Terminal Jagat pantura redup mentari dalam kisah. Gemuruh suara-suara
menggelegar, mereda, bergumam suara pula. Mobil-mobil angkutan
umum berjejer bertingkah kentut kenalpot dalam antiran perjalanan. Hilir
mudik para penumpang yang berbaju rapih atau berbaju lusuh beraneka
warna. Turun dari mobil atau menaiki mobil membawa oleh-oleh atau
membawa kesia-siaan belaka. Tawaran jasa mobil dari mulut kenek
berseliweran di segala penjuru. Penjual minuman botol, penjual telur
puyuh, penjual manisan, penjual ketan panggang, penjual gorengan, dan
seluruh penjual lainnya ikut andil dalam menari keuntungan keramaian.
Tak lupa pengemis, pengamen, yang sering kali meresahkan penumpang
yang sedang duduk tenang.
“Tersimpan rindu di hati, gelisah tak menentu… Berawal dari kita
bertemu… dan seterusnya,” adalah nyanyian pengamen yang sering
dikumandangkan bagai azan salat, membuat Pak Amin merasa terganggu
di saat sedang duduk termangu kelelahan. Lalu segera ia berikan
kepingan logam lima ratusan.
Lalu Pak Amin termangu kembali. Seakan kelelahan terus menaburkan
benih-benih kantuk dalam matanya. Segera ia tepiskan mata kantuk yang
hampir meredup. Pak Amin menatap keluar ruangan mobil. Menatap lekat
pada lalu lalang mobil. Tak sengaja melihat seorang yang sedang berdiri,
bersembunyi di balik pintu mobilnya. Sudah menjadi pemandangan biasa
kencing di tempat keramaian ini. Banyak alasan yang menghambat
mereka pergi ke WC.
Tapi bagi Pak Amin, itu suatu pandangan yang menggelikan. Terlihat ia
menggelengkan kepala sewaktu melihat hal itu. Ia tak sudi melihat
kegiatan pelepasan hajat kecilnya. Setelah ia selesai, Pak Amin sempat
melihat rupa wajah tapi enggan mengingat dalam memori. Seakan
seorang itu mempunyai beribu sisi gelap yang tercermin dari sikap
kencingnya.
Mobil segera berlalu meninggalkan ramai terminal. Melewati jalan layang.
Melewati batas kota. Melewati segala yang ada dihadapan. Jauh terlewati
dari pandangan terminal. Kini, setengah jam berlalu, sampai di
penghujung perjalanan. Mata tersadarkan. Ini daerah Pak Amin yang
dikenalnya. Lalu ia turun dengan teratur dan kehati-hatian mengingat
penuh sesak menghadang. Ia hembuskan nafas segar. Mobil yang dinaiki
pun kini berlalu dari hadapan Pak Amin. Lalu ia berjalan kaki menyusuri
desa Buntet menuju rumahnya.
****
Pak Amin merebahkan badan di sofa lepaskan kelelahan. Pandangan
mata menuju langit-langit.
“Diminum teh manisnya, Yah. Tapi Nah hawatir Ayah terserang diabetes,”
kata Maimunah anak satu-satunya. Ia baru saja lulus sekolah. Dan belum
ada kesempatan untuk kuliah atau bekerja.
“Nanti,” Pak Amin tetap menatap langit-langit.
Maimunah tetap terdiam hening. Ia setia menemani sang Ayah selepas
pulang kerja semenjak ditinggalkan istrinya tiga tahun yang lalu, selingkuh
bersama laki-laki teman SMA Pak Amin. Terlantar mereka berdua, hanya
pasrah pada Yang Maha Kuasa.
“Yah, aku harap Ayah setuju.”
“Ada apa, Nah?” Pak Amin kini membangunkan badannya. Duduk dengan
menghadap ke arah Maimunah. Lalu, ia menikmati secangkir teh manis
hangat yang ada di meja. “Bicaralah. Kau sepertinya malu, Nah.”
“Bukan malu. Tapi takut Ayah tidak setuju.”
“Iya, apa dulu?”
“Ada yang mau melamarku. Aku ingin diajak menikah?”
“Hebat sekali dia! Tiba-tiba mengajakmu nikah, di saat Ayah belum tahu
laki-laki itu....”
“Jadi Ayah setuju? Tapi kok terlihat seperti tak setuju.”
