapat kerja, rayuan cinta, dan dengan
segala macam paksa halus di saat para korban tak mau dalam hal yang
berbau sex.
“mereka sebut itu adalah kenikmatan?”
Kau jawab pertanyaanku dengan mencolek dua buah kenikmatanku.
“Biadab!!!”
Pergaulan bebas tapi kerap kali saling hantam, saling tusuk, saling gasak,
saling paksa, saling menguasai dan segala macam pergaulan bebas
lainnya.
“Itu bukan pergaulan bebas! Tapi kegiatan pengurungan diri dalam
tempurung! Hidup mereka akan penuh mata-mata ancaman!”
Plak. Plak. Plak.
“Biadab! Itukah kenikmatan pergaulan bebasmu denganku?!”
Kau menyumpal mulutku dan mengikatku. Membawaku ke ruang gudang.
Di situ kau seenaknya melecehkan tubuhku. Kau menghalangiku
beribadah. Kau mencegahku berbicara. Kau tak memberikan pergaulan
bebas untukku. Kau menutup semua jalan kebebasan.
“Masih adakah tempat untuk menikmati kebebasan hidup dalam dunia
terang, di saat kebebasan dunia gelap menguasaiku?”
“Sialan! Aku tak terima perlakuanmu ini! Aku masih ingin mengomentari
kehidupanmu! Aku masih punya pertanyaan tentang kebebasan
beragama untukmu, kebebasan berpikir untukmu, dan segala macam
pertanyaan tentang kenikmatan kebebasan untukmu. Tolong buka ikatan
ini!”
Aku tanya dalam hati, Sperma! “Apakah aturan kebebasan gelapmu
hanya untuk mendapat kenikmatan hidup semata?”
Cerpen Karya : ELBUYZ
Pemilik situs : www.ebookbisnis.siteindo.com