Malam terasa menyeramkan. Suasana cukup gelap dan seakan dipenuhi
makhluk halus yang siap mengikat segala pergerakanku demi memenuhi
keinginan nafsu yang tidak aku inginkan. Kini malam yang tak bisa lagi
mendukungku untuk melepas diriku. Aku tertekan dalam ikatan sebuah
tali-temali yang terikat di tubuhku. Apakah ini malam-malam pengantin?
Kejam tetapi aku tak bisa apa-apa.
Memang aku kejam menolak segala perintah di tiap malam dari suamiku
sendiri karena ia pun sangat kejam memaksaku dan keluargaku untuk
mau menuruti kemauannya bila memang tidak mau sengsara.
Memang serba salah. Benar-benar serba salah menjalankan pernikahan
ini. Di satu sisi lain, Masjudi adalah suamiku. Di sisi lain aku tidak ingin
menyerahkan diriku untuk Masjudi. Tidak akan!
Kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku harus mengalami seperti Siti
Nurbaya? Bahkan aku diperlakukan lebih kejam melebihi Siti Nurbaya.
Seharusnya tidak seperti ini malam-malam pernikahan. Tetapi biarlah.
Aku membayang apa yang akan tertadi setelah beberapa kali aku tolak
permintaan suamiku.
“Oh Tidak! Walau dalam keadaan terikat dan suami memaksa, aku tidak
akan menyerahkan kehormatanku pada bajingan Masjudi! Tidak akan!”
Mungkin masjudi berpikir, “Kenapa dari awal pernikahan tidak pernah
menuruti keinginan suami. Seharusnya kau menuruti keinginan suami.
Baru kau tidak akan diperlakukan seperti ini!”
Tetapi sebelum menikah, apakah Masjudi menuruti keinginanku? Apakah
ia menerima dengan lapang dada kalau aku tidak mau menikah dengan
dirinya? Apakah ia mengerti hati seorang wanita yang sedang jatuh cinta
bersama lelaki pilihan? Apakah seorang wanita hanya berhak untuk
menerima dan tidak berhak untuk menolak?
“Kenapa lelaki selalu ingin menang sendiri!” Bentakku saat sudah ada
masjudi didepanku.
“Kau jangan banyak bacot! Ini ganjaran bagi istri yang menolak
permintaan suami! Malaikat pun melaknatmu, istri durhaka!”
“Tapi kau telah berbuat kejam dengan memanfaatkan kondisi keluargaku!”
Masjudi sendiri memanfaatkan kondisi terjepit orang tuaku yang sedang
mengalami pailit dan berhutang besar pada Masjudi. Orang tua merasa
tertekan dengan keadaan seperti ini. Dia pun memaksaku penuh dengan
rayuan-rayuan gombal padahal aku sudah punya kekasih yang siap
menikahiku. Aku pun tidak bisa apa-apa demi menuruti orang tua yang
terlihat sudah nangis darah. Terpaksa aku menikah sama dia yang tidak
pernah aku inginkan hadirnya didalam kehidupanku.
Bila Masjudi menuruti keinginanku, ia tidak akan diperlakukan seperti ini
olehku. Jelas, tidak akan diperlakukan seperti ini olehku karena tidak ada
lagi pernikahan antara aku dan Masjudi.
Tetapi ikatan ini seakan akan mengakhiri malam pemberontakan. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa ucapkan, “Aku Bukan Siti
Nurbaya!!!”
Hallah sudah! Jangan banyak bacok. Kau Siti Nurbaya!
Plak! Plak! Plak.
Masjudi menamparku.
Kenyataan memang aku melebihi Siti Nurbaya yang terpaksa menikah
dengan laki-laki lain, pilihan orang tua dalam keadaan tertekan.
Kenyataan aku diperlakukan lebih kejam melebihi Siti Nurbaya. Tetapi
tetap, aku bukan Siti Nurbaya!
“Tolong, jangan dekati aku! Pergi! Aku bukan Siti Nurbaya! Aku bukan Siti
Nurbaya!”
