Gemuruh suara dari segala umur. Semua berkumpul dalam dalam acara
ngerujaki (acara selamatan tujuh bulanan seorang bayi dalam
kandungan). Bercampur pula dalam satu suara, mendendangkan syair
Hujan Rejeki, “Bitawur. Selamet dawa umur. Umure pirang taun. Nyai-nyai
dawa umur”. Sebuah syair sederhana yang bernuansa pengharapan
rejeki, bernuansa doa, dan bernuansa tradisi. Melangkapi kemeriahan.
Memang lagu Hujan Rejeki sudah menjadi ciri khas dalam menunggu tuan
rumah melemparkan kepingan-kepingan uang logam.
Keramaian mulai terlihat. Putri Kiyai Mansyur telah usai dimandikan
dengan air bunga. Airnya bercampur dari tujuh sumur pilihan dengan
dicampuri bunga tujuh rupa. Lemparan demi lemparan uang logam pun
terus menyerang, menyebar ke di sekumpulan orang. Orang-orang
berebutan. Lantunan syair salawat dari ibu-ibu yang berada di dalam
rumah tetap mengiringi kemeriahannya.
Tak lama, waktu membagi kegiatan. Waktunya azan berkumandang. Hari
Jum’at. Para lelaki pun bergegas pergi ke masjid. Sendiri atau bersama-
sama. Tak lupa, Kiai Mansyur bersama satu anak lelakinya yang masih
kecil pun pergi ke masjid. Melewati jalan. Jalan yang berkelok tak
beraturan.
Sampai akhirnya melihat bangunan masjid yang terlihat sederhana.
Berumur tua. Berpondasi kayu jati. Terhalangi pagar-pagar kayu ukir,
sebagai pembatas dari halaman luar. Tak ada tembok yang menutupi.
Terlihat terbuka. Hanya ruangan bagian dalam yang tertutup tembok.
“Abah, Ical ingin salat di dekat kolam itu Ayah.”
“Jangan di situ. Berisik, Ihsan.”
“Tapi aku suka Abaaah.”
Kiai Mansyur pun menuruti kemauan anaknya. Beliau dan anaknya
menuju ke arah utara masjid. Kiai Manysur dan anaknya menatap erat
pada keramaian di sekitar kolam, tempat pengambilan air wudu---
mengingat mengambil air wudu dengan cara tangan mencelup ke dalam
air kolam. Lalu, mereka berdua duduk bersama, tak terpisahkan.
Azan kedua berkumandang. Sang khatib (juru dakwah) memulai
berceramah. Tak lama, sekitar seperempat jam, ceramah selesai. Salat
pun dimulai.
Berhamburan. Banyak anak-anak kecil, gadis-gadis dan para ibu
mengelilingi kolam itu. Bersiap-siap untuk pengambilan air, dan mandi.
Sang Iman lantas membaca ayat suci. Ayat demi ayat dilantunkannya.
Sampai pada ucapan ayat terakhir, serentak para jama’ah mengucapkan,
“Aamiiiiin.”
Semua orang yang berkumpul di dekat kolam air ikut meramaikan,
mengalahkan gemuruh suara para jama’ah. Mereka mandi, dengan hati
seakan tak peduli. Suara-suara gemercikkan air yang menyatu terdengar
gaduh seakan bagai kuda-kuda yang berlarian di atas tanah yang berair.
Kiai Mansyur terusik. Anaknya pun bermain pandang dengan mereka.
Anaknya cekikikan melihat orang yang sedang mandi bersama.
Mata mereka seakan tak melihat, kalau ada orang salat yang terganggu.
Mereka beralasan, mandi di saat kata “Amin” diucapkan seakan mudah
mendapat berkah. Suatu keyakinan yang terlihat sudah menguat. Telah
berlangsung puluhan tahun. Entah, siapa yang mencetus kegiatan ini.
Tradisi “Mandi Jum’at” memang telah menjadi kebutuhan. Tidak lupa,
mereka pun mengambil bekas air wudu untuk pencarian berkah dengan
kegunaan yang bermacam-macam.
