Kita bersama lihat perjalanannya.
Menatap pada sebaris jalan semut.
Berbaris panjang semut-semut kecil
menyusuri dengan barisan walau terkadang
menjumpai kaki-kaki raksasa dihadapan.
Terlihat semut-semut kecil dalam langkah keakraban.
Semut-semut kecil hanya punya sekecil harapan.
Hanya berharap hidup dalam kebersamaan.
Harapan itu terkadang terhempas angin kehidupan.
Harapan itu terkadang terinjak kaki kebutaan.
“Fis, indah sekali puisimu. Kamu melihat perjalanan semut sebagai
idenya, bukan?”
“Ah, tidak baguus. Maksudku… belum bagus, Na. Baru… aku belajar saat
aku semester satu. Kini aku semester dua. Baru setahun, Na….”
“Oh ya, Na. kau betul. Aku mendapat ide dari perjalaan semut itu.
Memang alam ini kaya akan bahan ide. Cuma terkadang pikiran kita tak
memfokuskannya. Ya! Pikiran kita tidak fokus, jadi sulit menyerap sesuatu
dari alam,” Nafis menjelaskan.
“Betul sekali. Andai saja sedari tadi aku fokus pada perjalanan semut
mungkin bisa mendapatkan ide, misal tentang jabat ala semut.”
“Wow, luar biasa pikiranmu. Kau mungkin tak sadar bila kau juga
mendapat ide. Coba ulangi lagi perkataanmu tadi,” kata Nafis.
“Ah, benarkah? Baiklah. Andai…,” kata Naila.
“Bukan itu. Langsung pada misal,” potong Nafis.
“Oh, ya, ya, ya, tentang jabat ala semut. Betul kah itu ide?”
“Hahaha… Kadang juga ide sudah didapatkan. Tapi… manusia sering
melupakan. Bisa jadi tidak mengerti tentang ide yang di dapat. Seperti kau
ini,” Nafis menjelaskan.
“Ah kamu, ada-ada saja. Menurut kamu, pelajaran apa yang di dapat dari
perjalanan semut itu? Atau, apa maksud dari puisi kamu tadi?”
“Sederhana. Aku memaknainya pada arti silaturahmi. Silaturahmi adalah
pelajaran semut-semut kecil sederhana. Berpandang lalu berjabat mesra.
Dan pengikut berlanjut melakukan kembali. Perjalanan silaturahmi akan
tetap meruntut abadi.”
“Memang semut-semut saling berjabat. Entahlah, semut-semut itu
berjabat tangan atau berjabat muka, hahaha.…,” kata Naila.
“Yang pasti. Ikatan silaturahminya itu yang kita petik. Dan anak-keturunan
atau pengikut akan melakukan hal yang sama tentang silaturahmi.”
“Tolong tambahkan lebih jelas, Nafis,” pinta Naila.
Nafis menghela nafas sembari memejamkan mata. Lalu setelah itu
membuka mata kembali.
“Baiklah. Begini, silaturahmi atau hubungan persaudaraan atau hubungan
kesosialan, itu adalah didikan nenek moyang pada keturunannya. Lantas
perpisahan pun ada. Tapi ikatan batin silaturahmi masih melekat dalam
hati. Lalu keturunan itu melakukan didikan silaturahmi pada keturunannya
yang pernah dilakukan nenek moyang.
“Dengan kondisi keturunan nenek moyang yang berlainan keadaan, maka
silaturahmi pun mengalami perbedaan tingkah. Dan seterusnya, sampai
membentuk tradisi. Kau mungkin tahu.”
“Ya, aku mengerti. Itu sebabnya Antar negara, antar daerah, antar
keluarga, memiliki gaya silaturahmi yang berbeda-beda. Jadi, silaturahmi
diibaratkan perjalanan semut-semut kecil?”
“Begitulah. Yang pastinya, silaturahmi tidak akan ada, bila tidak ada yang
mewariskan dan siapa yang mendapat warisan tentang pendidikan
silaturahmi.”
