Aku tak menyadari kalau perjalanan ini hanya tipuan. Kenapa mesti dengan cara seperti ini ia memperlakukanku. Kenapa mesti melakukan ini? Apakah demi menghindar perjumpaan? Padahal nanti aku tak akan melakukan kejahatan apa-apa. Aku cuma ingin berjumpa. Kebaikan yang aku berikan padanya dengan tebaran keakraban tak ada artinya. Oh dunia, sungguh penuh dengan kebohongan-kebohongan. Kenapa aku mempercayai seratus persen perkataan temanku? Kenapa pula aku mempercayai supir angkot itu? Tapi aku harus bagaimana? Sudah mendapat kebohongan, ditambah dengan kebohongan lain.
“Ah, sialan! Kenapa nyampe ke Sumber?”
Aku menelepon temanku. Ternyata tidak aktif. Mungkin sengaja. Aku
mengelus dada. Nafasku terasa sesak akibat kejadian ini.
Apa ada yang salah bila aku mengunjungi rumahnya? Seharusnya bila ia
tak mau kehadiranku di rumahnya, ia bisa bicara padaku dengan
sejujurnya. Bukan malah menyesatkannya. Tapi ini sudah terlambat. Aku
sudah di luar daerahku.
Pemandangan terlihat ramai. karena ini jalan raya. Laju kendaraan silih
berganti. Membuat kepala sedikit pusing. Aku melihat kantor polisi.
Membuatku ada pikiran untuk melaporkan kasus penipuan ini. Tapi itu
konyol. Aku ambil nafas. Aku lanjutkan perjalanan ke arah utara. Entah
apa yang aku lakukan. Yang jelas, aku tak segera pulang kembali ke
daerah asalku. Aku tak mau menyia-nyiakan kepergianku.
Kaki terus melangkah. Jarak sudah terlampau. Melihat di ujung Utara
terdapat pemandangan yang indah. Hijaunya lahan yang membuatku
tergugah untuk mendekati. Terlihat, di sepanjang jalan tertanam tanaman
padi yang hijau dan subur. Tak lupa, terdapat pohon jagung, singkong.
Memang bulan ini adalah musim penghujan. Banyak para petani yang
memanfaatkan musim ini untuk bertanam padi dan yang lainnya.
Ada sosok gadis desa yang sedang berdiri. Mungkin anak petani. Tapi, ia
berdiri di sebelah barat samping jalan. Aku tak menyadari kalau ada gadis
cantik memakai kerudung. Aku hanya fokus melihat hijaunya tanaman
padi.
Ia melihatku. Wajar. Karena aku orang pendatang. Wajahku masih asing.
Bahkan para petani pun melihatku. Aku melihat kembali ke arah gadis itu.
Ia tersenyum. Oh, sungguh suguhan yang jarang terjadi. Manis sekali
gadis itu tersenyum. Aku balas pula dengan senyuman. Aku tertarik untuk
mendekatinya.
“Hei, sendirian?” Dengan percaya dirinya, aku menyapa gadis yang kira-
kira berumur dua puluhan.
Ia tetap tersenyum. Tapi bukan ke arahku. Aku merasa heran. Tadi ia
tersenyum padaku. tapi sekarang ia tersenyum tapi bukan untukku. “Ah,
aku sok ke-pede-an banget. Aku jadi malu.” Ia melihatku dan kembali
tersenyum, melihat ke arah petani.
Hei, boleh kenalan gak?” Tanyaku
“Mau apa?” Ia tanya balik dengan pandangan curiga.
Ternyata ia tak seperti yang aku kira. Ia sulit bergaul dengan orang baru.
“Aku tersesat. Aku merasa ditipu kenalanku dari dunia maya.”
“Maksudmu?” ia tanya lagi. Padahal pertanyaan pertama dariku belum
dijawab.
“Ee, aku punya teman yang sudah dianggap akrab. Aku kenalan lewat
Facebook. Aku berencana ketemuan dengan temanku itu. Ia cewe,
tentunya. Tapi ia memberikan Informasi palsu. Pas aku bertanya pada
tukang ojek, ternyata ini daerah Sumber. Bukan daerah Babakan.
“Babakan bukan disini!” ia langsung merespon. Mungkin agar
pembicaraan ini cepat kelar.
Aku ingin kehadiranku di sini tidak sia-sia.
“Kau mengganggu kebahagianku! Kau perlu tahu. Kau merusak suasana
bahagiaku. Kenapa mesti membahas masalahmu!”
Aku makin tak mengerti. Apa yang ia pikirkan tentang diriku? Aku
dianggap telah mengganggu suasana bahagianya. Aku tak mengerti.
Sehebat apa tingkah burukku? Aku cuma ingin berkenalan. Aku ingin
kehadiranku di daerah ini tidak sia-sia.
“Kau kenapa? Aku cuma ingin mengkenalmu!”
“Terus setelah kau mengenalku, kau mau apa?”
Aku menelan ludah. Aku tenangkan diri. Jangan sampai sikap pemarahku
muncul sama wanita ini. Sepertinya dia mempunyai masalah yang berat,
atau punya kenangan yang pahit tentang lelaki. “Ah, tak tahu lah,” kataku
menepis praduga.
“Maaf, aku mengganggu.” Dan aku melihat pemandangan ke arah para
petani.
Aku berkata pada gadis yang terlihat kurus. Membahas tentang keindahan
kehijauan. Mataku seakan mendapat kecerahan pandangan di saat
melihat kehijauan. Mungkin ia tersenyum sendiri karena melihat suka-cita
para para petani yang asik merawat tumbuhan hijau. Aku suka
pemandangan ini. Tanah yang hijau bukan tanah yang silau.