Mandi Jum’at sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Toh, yang mandi
bukan kaum lelaki. Sehingga para tokoh masyarakat sepertinya tak
mempermasalahkan hal itu. Tapi, seakan tidak untuk Kiai Mansyur.
Semenjak melihat anaknya ikut terhanyut dalam Mandi Jum’at, ia
menunjukkan ketidaksetujuan tentang kegiatan itu.
“Apa mereka tidak melihat di sampingnya ada orang salat? lirihnya. Beliau
diam sesaat.
“Kenapa kau tertawa waktu salat, San?” beliau melanjutkan kembali.
“Lucu Ayah. Ada teman SD Ical yang lagi mandi, hihihi.”
Kiai Mansyur hanya terdiam. Kening terlihat mengkerut. Pandangan mata
sedikit merunduk. sorot matanya sedikit tajam. Ada sesuatu yang
dipikirkan. Beliau terlihat tak lagi setuju dengan kegiatan Mandi Jum’at itu.
“Dulu saya paling suka bila mendapat air dari kolam masjid. Kakak saya
yang membawakan air itu. Kata orang tua bila minum air itu, diharapkan
menjadi orang yang pinter-bener, dan padang atine (cerah/bercahaya
hatinya). Tapi sekarang saya tidak setuju bila kegiatan itu terus-menerus
ada. Bukan masalah membenci tradisi. Tapi mengganggu itu loh,”
perkataan Pak Mansyur dihadapan istrinya sembari rebahan dalam sofa.
“Terus apa yang akan dilakukan, Pak? Apakah Bapak akan sendirian
menghilangkan kegiatan Mandi Jum’at tersebut? Bapak seperti satu
melawan seribu. Dan seribu itu berisi ratusan ribu kekuatan keyakinan.
Urungkan niat Bapak itu,” kata Ibu Fatimah menanggapi perkataan
suaminya.
“Nanti saya akan berbicara dengan Pak Umar seusai salat Asar.”
Istrinya hanya memandang lesu. Ibu Fatimah sangat mengetahui, kalau
waktu kecil suaminya gemar sekali meminum air dari kolam---di sebutnya
Air Jum’at---yang diambil bertepatan dengan salat Jum’at. Karena
memang, suaminya masih bersaudaraan dengannya. Anak dari buyut
yang sama---dan sering bermain bersama. Ibu Fatimah pun tahu, Kiai
Mansyur pernah menangis gara-gara tidak ada seorang pun yang
mengambil Air Jum’at itu.
“Bapak ini aneh. Seperti melupakan kehidupan dahulu. Kita hidup terikat
dengan sejarah, Pak. Bapak lupa?”
“Saya mengerti. Tapi ini bukan masalah kenangan dahulu. Ini hanya
membahas perlu perbaikan tentang tradisi.”
Tapi kenapa sampai memarahi anakmu. Dia sama persis sewaktu Bapak
kecil. Dia masih kecil, belum mengerti. Maklum saja ia tergoda. Tertawa-
tawa melihat kegiatan Mandi Jum’at. Apa lagi ada temannya yang
melakukan.
“Sudah! Itu hanya emosi saya. Tetap saya ingin membahas masalah ini
nanti.”
“Ya sudah, terserah Bapak. Tapi jangan seenaknya sendiri. Kebiasaan
Bapak yang selalu seenaknya sendiri, jangan ikut campur dalam
pembahasan tradisi Mandi Jum’at.”
“Lihat saja nanti.”
Azan dikumandangkan. Dilanjutkan dengan tembang pujian ketuhanan
untuk menunggu para jama’ah datang. Terlihat Kiai Umar melakukan salat
sunat dengan khusyu. Setelah itu, dilanjutkan dengan melakukan salat
Asar.
