|
StarPlus.in |
Sebelumnya...
Putra-putra Pandawa dan Kaurawa mempelajari ketram- pilan menggunakan berbagai senjata perang dan ber- latih berperang di bawah bimbingan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona. Setelah cukup lama belajar dan berlatih, kedua mahaguru itu menentukan hari baik untuk menguji kecakapan mereka di hadapan Raja, para kerabat, para
panglima dan rakyat.
Pada hari yang telah ditentukan, semua hadir di seke- liling arena olah senjata di istana untuk menyaksikan para putra raja yang mereka kasihi bertanding memperlihatkan kemahiran masing-masing.
Di antara semua pangeran yang akan diuji kebolehan- nya, Arjunalah yang memiliki kemampuan melebihi para pangeran lainnya. Ketika memasuki arena, ia disambut tepuk tangan gemuruh dan sorak sorai membahana. Semua yang hadir mengelu-elukannya. Melihat sambutan luar biasa yang diterima sepupunya, Duryodhana menge- rutkan alisnya yang hitam tebal. Wajahnya keruh dan matanya menyorotkan rasa dengki, amarah dan iri hati.
Satu per satu para pangeran dipanggil ke tengah arena untuk menunjukkan kemahiran mereka dengan saling berlaga. Tak satu pun dapat mengalahkan kesaktian dan kemahiran Arjuna. Pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore merambat menjadi senja temaram. Suasana di arena semakin seru. Tak henti-hentinya rakyat bersorak- sorai memberi semangat kepada pangeran pujaan mereka.
Dalam keremangan senja, tiba-tiba terdengar suara gemuruh menderu-deru dari arah gerbang arena, disusul ledakan menggelegar seperti sambaran halilintar. Itu ada- lah bunyi ledakan senjata hebat sebagai tanda adanya tantangan kepada sang pemenang ujian laga hari itu. Semua kepala menoleh ke arah gerbang. Orang-orang menyibak, memberi jalan bagi seorang pemuda gagah perkasa yang wajahnya bersinar-sinar. Pemuda itu maju ke tengah arena, mendekati Arjuna tanpa mempedulikan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona.
Para Pandawa, yang tidak mengetahui bahwa pemuda itu adalah Karna, saling berpandangan dengan hati ber- tanya-tanya. Mereka tidak tahu suratan nasib yang sedang mereka hadapi. Mereka tidak tahu, sesungguhnya Karna adalah saudara mereka satu ibu.
Sampai di depan Arjuna, Karna berkata dengan suara lantang dan bergema bagai guruh, “Wahai Arjuna, aku menantangmu adu kemahiran olah senjata. Akan kuperli- hatkan padamu, siapa sesungguhnya yang lebih sakti di antara kita berdua.”
Tiba-tiba Mahaguru Drona bangkit berdiri lalu mening- galkan tempat duduknya. Sementara itu, Karna yang sangat ingin menunjukkan kesaktiannya, dengan mudah dan dengan sikap tak peduli dapat menandingi semua kecakapan olah senjata yang ditunjukkan oleh Arjuna.
Melihat itu, Duryodhana merasa senang. Dia maju ke tengah arena, menyalami Karna, lalu memeluknya erat- erat sambil berkata, “Selamat datang wahai kesatria sejati. Senjata Tuan sungguh luar biasa. Kami sungguh berun- tung Tuan sudi datang kepada kami. Kami, keturunan wangsa Kuru, siap menunggu perintah Tuan.”
Karna menjawab, “Aku, Karna, berterima kasih kepada- mu, wahai Pangeran. Hanya dua hal yang aku butuhkan di sini. Pertama, cinta kasihmu. Kedua, kesempatan untuk bertarung melawan Partha alias Arjuna.”
Sekali lagi Duryodhana memeluk Karna erat-erat sambil berkata, “Semua harta kekayaanku akan kuserahkan
kepadamu demi kebahagiaanmu, Tuan.”
Rasa bangga memenuhi dada Duryodhana. Tingkah laku dan ucapannya membuat Arjuna tersinggung dan marah sekali. Dengan tajam ia memandang Karna yang berdiri tegak dengan angkuhnya sambil menerima salam dari para Kaurawa.
Arjuna berkata, “Hai Karna, akan kubunuh dan kukirim engkau ke neraka. Berani benar kau masuk ke arena ini tanpa diundang dan bicara sombong di depan kami semua.”
Karna tertawa terbahak-bahak, lalu berkata dengan nada mengejek, “Arena ini terbuka bagi siapa saja, hai Arjuna! Bukan hanya bagimu. Kekuasaan yang bertuah adalah kekuasaan yang berdaulat, dan hukum ditata ber- dasarkan kedaulatan itu. Tetapi, apa gunanya banyak cakap? Cakap kosong adalah senjata kaum lemah. Bidik- kan panahmu, jangan kata-kata!”