“Setuju menikahnya. Belum tentu calonnya. Lagi pula Ayah baru tahu
kalau kau punya calon.”
“Baru jadian setengah tahun yang lalu.”
“Hebat sekali kau, Nak. menyembunyikan statusmu dan pacarmu. Ada
yang paling rahasia tidak?”
“Ih Ayah, kenapa kok tanggapannya gitu... Seperti tak setuju….”
“Hahahaha...,” Tawa Pak Amin seakan berusaha melenyapkan prasangka
buruk anaknya.
“Kapan dia mau ke sini? Hadapi Ayah. Jangan jadi pengecut,” Pak Amin
melanjutkan pembicaraan.
“Nanti malam, Yah?”
“Hah...! Cepat sekali.”
“Sudah seminggu ingin bilang ke Ayah, tapi belum sempat. Aku tidak
berani, Yah.”
****
Keheningan malam dengan nuansa kegelapan. Berbaur dengan nyanyian
jangkrik malam dengan merdu tembang pujian Tuhan. Semilir angin
malam tetap hantamkan dedaunan sehingga meriak lembut berirama.
Sejuk, bahkan dingin merasuk tubuh membuat harap memeluk
kehangatan.
Berhias bersih tak mencolok pandang sebagai sambut pada calon yang
akan menghadap. Maimunah menunggu dalam jantung yang berdetik
kegelisahan. Jam 19.30 kelam malam tetap memberikan suguhan waktu
tentang masa kini yang terbatas. Waktu terus berkelana mengikis masa
depan. Maimunah gelisah seucap batin tertahan dalam dada. Menunggu
hati kekasih bersimpuh di hadapan sang calon mertua. Kini waktu telah
singgah dengan aturan. Tak ragu. Tetap dalam perputaran kehidupan.
Kini jam menunjuk pada waktu 20. 30 kelam malam.
Katanya sehabis Isya?” Pak Amin mempertanyakan tentang keseriusan
waktu. Ia pun duduk temani raga Maimunah yang sedari tadi mata terus
dipermainkan jam berputar. Juga menunggu sebait jawaban dari SMS
kekasih.
“Mungkin masih di jalan.”
“Memang dari mana?”
“Kendal.”
“Dari Kendal kok ngulur-ngulur waktu. Dekat dari sini….”
Tiba-tiba jeritan motor membisingkan malam yang hening. Maimunah
hampiri suara bising itu. Rasa gelisah menderu terucapkan lantang
dihadapan seorang yang diharapkan hadirnya.
“Halo, Nah,” Rizki, pacar Maimunah, hadir dengan balutan kaos merah,
jaket hitam, dan mengenakan jeans berwarna hitam.
“Mas, gimana sih? Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Kenapa
telat begini? SMS-ku tidak terbalas pula.”
“Yang penting sudah datang, bukan?”
“Ya sudah, silahkan masuk, Mas.”
“Assalamu’alaikum, Pak.” Lalu ia menengok Maimunah ke samping. “Itu
Bapak Nah ya?”
Jam telah jujur mengungkapkan ukuran keterlambatan seseorang tentang
sebuah perjanjian. Kini, bukti jam menunjukkan pukul 20.40. Tak
terbayangkan bisa melebihi sebuah batas dari ucapan janji.
Sorot pandang mata Pak Amin menguat seketika pada lelaki yang
mengaku pacar Maimunah. Menerka bayangan dalam pikiran yang telah
bersarang sebelumnya tentang laki-laki itu. Berusaha memunculkan
kembali memori yang mengendap terabaikan. Agar tak menunjukkan
pandangan kecurigaan, kembali Pak Amin redupkan sorot matanya.
Bersikap lues menyuguhkan hidangan kehormatan untuk tamu.
“Silahkan duduk,” Pak Amin mempersilahkan sembari menerka bayangan
yang mirip dengan lelaki itu. Seolah-olah bertanya dalam hati, “Apakah
dia?” Hampir ingat tapi tertutup kembali bayangan dalam pikiran.
Rasa hormat terlampiaskan oleh Rizki dengan jabat tangan kehormatan.
“Sehat Pak?”
“Alhadulillah. Dari mana asalnya?”
“Kendal.”
“Oh… Sudah setengah tahun pacaran?”
“Ya, begitulah, Pak.”