Waktu akhirnya memberikan kesempatan untuk Kiai Mansyur berbicara
secara santai kepada Kiai Umar---mengingat Kiai Umar adalah teman Kiai
Mansyur---sama-sama berumur lima puluhan. Kiayi Umar pun menyambut
dengan nuansa keakraban.
“Tentang masalah Mandi Jum’at,” Kiai Mansyur menjelaskan dengan gaya
yang terlihat santai.
“Lalu?” Kiai Umar menanyakan.
“Perlu dihilangkan atau diperbaiki. Itu mengganggu orang salat,Pak.”
“Walau terlihat kecil, sekedar mandi, tapi cukup kuat keyakinan dalam diri
masyarakat yang melakukannya.”
Kiai Umar menjelaskan kalau kita jangan terbiasa menyingkir suatu tradisi
yang memang sudah melekat erat. Apalagi tradisi Mandi Jum’at telah
dibaluti dengan nuansa keyakinan keagamaan. Khawatir akan membuat
luka. Berakibat timbul suatu kebencian terhadap masjid, lebih parah pada
agamanya. Otomatis tradisi lokal pun akan terkikis habis. Terkikisnya
tradisi lokal, berakibat terkikis tradisi nusantara.
Memang Mandi Jum’at dahulunya tidak ada, katanya. Hanya sekedar
pengambilan air tepat di hari Jum’at. Karena memang bekas air wudu---
apalagi bekas wudunya orang-orang saleh---banyak manfaatnya. Tapi
kini, hari Jum’at bukan saja pengambilan air wudu tapi juga melakukan
mandi, tepat di saat “amin” dari para jama’ah diucapkan.
“Saya tahu. Tapi itu sangat menggangu. Lebih parah, mengganggu orang
salat. Sampai anak saya tertawa-tawa dan melalaikan ketenangan salat.”
“Lebih baik kita panggil teman-teman kita. Pak Nasir, Pak Haris, dan Pak
Syifa. Itu saja.”
“Buat apa?”
“Lihat saja nanti.”
Lalu Kiai Umar menyuruh salah satu penjaga masjid untuk memanggil
ketiga orang itu.
Kiai Nasir yang ahli dalam ilmu falak (perbintangan). Pernah diceritakan
beliau mampu memperkirakan kapan lampu rumahnya akan pecah. Kiai
Haris sebagai orang yang ahli dalam ilmu kebatinan, mampu melihat
sesuatu yang gaib. Kiai Lukman sama halnya dengan Kiai Umar dan Kiai
Mansyur yang hanya sebagai pembimbing spiritual.
Masjid terlihat lengang. Hanya ada seorang penjaga masjid. Suasana di
luar nampak berwarna gelap. Terlihat para santri berlalu lalang, sehabis
bermain atau akan akan bermain.
Tak lama, satu per satu mereka datang. Mereka sedang tak mempunyai
acara. Memang hari Jum’at adalah hari istirahat mereka. Lalu mereka
duduk dengan santai. Mereka berlima duduk bersama di ruangan bagian
dalam yang terhalangi dinding.
Kita perlu membahas tentang masalah Mandi Jum’at. Ini usulan datang
dari Pak Mansyur.
“Sangat setuju, Pak. Lagi pula, tradisi ini sudah menyimpang.
Menyimpang bukan karena suatu yang menyesatkan. Tapi ini sudah
mengganggu kegiatan salat,” tanggapan setuju diucapkan oleh Kiai Haris.
“Apakah, tidak ada pembahasan lain yang lebih penting? Kenapa mesti
Mandi Jum’at yang kita bahas?” Sambut tidak setuju dari Pak Lukman.
Lebih baik, ada perubahan waktu. Lagi pula dahulu tak ada Mandi Jum’at.
Dulu hanya sekedar mengambil air di hari Jum’at. Ya, perlu perubahan
waktu agar suara gemercik orang-orang mandi tidak mengganggu para
jama’ah. Tapi itu juga menyulitkan,” tanggapan yang terlihat demokrat
terucapkan dari mulut Kiai Nasir.
Kiyai umar termenung. Seakan masih memikirkan solusi terbaik.
