Satu bulan penuh menahan lapar, haus, dan tingkah nafsu-nafsu lainya.
Satu bulan hati kita ditempa mengenai arti penyadaran diri.
Kita patut sadar, kita ini diliputi hawa nafsu yang siap bergerak tanpa di
suruh tatkala ada rangangan. kita patut sadar, kita selalu lapar dan haus.
Tatkala kita tak mampu mendapatkan segenggam beras, seliter air, kita
akan merana menjalani hidup. Kita pun patut sadar, kita ini selalu dalam
jalinan bersama keturunan Adam. Silaturahmi adalah kebutuhan jiwa dan
raga. Dan kita patut sadar, bulan puasa adalah pendidikan kesadaran
terbaik sehingga kita perlu memanfaatkannya.
Hari yang fitri pun kini hadir. Kini, malam bertakbir lantang di seluruh
penjuru Indonesia. Khususnya di daerah Buntet Pesantren Cirebon.
Bertakbir pula diri Furkon penuh derai air mata penyesalan akan
kesalahan, perpisahan dengan bulan Ramadan, sekaligus penyambutan
hari kemenangan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Illallahu Allahu
Akbar, Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd.”
Furkon adalah orang yang soleh. Tapi ia adalah manusia yang tak lepas
dari dosa. Ia khusyu bertakbir, sesekali ia dalam bayangan sebulan yang
lalu. Tapi dengan sungguh-sungguh, ia berusaha melupakan sejenak
demi menikmati manisnya bertakbir.
Satu jam sudah ia melantunkan takbir. Jam terlihat pukul delapan. Selesai
bertakbir, ia rebahkan badan sejenak sekedar menghilangkan kelelahan.
Nafsu pun seakan menagih janji pada Furkon untuk membayangkan
kembali kisah sebulan yang lalu bersama tunangannya. Ia pun menuruti
dengan hati penuh luka, penuh penyesalan.
Pikiran melayang, membayang pada calon kekasih. Kini, pertunangan
dalam murka calon mertua. “Pantas lah mereka murka. Aku begitu
menghina mereka dan tunanganku” gumam Furkon.
Kejadian itu seharusnya tidak perlu Furkon alami.
***
“Ibu dan Ayah pada kemana, Nad? Ini kan hari Minggu.”
“Pergi kondangan di acara pernikahan.”
“Kamu sendirian?”
“Jelasnya begitu. Mas, kan tahu, aku anak tunggal.
“Aku tahu. Tapi maksud aku… jika Nadia sendirian, lebih baik kita di luar
saja. menghindari fitnah.
“Aku percaya sama keimanan, Mas. Tentunya kita harus di luar.”
“Walau pun sudah tunangan?”
“Apa bedanya Mas, masih pacaran atau sudah tunangan? Dalam Islam
keduanya sama, masih belum halal.”
Furkon dan Nadia pun duduk di halaman depan rumah.
“Tentunya. Oh ya, Nad. Betapa buruk pergaulan remaja sekarang. Tahu
tidak, menurut hasil penelitian, menghabarkan bahawa 80% siswi
setingkat SMA sudah tidak perawan lagi.
“Masya Allah, yang benar Mas?”
Ya. Tapi Aku tidak tahu benar apa tidak. Tapi intinya, perzinahan sudah
merajalela. Nafsu zina kini bergentayangan mendekati para pelajar,
mahasiswa, maupun yang bersetatus suami istri.
“Makanya, aku tidak mau pacaran. Aku hawatir berzina.”
“Nadia salah satu pelajar yang beruntung, diantara pelajar yang sudah
melakukan pacaran. Jika Nadia sudah selesai semester 1, aku mau
melamarmu.”
“Benarkah? Berarti kelas tiga semester 2 aku sudah menjadi istri?”
“Ya, aku pun bertambah umur menjadi 26?”
“Dan aku masih tetap 18 tahun.”
“Nadia diam sembari tersenyum-senyum. Entah apa yang ada dipikiran
Nadia. Membayang kehalalan berhubungan atau membayang kemeriahan
acara pernikahan.
“Aduh, aduh, sakit,” Nadia merintih.
“Apanya yang sakit?”
“Perutnya Mas, keram. Aku lagi datang bulan.”
“Oh, datang bulan. Itu sudah biasa dialami cewe.”