“Sepertinya ini cara terbaik untuk menjalin pertemanan,” kayaku dalam
hati.
“Maksud tanah yang silau?” tanya wanita judes heran.
“Tanah yang silau adalah dunia perkotaan. Di sana hanya ada gedung-
gedung, jarang ada penghijauan. Aku beri nama denan tanah yang silau,
sebagai simbol tanah yang banyak gedung pencakar langit.”
“Kau orang kota?”
“Kota besar. Aku dari Jakarta. Tadi malam aku berangkat. Dan sampai ke
Cirebon pagi buta. Saat matahari terbit.”
“Kau tidak ada maksud jahat kan mendekatiku?” Curiganya mulai terlihat.
“Aku juga telah tertipu. Kau tau sendiri maksudku.”
Aku ingin berusaha mengenalinya lebih dalam lagi. Sepertinya ia punya
masa silam yang suram. Ia mungkin wanita penyendiri. Terlihat ia belum
bisa beradaptasi dengan orang yang baru ia kenal.
“Maafkan aku telah mencoba mendekatimu.” Aku memulai pembicaraan
saat larut dalam suasana diam.
“Tidak apa-apa, seharusnya aku tidak seperti itu. Tapi kau harus janji. Kau
tidak ada maksud jahat padaku!”
“Rupanya kau tak mengerti maksudku. Aku saja telah dijahatin orang.
Memalsukan informasi untukku,” kataku sembari senyum menghiasi
suasana yang masih keruh.
“Ya sudah, aku mengerti. Matahari telah cukup menyengat kulit. Lebih
baik kita ngobrol di rumahku. Deket kok. Tuh, lihat?” Ia menunjukkan
rumahnya yang memang dekat. Langkah demi langkah, kami menuju arah
Barat; menghampiri rumahnya yang terlihat sederhana, tapi cukup
menyejukkan hati.
“Di luar saja ngobrolnya,” kataku.
Sudah masuk saja,” ia merelakan kehadiranku. Suasana keakraban mulai
terlihat. Itu yang aku harapkan. Tak ada rumput, akar pun jadi.
Aku duduk dengan lega. Tak sia-sia hadirku di sini. Apalah arti teman
penipu. Kini telah menemukan wanita yang baik hati.
Wanita yang kini mulai bisa beradaptasi, membawakan minuman dan
cemilan biskuit.
“Ah, aku jadi merepotkan.”
“Tidak apa-apa.”
“Aku heran sama... Boleh jujur?”
“Silahkan.”
“Kau pertama lihat begitu manis. Kau tersenyum padaku. Aku merasa,
mm... aku terlalu percaya diri.”
“Hahaha...” ia tertawa riang. Aku cukup senang memandang senyumnya.
Manis.
Terus, sampai aku mendekatimu. Ingin mengenalmu. Tapi, kau nampak
berubah. Kau nampak angker untukku, hehe.. becanda.”
Lalu ia mulai membukakan rahasia hidupnya. Aku penasaran apa yang
akan dibicarakan. Memang pembahasan ini merupakan tantangan sendiri.
Sekaligus, sebagai terapi mental. Ia memberikan pengalaman-
pengalaman dirinya tentang orang asing. Memang, kejadian buruk itu
bukan ia yang mengalami langsung. Tapi pada adiknya, Maya. Adinya
satu-satunya. Adik yang sebagai temannya di sawah. Adik yang aktif
menghibur keluarga sehingga suasana selalu meriah, bahagia! Tapi, kini
ia telah tiada karena penipuan. Ada dugaan, adiknya telah dijual ke luar
negeri. Ya, cuma dugaan. Yang jelas, ia telah tak ada.
Aku...aku tak terima!” Matanya berkaca-kaca.
“Aku turut prihatin. Tapi, kenapa keluargamu percaya sama manusia
penipu itu?”
“Kau jangan tanyakan begitu! Apa kau tak pernah lihat?! Banyak kasus
seperti ini! Apakah keluarga yang tertipu itu tahu kalau akan terjadi seperti
ini?!” katanya marah.
“Maafkan aku! Sekarang aku mengerti. Kenapa kau begitu angkuh melihat
orang asing. Tapi, waktu itu, kenapa kau tersenyum padaku?”
Ia lalu tersenym. Aku merasakan kesejukan hatinya. Betapa tidak. Ia
menangis, tapi menyempatkan senyuman untukku dan melupakan
kesedihannya.
“Kenapa?”
“Idih lebay! Siapa juga yang tersenyum padamu.”
“Ih, bohong. Pasti kau tersenyum padaku!”
“Nyebelin! Gak! Gini ya, aku teringat kenangan-kenangan dulu sama
adikku di sawah. Pokoknya mulai dari menanam, menyanyi, menari,
makan bersama saat usai menanam, semua kumpul dalam tanah
kehidupan.”
“Tanah kehijauan,” tambahanku.
Aku membayangkan, betapa bahagianya keluarga sederhana ini. Dan
membayangkan betapa teganya orang yang menghilangkan kebahagiaan
dengan cara jahat! Penipu itu telah menghilangkan hadir dewi
kebahagiaan di keluarga ini. Betapa sedih. Aku pun merasakan hal yang
sama bila itu terkadi pada keluargaku.
Aku melanjutkan kembali meminum teh yang sudah terasa dingin di lidah.
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com