Maimunah sedang asik menyiapkan hidangan. Walau tak terdengar suara
gelas dan sendok beradu merdu. Tak beberapa lama, hanya hitungan
menit menyiapkan, Maimunah datang dalam tampilan senyum memancar
girang. Menyuguhkan pada dua lelaki. Yang satu dalam persiapan kata-
kata untuk mertua. Yang satu lagi, gelisah mendera, dalam usaha tangkap
kesamaan wujud.
“Silahkan diminum, Mas.”
“Makasih. Jadi begini, Pak. Saya bermaksud untuk melamar anak Bapak.
Aku minta agar diperbolehkan menikahi Maimunah.”
“Aku baru mengenalmu. Aku tak mau gegabah. Biarlah aku mengenalmu.”
“Bapak. Mas Rizki anak baik, Pak. Dia tidak menganggur. Sudah bekerja.
Oh ya, Yah. Ayah kan sering pulang pergi pakai angkutan umum. Nah,
kebetulan dia seorang supir, Yah. Biar gak bayar, hmmm….”
Tubuh Pak Amin bagai tersambar petir. Terkaget-kaget. Menegang
sekujur badan. Maimunah dan Riski hanya menunggu sebait kata dari Pak
Amin. Tapi kini perlu waktu untuk melueskan mulut Pak Amin dalam
berbicara. Pak Amin kalut merangkai kata. Seakan ucapan Maimunah
mengingatkan kembali pada kejadian di terminal. Ekpresi wajah Pak Amin
seketika berubah. Tunjukkan rona angkuh. Tapi tak tunjukkan nada
amarah.
Ia tetap sembari pandang laki-laki itu. Memcocokkan kembali dengan
bayangannya. Ternyata benar.
“Ayah tidak setuju!”
“Apa?!” Mereka serentak berucap tanya. Seakan telah teratur rapih dalam
rencana.
“Aku tidak setuju. Kalian dengar?”
“Ayah jahat! Tega sama anaknya sendiri!”
“Pak saya mohon, restui hubungan ini. Aku mencintainya. Aku ingin
menikahinya. Aku sungguh-sungguh, Pak.”
“Maimunah, apakah kau mencintai lelaki itu?”
“Aku mencintainya, Ayah?”
“Seberapa besar kau tahu tentang dia?”
“Dia baik, bertanggungjawab, menyayangiku, mencintaiku, setia, dan
tentunya sudah bekerja.”
“Hebat! Lihatlah Rizki? Dia begitu kenal dirimu. Tapi coba, Maimunah
bertanya untukku, seberapa kenal Ayah pada Rizki? Lalu apa
tanggapanmu?”
Mereka berdua saling mengikat pandang. Lalu Maimunah kembali pada
pandangan Ayahnya.
“Ayah belum kenal sama Mas Rizki. Terus, apa salah jika aku saja yang
sudah mengenal Mas Rizki? Kenapa Ayah begini? Aku kurang nurut apa
sama Ayah? Aku ingin, kali ini Ayah menuruti keinginanku….”
Rizki hanya menunduk gelisah. Belum berani banyak komentar. Seakan
komentar Maimunah cukup mewakili kegelisahan perasaan Rizki.
“Itu kau tahu,” Pak Amin membenarkan. Lalu melanjutkan perkataan
kembali. “Lebih baik kalian bincang-bincang. Tapi jangan terlalu lama.”
Kini mereke berdua benar-benar berhati kelam malam, berbunga duka.
Sedih. Perih. Dan indah perasaan sirna seiring kepergian Ayahnya
menuju kamar tidur.
****
Malam telah larut, mengikat ikut perputaran waktu. Malam pun telah
meninabobokan Pak Amin. Lelap ia dalam tidur. Seakan mimpi yang ia
rasakan adalah kehidupan nyata. Ia lupakan sejenak atas sikapnya yang
tak disetujui kedua sepasang kekasih. Karena tidur adalah obat lupa
terbaik.
Terperanjat. Ya, Pak Amin sedikit terperanjat kaget. Ia putuskan
rangkaian mimpi yang telah terjalin dalam alur. Sayup-sayup suara tangis.
Pak Amin termenung. Larut dalam tanya. Seakan hembusan nafas
membangkitkan energi untuk menjawab.
