“Ini!” kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar.
”Berikan sama dia!
Aku harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?” Orang yang bernama
Kalingundil mengangguk.
Diambil surat yang disodorkan.
”Kalau dia banyak bacot.....,” kata laki-laki berkumis melintang itu pula,
”bikin beres saja. Berangkat sekarang, jika perlu bawa Saksoko!” Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu.
”Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!” Dibulatkannya tinju
kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.
”Brakk!!”
Papan meja pecah.
Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lanci ubin
dan ubin sendiri retak-retak!
Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah
yang
hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki
seorang diri.
”Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan
punya anak malah! Keparat!” Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di
muka
jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam
sebuah
kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati tenggorokannya, isi
kendi
itu sudah habis.
”Keparat!” maki Suranyali lagi.
Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah
berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah
sana
namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam menghilang kembali.
Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti itu.
Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih
badannya.
”Ludjeng!” teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas.
”Ya, Denmas Sura....”.
”Kau juga keparat!” damprat Suranyali pada perempuan itu.
Ludahnya menyemprot
dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
”Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau sudah
gila hingga lupa terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!.”
Wilujeng terdiam dengan tubuh
menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia memanggil dengan Sura padahal
sudah
sering Suranyali memerintahkan agar dia memanggil dengan nama Mahesa Birawa.
”Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila? Jawab!”
”Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa.....”
”Kalau tidak gila kau musti sinting! Ambilkan aku air, lekas!”
Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa segelas air
putih.
Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia duduk tenang-
tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang saat setahun
yang lewat.
Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka
terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci, dia
berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis itu. Memang akhirnya Suci
mau
juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka terhadap Sura
melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir.
Dia menduga
bahwa
kini Suci sudah terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Sura
menemui Suci dan berkata,
”Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun
lagi
aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku akan
mengawini kau.....”
”Tapi Kangmas Sura.....”
Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihanya Suranyali melangkah ke
hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.
Suci mundur.
”Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang.....”
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk menerangkan
bahwa dia tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak lamaran tadi! Dan dalam kepergian
Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang pemuda yang
dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama
sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali karena memang dia tidak mencintai
Suranyali
dan juga tak pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang
pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci
telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai seorang
anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini Ranaweleng
sudah
menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.
Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri, sebenarnya
mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur karena adalah memalukan
sekali
bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi kini
sudah
bersuami dan beranak pula.
Tapi dasar Suranyali bukan manusia berpikiran jernih, lekas
kalap
dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke
Djatiwalu
untuk membawa sepucuk surat ancaman kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika
didengar suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman.
Dia melangkah ke jendela dan
memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram
sanding jendela.
”Suci musti dapat..... musti dapat!” katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu.
”Kalau tidak.....,” Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya.
Sebagai gantinya tangan
kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah berantakan!!
Bersambung...