“Kau itu istri saya! Kenapa kau selalu nolak?! Kau harus nurut sama
suami! Malaikat melaknatmu bila kau menolak. Kau itu Situ Nurbaya.
Sudahlah, kenyataan kau sudah menikah dengan saya!”
“Aku ingatkan! Kenapa sebelum pernikahan, kamu tidak menuruti
keinginanku kalau aku tidak ingin menikah!”
“Kalau menuruti keinginanmu, berarti saya tidak bisa menikahimu! Itu
artinya, kau telah menolak saya! Mana mungkin kau bisa menolak saya!
Huahahaha...”
“Dasar bajingan! Orang kaya kejam! Lepaskan ikatan ini.”
“Huahaha... Kau keluarga miskin sengsara, terhina! Tidak akan saya
lepaskan! Saya ingin menikmatimu dalam keadaan terikat! Bagaimanakah
kau menikmatinya? Ou, ou, ou...” kata Masjudi tegas.
“Lepaskan!” bentakku.
Plak!
Masjudi menamparku sekali lagi.
“Oh Tuhan, berilah kekuatan agar terhindar dari kekejaman ini,” kataku
dalam hati.
Aku meronta-ronta agar bisa lepas dari ikatan ini. Tetapi ikatan ini terasa
kuat sekali mengikat tubuhku.
Aku berpikir, memang bisa saja aku menerima Masjudi sebagai suami.
Tetapi dia sudah dikenal seorang yang suka menyiksa istri sampai hal
seperti ini. Apalagi ia mengajakku menikah dengan cara kejam dan licik :
memanfaatkan kondisi keluarga yang terjepit.
“Ya Tuhan, kenapa cerita Si Masjudi malah kenyataan terjadi sama diriku?
Kenapa?” kataku dalam hati.
Aku sempat menceritakan tentang banyak kisah si Masjudi sama Firman
yang kini dipenjara gara-gara berbuat onar di acara pernikahanku sama
Masjudi. Masjudi selalu memperlakan istri-istri dengan sangat kejam
walau tidak salah sekalipun. Aku tidak mengerti motif kejam yang
dilakukan Masjudi. Ia sudah berkali-kali ganti istri dan berkali-kali juga
dilaporkan ke polisi. Tetapi anehnya, selalu saja bebas dari hukuman
walau kesalahan Masjudi sudah benar-benar terbukti salah.
Hukum keparat! Hukum hianat! Kataku dalam hati sembari berusaha
melepaskan diri.
Aku sempat bersumpah bila Masjudi mengajak menikah, lebih baik aku
gila! Dan aku tidak ada sekalipun punya pikiran untuk bisa hidup bersama
Masjudi. Tidak ada. Walau pun kenyataan Ayahku berteman dengan
Masjudi. Tetapi aku harap tidak akan terjadi pada kehidupanku.
Sekarang benar-benar terjadi dikehidupanku. Dihadapanku, seorang
Majudi yang sangat tidak waras sedang memperlakukanku dengan sangat
kejam malam ini.
Plak! Plak! Plak!
Sekali lagi Masjudi menamparku.
Cuh!!!
Aku ludahi saja muka Masjudi. Aku tidak ingin dia mendekat ke mukaku!
“Kurang ajar! Kau tidak tahu siapa saya hah? Saya paling suka malam
pertama melukai tubuh wanita. Itu kebahagiaan saya. Kau akan jadi
korban berikutnya!
Tolong! Jangan lakukan itu, bajingan! Pintaku dengan penuh ketakutan.
Keringat langsung deras. Jantung berdegup kencang. Batinku goncang.
Aku meronta-ronta tidak karuan.
“Lihat ini! Tajam bukan? Betapa serunya bila saya sayat kulit tubuhmu.
Oh, akan aku robek-robek pelan bajumu bersama kulitmu. Ini akibatnya
bila tidak mau menuruti keinginanku!”
Au!!! Sakiiit!!! Kataku menjerit. Tidak tahan. Aku tidak kuat menahan perih.
