Sebelumnya...
Maharaja Yayati adalah putra Raja Nahusha dan salah seorang nenek moyang Pandawa. Ia tidak pernah kalah dalam peperangan. Ia selalu mengikuti petunjuk- petunjuk kitab suci Sastra, menyembah Tuhan dan menghormati nenek moyang dengan pengabdian yang tak pernah putus. Ia menjadi masyhur karena pemerintahan- nya ditujukan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya, ia cepat menjadi tua karena kutuk-pastu Mahaguru Sukra yang diterimanya karena ia bersikap tidak adil terhadap Dewayani, istrinya. Yayati menjadi tua renta dengan cepat. Semangat hidupnya hancur, ia merasa malu dan terhina. Ia tak mampu lagi mereguk kenikmatan dunia, padahal gairah nafsunya untuk merasakan madu asmara masih menggebu-gebu.
Pada suatu hari, Yayati memanggil kelima putranya. Setelah mereka menghadap, ia berkata dengan lembut, meminta mereka agar sudi menolong ayah mereka. Kata Yayati, “Kutuk-pastu telah dijatuhkan oleh kakek- mu Mahaguru Sukra, membuatku tiba-tiba menjadi tua. Tahu-tahu aku menjadi tua sebelum waktunya, padahal aku belum puas mengecap kenikmatan duniawi.
“Ketahuilah, hai putra-putraku, sejak muda aku hidup dengan mengekang hawa nafsuku, menolak semua kese- nangan duniawi walaupun kesenangan itu wajar dan tidak melanggar aturan kitab-kitab suci. Setelah menikah de- ngan ibu kalian, belum lama mengecap kebahagiaan, tahu-tahu aku menjadi tua. Sebab itu, salah seorang dari eng- kau hendaknya membantuku memikul bebanku, mengam- bil ketuaanku dan memberikan kemudaanmu padaku. Siapa di antara kamu yang bersedia menolongku akan kuangkat menjadi raja negeri ini. Aku ingin menikmati hidupku sebagai orang muda yang penuh gairah.”
Pertama-tama ia bertanya kepada putra sulungnya. Putra sulungnya berkata, “Oh, Ayahanda Raja, semua perempuan dan dayang-dayang akan mencemoohkan aku kalau aku menjadi tua dalam umurku sekarang. Aku tidak sanggup menolong Ayahanda. Tanyailah adik-adikku saja.” Yayati bertanya kepada putranya yang kedua. Dengan lemah lembut pangeran itu menolak, “Ayahanda, Paduka menyuruhku menjadi tua, itu berarti Paduka menghancur- kan seluruh kekuatan dan ketampananku, dan seperti yang kutahu, itu juga kebajikan. Aku tidak mampu menghadapi hal ini.”
Selanjutnya, ketika giliran ditanya, putra yang ketiga menjawab, “Seorang lelaki tua tidak akan mampu naik kuda atau naik gajah dan bicaranya gemetar. Apa yang masih bisa kulakukan nanti jika tiba-tiba aku menjadi renta? Aku tidak sanggup.”
Maharaja Yayati marah mendengar penolakan ketiga putranya. Susah payah dia berusaha mengendalikan diri, menahan amarahnya, dan mencoba berharap pada putra- nya yang keempat. Ia berkata, “Maukah engkau mengambil ketuaanku? Maukah kau menukar kemudaanmu dengan ketuaanku, untuk sementara saja? Tidak lama. Ayah akan segera menukarnya kembali. Ayah akan mengambil kem- bali ketuaan itu dan itu akan membuatmu menjadi muda lagi.”
Tetapi putranya yang keempat meminta maaf karena ia tidak bisa melakukan itu. Putra keempat itu tahu, sebagai lelaki tua renta nanti, hidupnya akan bergantung pada orang lain. Ia akan terpaksa selalu meminta bantuan orang lain karena tak mampu membersihkan badannya sendiri, misalnya. Karena itu, betapapun sangat mencintai ayahnya, dia tak sanggup memenuhi permintaannya.