Furkon diam dan Nadia masih menahan otot keramnya. Furkon berusaha
tidak memandang Nadia yang sedang mengelus-elus perutnya. Tapi
walau mata tak memandang, imajinasi-imajinasi kotor terlintas dalam
pikiran dan menggodanya. Furkon berusaha menepik semua pikiran hina
itu. Pemandangan indah halaman rumah, dilengkapi tanaman hias cukup
menenangkan pikiran.
“Nadia, sudah mengerti belum pelajaran haid?”
“Lumayan mengerti”. Tapi dibandingkan dengan teman-temanaku, aku
yang mengerti. Tiap kali temenku datang bulan dan ada masalah haid
yang tidak di mengerti, mereka bertanya sama aku. Tapi jika tidak bisa,
aku serahkan sama Nyai Fatimah, guru mengaji Nadia”.
“Aduh, calonku sudah mulai menyaingi Nyai Fatimah ya?”
“Ih, ih, ada-ada saja. masa aku menyaingi Nyai Fatimah. Oh ya Mas.
Suami itu perlu tahu juga walau ia tidak haid. barangkali istri tidak
mengerti tentang itu. Suami harus tanggung jawab. Oh ya, aku tes Mas
ya? Harus mau, hmm.. Awas kalau gak bisa, Nadia jewer, hehe…”
“Iya, Silahkan.” Furkon menyetujui dengan pasrah. Demi memenuhi sikap
manja Nadia.
“Kalau, darah.”
“Aduh,” rintih Furkon memotong pembicaraaan.
“Kenapa Mas?”
“Giliran aku. Tapi ini mules. Ingin buang air besar. Aku, aku bagaimana
ya? Di sini saja ya?
“Ya sudah di sini saja. Masa di rumah tetangga. Bikin malu aku aja.”
Tanpa banyak omong, tanpa ragu Firman masuk. Dia pun sudah
mengetahui di mana letak kamar mandi tersebut. Jalan lurus melewati
kamar Nadia, lalu belok ke kanan menuju kamar mandi. Tidak menunggu
lama, Firman segera masuk ke kamar mandi. Lalu dengan kelegaan
dalam persiapan, ia mulai dalam mengeluarkan kotoran.
***
Sedangkan di luar, Nadia menunggu Firman. Tak betah menunggu dalam
kesendirian. Ia pun masuk rumah. Ia langkahkan kaki menuju kamarnya.
Nadia masuk ke kamar. Lalu, dalam kamar, ada sesuatu yang perlu ia
bereskan keadaan dirinya yang sedang dalam haid.
Setelah Furkon selesai ke kamar mandi. Lalu ia pun menuju keluar. Lalu
tak sepengetahun Forkon, Nadia pun keluar dari kamarnya. Dan rupanya
Nadia berniat menuju kamar mandi. Mungkin ingin mengganti pembalut.
Dan,
Auh!! Nadia kaget dan sedikit mau jatuh.
Lukman pun dalam keadaan yang sama, kaget.
Mereka saling berbenturan badan. Dan tangan Furkon menahan Nadia
yang hampir jatuh sampai ke dua wajah itu hampir bersentuhan. Furkon
terpikat dengan wajah ayu dan manis Nadia. Furkon dan Nadia pun
antara sadar dan tak sadar. Mereka hanya menikmati benturan cinta yang
telah terjadi. Mereka melakukan hal yang mendekati zina. Sempat Nadia
menolak, tapi hanya pencegahan yang lemah. Awalnya cuma
bersentuhan. Tapi apa daya nafsu berbalut cinta sudah mendapat
kesempatan. Nafsu pun memainkan perannya sampai melumpuhkan
kuatnya keimanan. Mereka masuk ke kamar Nadia.
Tanpa ia sadari. Sepuluh menit kemudian orang tua hadir. Tapi kehadiran
orangtua tidak di dengar mereka yang sedang asik dalam hina. Orang tua
Nadia pun masuk. Dan setelah itu pintu Nadia diketuk, karena ada suara
yang mencurigakan.
“Allah! Allah! masya Allaaaah, masya Allah,” ibu terkejut bukan main. Ibu
hanya mampu mengucapkan kalimat Allah.
“Nadia! Forkon!, Manusia munafik! Penampilan saja kau soleh,” kata
ayahnya Nadia sembari mendekat lalu di tamparnya wajah Furkon.
“Kau kurang ajar! Anakku kau hina dengan perbuatanmu yang ternyata
kotor. Hatimu busuk! Keluar kamu, cepetan!