Sayatan-sayatan pisau, tamparan terus saja dilakukan diriku. Aku benar-
benar tidak kuasa diperlakukan seperti ini. Sakit sekali! Darah mengalir
deras ditiap tubuh yang disayat.
“Aaaaw!! Tolong! tolong! Aaaw jangan lakukan itu! Sakit!”
“Hahaha... Jangan banyak omong! Itu akibatnya bila kau tidak menuruti
saya!”
Aku tidak kuat menahan sakit ini. Tanganku, kakiku, kepalaku, semua
tubuhku penuh darah. Sampai aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya
menahan sakit, sangat sakit yang aku rasakan. Aku lemas tak berdaya.
Tok, tok, tok!
“Buka! Jangan apa-apakan anak saya! Buka!”
Tiba-tiba ada suara ketok pintu.
“Tolong ayah!!! Tolong,” kataku terbata-bata karena begitu tidak berdaya.
Masjudi tercengang! Ia bingun! Ia tidak sadar kalau ia sudah diawasi oleh
keluargaku. Aku pun tidak menyangka kedatangan mereka ke sini.
“Ya Tuhan... Kau telah mengabulkanku walau sudah terjadi kekerasan
pada hidupku. Sakit sekali.”
Tiba-tiba saja pintu gudang di dobrak kencang dan akhirnya terbuka. 3
orang telah mendobraknya salah satunya ayahku. Untuklah pintu gudang
bisa dibuka.
“Ya Tuhan! Novi!” ayahku terkejut melihat tubuhku yang sudah penuh
darah.
“Diam! Jangan ada yang berani mendekat! Selangkah saja, pisau sudah
menggores leher anakmu!” Kata Masjudi.
Ayahku penuh hati-hati dalam gerakan. Masjudi telah menempelkan
pisaunya di dekat leherku.
“Aku takut ayah!” kataku sekali lagi dengan penuh kelemahan.
“Tenang nak. Kau jangan takut. Nanti ayah atasi!”
“Mau kau apa Masjudi?! Lepaskan ponakanku!”
“Mau apa katamu? Mau membunuh wanita sok jual mahal ini.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku hanya menitikan airmata
ketidakberdayaanku. Pelan-pelan aku redupkan pandang ke arah ayah
dan kedua pamanku. Aku lemas dan hanya menyudahi kesadaranku. Aku
tak tahu apa yang terjadi setelah ini. Apakah aku hidup atau mati.
***
“Tidak! Tidak! Jangan dekati aku!” Aku tersadar dan merasa terkejut
melihat sosok wajah.
“Ini Ibu Nak!”
“Kenapa aku di sini? Apa yang terjadi selama aku pingsan?”
“Untunglah kau selamat, Nak. Bapak membawa pamanmu yang sakti itu
sehingga bisa membuat Masjudi kaku. Sehingga kau selamat dari
kekejaman Masjudi. Sekarang Masjudi dipenjara!”
“Tapi setelah itu Masjudi bebas dan cari korban berikutnya? Begitu kah?
Apa yang selama ini aku khawatirkan ternyata terjadi pada hidupku. Aku
menikah dengan Masjudi dengan paksaan ayah dan ibu! Kejam! Betapa
kejam kalian kepadaku.”
Ibuku hanya menangis tersedu-sedu. Ia sulit sekali bisa berkata-kata.
“Ayah salah! Ibu salah! Kami juga serba bingung!” kata Ayah.
“Lihat tubuhku! Penuh luka! Apakah lebih mementingkan uang daripada
anak sendiri! Anak sendiri! ”
“Maafin ibu Nak!”
“Pergi semua! Pergi!!!” Kataku sangat marah.
Aku tak ingin melihat wajah-wajah yang membuat hidupku seperti ini.
“Aku bukan siti Nurbaya!”
Aku tidak bisa menjalani hidup yang seperti biasa. Rasanya, masa
depanku sudah hancur.
“Aku bukan Siti Nurbaya!” aku tetap mengucapkan pengakuan kalau aku
bukan Siti Nurbaya.