“Saya setuju pendapat dari Pak Haris dan juga Pak Nasir. Menurut Pak
Lukman, apa yang penting untuk dibahas? Perkara yang mengganggu
ketenangan salat harus segera diselesaikan,” kata Kiai Mansyur.
Kiai Lukman pun mengomentari perkataan Kiai Mansyur. Begitu banyak
tradisi-tradisi leluhur yang dianggap sakral, bahkan diakui pemerintah
sebagai suatu kekayaan tradisi Indonesia. Lantas sekarang dijauhkan
kehadirannya. Banyak yang enggan mempertahankan tradisi tersebut.
Mereka menilai sudah terlalu kuno. Lantas para pemuda sekarang beralih
pandang pada tradisi kebarat-baratan atau weternisasi. Padahal kita wajib
memelihara tradisi bangsa kita.
“Kalau masalah tradisi Mandi Jum’at, saya kira itu hal yang sepele. Ada
atau tidak ada tak dilihat pemerintah.”
“Pak Lukman dan Pak Mansyur mohon berhenti sebentar. Pak Haris
diberikan kesempatan untuk berbicara. Bergiliran. Itu mencirikan sikap
demokratis.
“Baik,” kata Pak Mansyur.
Kiai Haris pun menjelaskan dengan kaca mata gaibnya. Ia menerka-nerka
dengan batinnya di suasana ramai kegiatan Mandi Jum’at. Sebelumnya
beliau sudah melihat hasilnya. Hasil yang dahulu dengan yang sekarang
itu sama. Ada energi negatif yang menyelimuti kolam tersebut seiring
berkumpulnya sampai melakukan kegiatan mandi.
“Tapi saya tak tahu, apakah itu energi mahluk halus atau dari manusia
sendiri. Saya sulit menerka, karena bersamaan juga dengan kegiatan
salat,” kata terakhir dari Kiai Haris.
“Silahkan Pak Lukman.” Kata Kiai Haris.
“Tidak perlu saya lah.”
“Ya Sudah.”
Kini giliran Kiai Nasir berkomentar. Sebelumnya Beliau menerka-nerka.
Seakan imajinasinya adalah rangkaian matamatis yang bersifat gaib. Ia
ingin menangkap suatu perkiraan bagaimana dampak dari pergeseran
waktu Mandi Jum’at.
“Tak bisa dirubah waktunya. Percuma. Kecuali dihilangkan. Tapi itu juga
sulit. Perlu proses pelan-pelan dan membutuhkan waktu lama.”
“Saya mohon pendapat Pak Umar, kata Kiai Mansyur.”
Pak Umar termenung. Semua menunggu seucap kata Pak umar. Ucapan
dari seorang imam masjid seakan menjadi pamungkas dalam membahas
permasalahan Mandi Jum’at. Beliau lama termenung. Mereka pun harap-
harap cemas tentang jawaban.
“Begini,” seucap kata Kiai Umar seakan mencairkan suasana.
Sepatah kata terucap. Lalu kemudian bermain dalam kata untuk suatu
penjelasan. Lalu terlihat Pak Umar menundukkan kepala, seakan
wawasan yang ia peroleh memberatkan kepalanya. Beliau berpendapat,
tradisi Mandi Jum’at dan tradisi lain merupakan pengetahuan untuk anak-
anak kita. Biarlah anak-anak kita diperkenalkan pada suatu tradisi bangsa.
Mereka nanti tahu, toh manusia dahulu sanggup membentuk suatu tradisi
yang membumi, sakral, dan menjadi suatu kekayaan bangsa.
Sehingga, anak-anak kita mampu membentuk suatu tradisi baru---tidak
melulu manja pada tradisi lama. Dan tetap tradisi lama sebagai sejarah
untuk dasar melangkah. Sehingga tradisi lama yang bercirikan
kebangsaan kita sanggup masuk pada tradisi baru yang tercipta dari akal
budi pemuda penerus bangsa.
“Begitulah.”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com