***
”Astaghfirullah! Astaghfirullah! Astaghfirullah! Kenapa aku larut dalam
lamunan. Masya Allah, masya Alaah, ini malam hari raya. Aku berjanji
pada diriku, ingin meminta maaf pada Nadia dan keluarganya malam ini
juga. Aku harus! Harus! Aku tak peduli mereka masih marah apa tidak. Ya
Allah, ampuni hamba,” gumam Furkon penuh jiwa perjuangan
pengharapan maaf.
Tak menunggu lama, Furkon meniki sepeda motornya. Segera ia
jalankan. Dan akhirnya motor melaju dengan penuh semangat. Ia
menghampiri daerah Kendal, tempat tunangannya tinggal. Suasana
Kendal pun sudah dirasakan olehnya. Air mata siap menyambut
dihadapan calon mertua.
Pemandangan rumah sudah terlihat. Suasana masih sepi dari para tamu.
Jam setengah sembilan ia mengetukkan pintu. Tak lama pintu dibuka. Ia
disambut wajah cantik, manis Nadia. Tapi sambutan itu tak semanis wajah
Nadia.
“Maafkan aku Nadia.”
Tanpa sepatah kata dari Nadia, ia pun kembali masuk.
Tanpa Furkon ketahui. Ayahnya yang hadir.
“Andai ini bukan di suasana Ramadan, dan hari raya, aku tampar kamu
yang kedua kali. Mau apa kamu ke sini!”
Seketika Furkon pingsan. Dia tidak kuat menahan bayang-bayang dosa
yang dahulu, tidak kuat menghadapi murka calon mertua, tidak kuat
terputus pertunangannya dengan wanita yang ia cintai.
***
“Ya Allah. Ada di mana?” Kata Furkon sembari menatap kesana-kemari
mengenalkan suasana.
“Masya Allah, Mas. Mas pingsan tadi, hik, hik, hik,” Nadia menjelaskan
sembari tangis tersedu-sedu.
Furkon teringat, kalau kedatangan kesini untuk meminta maaf. Furkon
menatap Pak Latif, Ayah Nadia. Seketika, ia langsung memohon ampun
dengan posisi tubuh seperti sujud.
“Maafkan aku Pak, silahkan Bapak memutuskan pertunangan. Aku rela,
aku rela. Silahkan Bapak merajamku seperti kasus orang yang berzina.
Silahkan! Tapi maafka aku, Pak! Aku benar-benar menyesal,” kata Furkon
sembari mencium kaki Pak Latif.
“Maafkan aku, Bu” kata Furkon pada ibu dengan menegakkan badannya.
Ibu Halimah, ibunya Nadia hanya menangis. Entah karena merasa
kasihan atau karena hati sakit masih terasa padanya. Begitu pula Nadia.
Ia menangis sembari meninta ampun pada kedua orang tuanya. Tak kuat
melihat kesungguhan Furkon meminta maaf, Nadia pun masuk ke
kamarnya.
“Aku sebernarnya masih sakit hati. Tapi apa daya, ini bulan penuh
ampunan. Apalagi besok lebaran. Nadia sudah menceritakan
semuanya…Yah, Terkadang kesolehan begitu lemah bila nafsu sudah
diberi hidangan yang manis dan indah dunia.”
Sungguh aku tidak melakukan zina, Pak! Sungguh. Aku pun masih
sempat sadar. Tapi tidak apa-apa bila aku dianggap zina! Aku pantas,
Pak!”
“Sudah, sudah. Bapak dan Ibu mau memaafkan. Dengan satu syarat dan
harus dipenuhi.
“Baik, Pak!”
Nikahi Nadia sehabis lebaran tanpa menunggu berbulan-bulan. Kalian
sudah saling cinta. Dan kami pun sudah merasa cocok.
“Baik, Pak, Bu. Aku akan memenuhi. Terima kasih banyak, Ya Allah!
“Nadia, Nadia. Kemari, Nak.”
“Iya Bu,” sahut Nadia.
Nadia pun keluar dari kamarnya. Matanya terlihat sedikit lebam.
Ada apa, Bu? tanya Nadia.
“Sini duduk. Dan juga Furkon, duduk kembali di kursi,” Ibu Halimah
memerintah.
“Nadia, Furkon, nanti kalian akan kami nikahkan sesudah lebaran usai. Itu
sebagai syarat untuk mendapatkan maaf Ayah dan Ibu.”
“Yang bener, Pak? Itu mah syarat yang manis Pak. Mas Furkon pasti
memenuhinya,hihihi.”
Furkon dan Nadia pun saling berhadapan dan mereka tunjukkan senyum
manisnya.
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com