Perasaan Yayati kacau. Ia sedih, marah, dan kesal mendengar penolakan keempat putranya. Tetapi, masih ada satu harapan, yaitu putranya yang kelima. Putra bungsunya itu belum pernah menolak permintaan atau perintahnya. Katanya, “Engkau harus menolong ayahmu. Aku hidup sengsara karena ketuaanku ini, karena kulitku yang keriput, karena rambutku yang memutih, dan karena ketidakmampuanku. Semua ini gara-gara kutuk-pastu kakekmu, Mahaguru Sukra. Cobaan ini terlalu berat bagi- ku! Aku ingin menikmati masa mudaku beberapa waktu lagi. Maukah engkau mengambil ketuaanku untuk semen- tara? Setelah cukup puas, aku akan segera mengembali- kan kemudaanmu. Aku akan terima ketuaanku lagi dengan senang hati. Janganlah engkau menolak permin- taanku seperti kakak-kakakmu.”
Puru, putra bungsu Yayati yang sangat menyayangi ayahnya, berkata, “Ayahku, dengan senang hati aku akan memberikan kemudaanku kepadamu agar Ayahanda terlepas dari cengkeraman segala kedukaan dan kesusa- han dalam memerintah kerajaan. Ambillah kemudaanku dan berbahagialah Ayahanda!”
Mendengar jawaban itu, Yayati memeluk Puru. Ajaib! Begitu menyentuh putranya, seketika itu juga dia menjadi muda kembali. Sebaliknya, Puru tiba-tiba berubah menjadi tua.
Yayati memenuhi janjinya. Takhta kerajaan ia serahkan kepada Puru yang kemudian termasyhur sebagai raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sementara itu, Yayati hidup lama dan menikmati kehidupan sebagai orang muda. Ia reguk segala kenikma- tan duniawi dengan gairah yang tak pernah terpuaskan. Ia pergi ke Taman Kubera dan tinggal di sana selama bertahun-tahun bersama wanita-wanita cantik dan para bidadari. Bertahun-tahun ia melampiaskan hawa nafsunya dan menuruti semua keinginannya, tetapi tak pernah merasa puas. Di balik itu semua, ia merasa hidupnya hampa dan tak berarti karena hanya mengejar kenik- matan. Akhirnya ia sadar, semua itu sia-sia.
Yayati kembali ke kerajaannya lalu menemui Puru. Kepada putranya itu ia berkata, “Anakku sayang, sekarang ayahmu sadar. Ternyata nafsu berahi tidak dapat dilawan dengan melampiaskannya. Ibarat memadamkan api dengan minyak. Padahal aku sudah mendengar dan mem- baca ajaran itu sejak muda, tetapi tidak menyadarinya. Baru setelah menjalani kehidupan serba bebas tanpa kekangan, Ayah menjadi sadar. Tak satu pun keinginan duniawi, seperti gandum, emas, sapi, perempuan, dan lain- lain, dapat membuat manusia merasa puas. Tak satu pun dapat membuat manusia merasa damai. Kita hanya dapat mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Kete- nangan jiwa dan perasaan damai yang sejati adalah karunia mulia dari Yang Maha Kuasa.
“Wahai Puru putraku, ambillah kembali kemudaanmu dan perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana dan penuh kebajikan.”
Setelah berkata demikian, Yayati memeluk putranya. Seketika itu juga ia berubah menjadi tua renta dan Puru kembali menjadi muda. Puru meneruskan pemerintahan- nya dengan adil dan bijaksana.
Raja Puru mempunyai putra bernama Dushmanta, yang kelak kawin dengan Syakuntala, putri angkat Resi Kanwa. Anak Syakuntala dan Dushmanta dinamai Bharata. Kelak, anak keturunan Bharata menjadi wangsa yang termasy- hur.
Setelah mendapatkan kembali ketuaannya, Yayati pergi ke hutan. Di sana ia bertapa dan menjalankan ajaran- ajaran suci hingga tiba waktunya ia kembali ke surga.
Bersambung...