“Maimunah. Ada apa dengan Maimunah? Aku lalai mengawasi mereka.
Jangan-jangan… oh tidak!”
Pak Amin bergegas keluar kamar. Lalu melangkah ke kamar Maimunah.
“Nah, Nah, Nah. Kenapa kau, Nak? Sialan. Kau diapakan sama laki-laki
itu?!” Pak Amin berprasangka lagi dengan penuh letupan amarah.
Tangsis tetap menjadi-jadi.
“Buka, Nah, buka!”
Segera pintu pun dibuka. Pak Amin pun bertanya.
“Kenapa kau menangis? Kau diapakan sama lelaki itu?”
“Kenapa Ayah tak sadar atas kesalahannya. Aku sedih. Kenapa Ayah
tega tidak menuruti keinginanku… Kenapa Ayah tega mencegah niat baik
seseorang untuk menikah?! Hik, hik, hik. Apakah Ayah lebih setuju bila
aku relakan tubuhku dinikmati tanpa status pernikahan?”
“Kau tak mengerti maksud Ayah! Tak mengerti!”
“Apa, Yah? Ayah yang tak mengerti perasaanku.”
“Lupakan dulu tentang perasaan, Nah!”
Maimunah tertunduk lemas. Ia mengerti, jika ia emosi, tak pantas wajah
tampakkan ke arah ayahnya. Lebih baik ia menunduk kesopanan.
“Begini, Nak,” sembari mendudukkan tubuh lelah Pak Amin. “Sewaktu di
terminal Ayah melihat Rizki sedang kencing sembarangan di terminal.”
“Apa?! Oh ternyata itu yang membuat tidak setuju?!” Maimunah tetap tak
pandang wajah ayahnya.
“Tenangkan dulu… Berikan waktu buat Ayah.”
“Baik!”
“Kau tau dia baik. Oke, Ayah terima. Dia baik dalam segi kemanusiaan.
Tapi coba tengok dalam segi ketuhanannya. Apakah dia pernah shalat?
Dan Ayah lebih memperhatikan tenang shalat. Apakah dia shalat jika ia
mudah membuang kencing di depan umum walau tak terlihat kemaluan
dirinya?”
“Ayah jangan berprasangka begitu. Mungkin dia shalat.”
“Apa ada shalat yang sah bila najis kencing menempel di badan?”
“Mungkin dia membersihkannya.”
“Apa mungkin seorang supir membersihkan najis? Kencing saja tak
beraturan.”
“Yah. Banyak yang rajin shalat tapi sikap tidak baik.”
“Ya, Ayah tahu… Kita tak usah panjang lebar tentang shalat.”
“Cuma alasan itu Ayah menolak lamaran? Cuma alasan kencing dan tidak
shalat?!”
Lebih dari itu! Kau perlu tahu cerita ini… Betapa sakit hatiku, Ibumu pergi
bersama laki-laki teman Ayah sendiri. Tapi aku pun merasa kasihan.
“Tolong Ayah! Jangan sebut nama Ibu!”
“Ssssst… Ayah lebih sakit daripada kamu. Tapi ini cerita. Biarlah kita
sama-sama marah mendengarnya.”
“Lalu apa hubungannya kisah Ibu denganku?”
“Begini. Lalu, Ibumu menikah sama laki-laki itu. Laki-laki itu suka kencing
di tempat umum dan jarang dibersihkan! Setelah beberapa bulan, Ibu
memberi tahu Ayah lewat pesan yang begitu menjijikkan. Setiap kali
suaminya ingin melepaskan hasratnya, sering kali kewanitaan Ibumu….”
“Cukup! Aku tak mau mendengarnya....”
“Ya sudah. Tapi sedikit lagi. Ini terakhir.”
“Baiklah.”
“Lalu suami itu menumpahkan cairan ke wajah Ibumu! Itu seakan-akan
mengencingi Ibu kamu! Aku jijik seorang yang kencing dikeramaian. Aku
teringat cerita Ibumu!”
“Cukuuuup. Aku mohon selesai cerita itu. Menjijikkan!”
“Itulah kisah menjijikkan. Dan Ibumu sangat menyesal sudah selingkuh. Ia
mengalami kekerasan dalam ranjang. Ia ingin sekali rujuk.”
“Ayah masih cinta sama Ibu?”
“Tidurlah.”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com