Mahaguru Drona memberi isyarat, mengijinkan Arjuna menerima tantangan itu. Segera setelah berpelukan dengan saudara-saudaranya, Arjuna berdiri tegak, siap untuk bertanding. Sementara itu, Karna yang senang karena sambutan hangat Kaurawa, segera bersiap untuk menghadapi Arjuna.
Hari menjelang malam, namun tiba-tiba langit menjadi terang benderang seakan-akan para dewata dan orangtua para pahlawan datang hendak mengelu-elukan putra-putra mereka dalam olah perang tanding. Memang demikianlah, Batara Indra Dewa guruh dan petir, Batara Bhaskara Dewa sinar abadi, serta Batara Surya Dewa matahari muncul di angkasa. Semua yang hadir di sekeliling arena terpana melihat keajaiban itu.
Sementara itu, begitu melihat Karna yang tampan, Kunti langsung mengenali putra sulungnya. Ia terkejut, sedih dan cemas melihat kedua putranya berhadapan, siap mengadu kesaktian. Tak kuasa menahan kegalauan hatinya, Dewi Kunti jatuh pingsan. Widura menolongnya hingga sadar kembali. Dewi Kunti berdiri terpaku, tak tahu
harus berbuat apa.
Ketika Arjuna dan Karna telah siap untuk berperang tanding, Mahaguru Kripa yang menguasai aturan segala jenis pertempuran, turun ke tengah arena lalu berdiri di antara keduanya. Kemudian ia berkata, “Putra raja yang siap bertempur dengan Tuan ini adalah putra Pritha dan Pandu dan berasal dari keturunan wangsa Kuru. Sadarlah, wahai kesatria perkasa, nenek moyang Tuan dan wangsa Tuan telah memberikan contoh mulia tentang asal usul Tuan. Hanya setelah mengetahui asal usul Tuan, Partha boleh bertempur melawan Tuan. Menurut aturan perang tanding, putra raja yang bergaris kelahiran mulia tidak boleh bertanding melawan seorang petualang yang tak dikenal.”
Mendengar kata-kata mahaguru itu, serta merta Karna tertunduk lunglai bagai sekuntum teratai layu. Tetapi Duryodhana bangkit, berdiri tegak, lalu berkata lantang, “Kalau perang tanding ini tak bisa dilangsungkan hanya karena Karna bukan seorang putra raja, mudah saja. Aku nobatkan Karna sebagai Raja Angga.”
Setelah berkata begitu, ia meminta Bhisma dan Drita- rastra untuk mempersiapkan upacara penobatan. Mahkota bertahtakan permata dan semua lambang kebesaran raja segera disiapkan. Dalam waktu singkat, Karna, yang ma- suk ke arena sebagai anak seorang sais kereta, dinobatkan menjadi raja Kerajaan Angga. Dengan demikian, martabat kedua orang muda itu kini sepadan.
Ketika keduanya siap bertanding, tiba-tiba muncullah Adhirata, ayah angkat Karna. Sambil mengacungkan tong- katnya, ia maju ke depan. Tubuhnya gemetar karena amat cemas. Adhirata terkejut melihat anaknya mengenakan mahkota raja.
Melihat ayahnya, Karna mengunjukkan sembah hormat dengan kepala tunduk. Adhirata memeluknya dengan tangan gemetar dan air mata berlinang-linang. Hatinya terharu, penuh cinta berlimpah-limpah. Wajahnya yang sudah keriput teperciki air suci yang menetes dari mahkota
Karna.
Pada saat itulah Bhima tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Oo, ternyata ia anak sais kereta kuda. Tariklah kereta dan paculah kudamu seperti yang dikerjakan ayahmu! Engkau tak cukup berharga untuk mati di tangan Arjuna. Kau juga tidak pantas menjadi raja Kerajaan Angga.”
Mendengar kata-kata Bhima yang tajam, bibir Karna bergetar karena sangat marah. Begitu marahnya dia, hing- ga tak kuasa berkata-kata. Ia hanya menatap matahari yang sedang tenggelam di yojana barat sambil menarik napas panjang.
Tetapi, Duryodhana berteriak memotong kata-kata Bhima yang menghina, “Hai Wrikodara, tak pantas engkau berkata demikian. Hakikat seorang kesatria adalah keberaniannya, bukan asal kelahirannya. Karena itu, tak ada gunanya kau bicara tentang asal usul seorang pahlawan besar atau mata air sungai yang mahaluas. Aku bisa berikan ratusan orang yang berasal dari kelahiran sederhana sebagai contoh bagimu. Aku tahu, sungguh tidak enak ditanyai mengenai asal usul. Lihatlah kesatria ini, perawakan dan sikapnya bagai dewata. Senjata dan anting-antingnya yang kemilau! Lihatlah kemahirannya mempergunakan berbagai senjata! Pastilah ada sesuatu yang tersembunyi tentang dirinya. Sebab, bukankah tidak mungkin seekor harimau lahir dari perut seekor biri-biri? Katamu ia tidak pantas menjadi Raja Angga. Sebaliknya, aku menganggap dia sangat berharga dan pantas meme- rintah seluruh dunia.”