“Lagi-lagi soal pendidikan,” Naila seakan merasa bosen dengan kata-kata
pendidikan.
“Apa lagi?” Tanya Nafis.
Naila mengangkat bahunya.
Sejuknya taman Blodog. Semilir angin sore dari pepohonan bambu kerdil
yang berada dekat kedua sahabat itu, ikut menyejukkan kebersamaan.
Kursi bambu yang mereka duduki, semakin mengakui keindahan sumber
daya alam.
Sesaat setelah pembicaraan Nafis tentang silaturahmi, Naila
menundukkan kepala. Ia terlihat Murung. Entah apa yang membuat Naila
bersikap demikian. Seakan kenangan yang terlupakan teringat kembali.
Atau ada sesuatu masalah yang belum terselesaikan. Biarlah waktu yang
akan mendorongnya bicara.
“Kau sepertinya sedih. Kau menunduk saja sedari tadi. Lihat lah aku,
sahabatmu.”
Naila pun memandang Nafis. Terlihat matanya berkaca-kaca. Lalu, air
mata Naila mengalir ke pipi dengan gerak pelan.
Nafis termangu. Membaca apa yang akan Naila katakan.
“Bicaralah. Kau sepertinya menyembunyikan sesuatu. Ah, tidak. Kita baru
kenal sebulan yang lalu. Bukan menyembunyikan. Tapi…belum
diceritakan.”
“Nafis,” panggil Naila.
“Ya, kenapa, Naila?”
“Aku merindukan silaturahmi yang nyata... Rindu, rindu…banget, Nafis.
Aku merindukan silaturahmi bersama sahabatku, Nesa. Aku merindukan,
dirinya berjabat tangan denganku… seperti kebersamaan semut-semut
kecil itu, yang mampu berjabat tangan. Betapa indah makna silaturahmi,”
kata Naila sembari tetap teteskan air mata.
“Apakah kini kau telah berpisah? Lantas kau tak mampu bertemu?
Atau…”
“Dia pergi keluar Negeri,” kata Naila memotong ucapan Nafis.
“Oh, itu maksudnya?”
“Dia pergi ke Arab Saudi. Dia pergi bersama keluarganya. Orang tuanya
bekerja di sana.”
“Oh TKI.”
“Tapi tidak seperti yang sedang kau pikirkan.”
“Maksudmu?” Tanya Nafis.
“Mereka bukan TKI rendahan,” jawab Naila.
“Ah, kau. Terlalu memfonisku.”
Nafis diam sejenak. Mengistirahatkan pikiran sembari tetap menatap Naila
yang sedang mengusap air matanya. Nafis menunggu waktu untuk bicara.
“Naila… Kau perlu tahu. Itulah kehidupan. Terkadang kita terpisah sama
orang yang selalu dekat. Kadang kita menemukan teman baru untuk
diajak bicara. Sudahlah. Pasrahkan saja. Lagi pula… nanti juga Nesa
merindukan tanah airnya.”
“Kamu belum tahu yang sebenarnya, Nafis. Kamu belum tahu…hik, hik,”
seakan kata-kata Nafis menyayat hati Naela. Naela lepas dalam tangis.
“Maafkan aku Naila. Aku tak tahu.”
Lalu Naila pun menceritakan tentang Nesa. Naila dan Nesa berpisah
sejak lulus SMP. Sudah tiga tahun mereka tidak pernah ketemu. Naila
hanya berkomunikasi dengan Nesa lewat jejaring sosial, e-mail, dan lewat
ponsel. Tapi itu tidaklah cukup. Tidak cukup untuk melepas rindu.
Mereka berdua pun lulus sekolah SMA. Kebetulan teman SMP
mengadakan acara reuni tepat di hari libur panjang. Naila pun
memberitahu Nesa. Ternyata Nesa berniat hadir. Ia rela hadir demi
teman-temannya. Terutama demi berjumpa dengan Naila. Naila pun
menyambut penuh harap, dan meminta Nesa berjanji untuk hadir.