Entah sampai kapan sakit hati ini, rasa trauma ini, rasa putus asa ini, dan
semua kehidupan gelap berakhir? Betapa kecewa pada diriku ini yang
tidak bisa berbuat nekad menolak tawaran nikah Masjudi. Tetapi bila aku
menolak, kehidupan keluarga lebih hancur lagi. Mungkin sekarang aku
sedang tidur dikolong jembatan karena semua dirampas Masjudi sebagai
pembayaran utang. Tetapi bila menerima, hidupku hancur diperlakukan
seperti ini. Aku tidak bisa mengulang waktu.
“Aku bukan Siti Nurbaya! Mengertikah semua orang?!”
“Mas Firman.” Aku makin teringat Mas Firman. Betapa kini nasibnya
sama. Sama-sama menderita karena penjahat dalam cinta.
“Apakah Mas masih dalam penjara? Dengar-dengar Mas telah keluar dari
penjara. Tetapi kau gila karena aku. Karena putus denganku!”
Waktu terus saja berputar. Berputar mengikuti perubahan diriku. Rasanya,
hidup lebih setuju bila aku berubah 180 dari yang dulu.
Lebih baik aku mengikuti kegilaan Mas Firman. Itu lebih baik. Daripada
menjadi orang waras yang selalu berhadapan dengan pemaksaan dan
kekejaman. Hidup menjadi orang gila seakan merasakan kehidupan yang
bebas tanpa aturan adat, agama, dan aturan-aturan yang penuh
kebusukan.
“Nak! Makan dulu! Sudah dua hari kau belum makan.”
“Aku bukan Siti Nurbaya! Jangan paksa aku.”
“Ibu hanya menyuruh kamu makan, Nak! Apa yang terjadi pada
hidupmu?!”
“Pergi aku bilang. Kau tidak tahukan, kalau aku sama Mas Firman saling
mencintai?!”
“Bapak. Novi Pak. Ini kenapa?!” Ibu panggil Ayah.
“Ada apa dengan Novi?!” kata Ayah.
“Gak tahu! Tiba-tiba seperti gak waras!”
“Siapa yang mau dipaksa menikah! Aku hanya bukan Siti Nurbaya!”
Sangkalku sembari duduk menatap penuh ketakutan pada orang tuaku.
“Ya Tuhan. Kenapa jadi begini?! Sambil mengelus dada, ibu menangis
melihat keadaanku.”
Hari demi hari membuat diriku makin tidak mengenal siapa diriku. Aku
hanya menikmati setiap perjalanan yang tidak penuh arti ini. Aku sering
sekali dibawa ke tempat yang entah dimana. Aku sering diberi minuman
yang entah apa. Aku sering diperlakukan seperti orang sakit.
Dalam perjalanan, aku berjumpa dengan Mas Firman. Entahlah, aku
hanya merasakan bahwa itu Mas Firman karena hatiku masih ada cinta
padanya. Yang jelas, aku merasakan bahagia yang tidak jelas. Aku
merasakan kebahagiaan walau sesaat. Aku pergi meninggalkan dirinya
tanpa tahu dengan jelas kemana aku pergi.
Hari-hariku hanya berucap, “Aku bukan Siti Nurbaya.”
Ya, aku bukan Siti Nurbaya yang hanya menjadi korban pemaksaan orang
lain. Aku bukan siti Nurbaya seperti kebanyakan orang. Banyak Siti
Burbaya-Siti Nurbaya yang lain yang akhirnya berpisah alias cerai hanya
hitungan bulan. Banyak Siti Nurbaya yang lain yang hidup serumah tetapi
hati berpisah tempat.
“Aku bukan Siti Nurbaya!” kataku pada seseorang yang sepertinya jadi
korban pemaksaan cinta.
“Aku bukan Siti Nurbaya! Kau telah hamil!” Aku memamerkan diriku yang
sebenarnya pada seseorang wanita yang sok bisa memilih pasangan
hidupnya sendiri padahal ia telah dihancurkan oleh pasangannya.
Rasanya, aku wanita terbaik diantara para wanita yang ada di dunia ini.
Karena aku telah bebas menyatakan diri, “Aku bukan Siti Nurbaya!”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com