Setelah berkata begitu, Duryodhana menyambar Karna, menaikkan ke keretanya, lalu memacu kereta itu secepat kilat, meninggalkan arena.
Matahari pun langsung lenyap dari angkasa. Langit gelap gulita. Rakyat bubar dengan ribut. Suasana kacau balau. Orang berkelompok-kelompok membicarakan peris- tiwa yang baru saja terjadi. Ada yang memuji Arjuna, ada yang memuji Karna, ada pula yang memuji Duryodhana.
Batara Indra tahu, pertarungan sengit antara putranya dan putra Batara Surya tak mungkin dihindari lagi. Jika tidak saat ini, pasti akan terjadi kelak di kemudian hari. Untuk melunturkan kesaktian Karna, Batara Indra menya- mar sebagai seorang brahmana. Ia pergi menemui Karna yang terkenal sangat dermawan. Ia memohon agar diberi anting-anting dan senjatanya. Karna tak dapat menolak permintaan seorang brahmana, walaupun Batara Surya telah memperingatkannya dalam mimpi, bahwa Batara Indra akan mencoba mencuri kesaktiannya. Akhirnya, Kar- na memberikan anting-anting dan senjata yang dibawanya sejak lahir kepada brahmana itu.
Batara Indra kaget tetapi senang menerima pemberian itu. Ia memuji Karna yang rela meluluskan permintaan itu. Karena malu melihat ketulusan hati Karna, Batara Indra menawarkan senjata sakti kepada pemuda itu.
Karna menjawab, “Aku ingin memiliki senjatamu yang sakti, agar aku mampu mengalahkan semua musuhku.”
Batara Indra mengabulkan permintaan Karna dan mem- berikan mantra senjatanya yang mahasakti sambil berkata, “Senjata ini hanya akan dapat engkau gunakan satu kali saja. Siapa pun musuhmu, betapa pun saktinya dia, kau pasti dapat memusnahkannya dengan senjata ini. Tetapi, setelah sekali kaugunakan, kau tidak dapat menggunakan- nya lagi. Dan... ingat, begitu selesai kaugunakan, senjata ini harus kaukembalikan kepadaku.” Setelah berkata demikian, Batara Indra kembali ke kahyangan.
Berbekal senjata pemberian Batara Indra, Karna pergi menemui Parasurama. Ia menyamar sebagai seorang brah- mana agar diterima menjadi muridnya. Dari Parasurama ia mempelajari mantra agar dapat mempergunakan senjata terunggul yaitu Brahmastra.
Pada suatu hari, Parasurama meletakkan kepalanya di pangkuan Karna dan jatuh tertidur. Seekor serangga menyelinap ke kaki Karna dan menggigit pahanya sampai berdarah. Walaupun sangat kesakitan, sedikit pun Karna tidak bergerak karena khawatir gurunya akan terganggu
tidurnya.
Beberapa waktu kemudian saat Parasurama terbangun dan melihat darah mengalir dari paha Karna, ia berkata, “Muridku terkasih, engkau pasti bukan seorang brahmana. Hanya seorang kesatria sejati yang dapat menahan segala siksa ragawi tanpa bergerak sedikit pun. Katakan padaku, siapa sebenarnya dirimu.”
Karna mengaku bahwa ia telah berdusta dengan menya- mar sebagai brahmana. Ia berkata bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah anak sais kereta kuda.
Mendengar itu, Parasurama menjadi marah dan mengu- capkan kutuk-pastu pada Karna, “Hai, anak muda, berani benar engkau menipu gurumu. Sebagai hukuman, Brah- mastra yang telah engkau pelajari takkan bisa kaugunakan di saat yang menentukan hidup-matimu. Engkau takkan mampu mengingat mantra panggilan itu pada saat engkau memerlukannya.”
Kelak, ketika melawan Arjuna di medan perang Kuruk- shetra, Karna tak bisa mengingat mantra pemanggil senja- ta Brahmastra karena kutuk-pastu Parasurama.
Setelah diusir oleh Parasurama, Karna kembali ke Ang- ga dan kemudian menjadi kawan tepercaya Duryodhana. Sampai saat terakhir hidupnya, Karna selalu setia kepada Kaurawa bersaudara karena merekalah yang telah membe- rinya kehidupan yang lebih baik dan selalu menghargainya sebagai kesatria yang sederajat. Dalam perang besar Bharatayuda, setelah Bhisma dan Drona mangkat, Karna diangkat menjadi senapati agung yang memimpin bala- tentara Kaurawa dengan gagah berani.
Bersambung...