Nesa pun siap-siap berangkat. Orang tua mengizinkan ia pergi sendiri.
Tapi, saat perjalanan menuju bandara, Nesa mengalami kecelakaan.
Naila mendengar kabar dari orang tuanya. Betapa sedih hati Naila, sangat
sedih. Ia menangis sejadi-jadinya. Nesa sempat dibawa ke rumah sakit.
Tapi Nesa meninggal saat melihat kedua orang tuanya. Mendengar Nesa
meninggal, Naila lemas tak berdaya. Sampai tak sadarkan diri.
“Kenapa aku memberi tahu tentang acara reuni itu…, kenapa? Aku salah,
salah!, hik, hik. Kenapa juga aku memintanya untuk hadir? Aku menyesal.
Menyesal! Itu salahku… !” kata Naila menjelaskan panjang lebar penuh
kesedihan tentang sahabatnya.
Nafis diam termangu dalam memandang Naila bercerita. Dalam pikiran,
seolah ia memiliki segudang perkataan. Setelah Naila selesai bercerita,
Nafis tudukkan kepala. Mengusap air mata yang kini telah terpanggil
untuk keluar. Nafis kembali melihat perjalanan semut yang berada di
depan.
Di samping nafis, Naila tetap terdiam. Mengingat-ingat kembali kesedihan
yang pernah dirasakan. Ia usapkan air mata dengan tisu. Pun, mengusap-
usap hidung yang rupanya sedikit keluar ingus.
“Kau masih menyalahkan dirimu sendiri?” tanya Nafis menghidupkan
suasana sembari pandang mata tertunduk.
“Kamu pasti tahu. Baru setahun aku ditinggal pergi Nesa. Yah, kamu tak
perlu menanyakan itu. Pasti kamu menasihati, ‘Janganlah kamu
menyalahi diri sendiri’. Dan aku pun nanti akan terbuai dengan kata-kata
itu.”
Nafis diam sesaat. Lalu pandang mata ke arah mata Naila yang terlihat
sedikit legam.
“Baiklah. Itu terserah kau. Yang pasti, kau putus silaturahmi, putus
hubungan persahabatan, bukan dari hati permusuhan antara kau dan
Nesa. Yah, Terserah kau menyalahkan diri sendiri juga. Aku memaklumi
perkataan itu. Kita hidup selalu diliputi kesalahan. Walau kesalahan yang
bersifat manusiawi,” kata Nafis.
“Fis, warisan tentang silaturahmi telah memunculkan ide-ide untuk
mempertahankan silaturahmi itu sendiri. Sekarang bermunculan tradisi
silaturahmi ala teknologi. Begitu mudah dan murah untuk tetap
berhubungan walau jarak sangat jauh. Seperti aku dengan Nesa.”
“Ya betul. Sekarang teknologi memanjakan kita. Begitu mudah dan
murah. Sekarang jarang yang mengirim surat lewat pos. Sekarang sudah
ada e-mail¬, ponsel, jejaring sosial dan yang lainnya.”
“Tapi, itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan bersilaturahmi
sebagai makhluk bersosial. Tidak cukup, Nafis. Kamu bisa melihat
pengalamanku pada Nesa.”
“Iya, aku tahu. Silaturahmi lewat media teknologi tidak sempurna
memenuhi kebutuhan batin. Kau berhari-hari berhubungan. Tapi, tetap
saja batinmu merasa haus ingin bertemu.”
“Kamu memenuhi batinku, Nafis.”
Nafis tersenyum.
Mentari sudah terlihat di ujung Barat dan berwarna merah. Burung-burung
mulai berterbangan menuju sarangnya masing-masing. Para petani satu
per satu pulang ke rumah. Suara para pemuda yang bermain bola dekat
taman Blodog, sudah menghilang pergi. Sepi.
“Mari kita pulang, Naila. Ini sudah jam lima sore.”
Naila memandang penuh senyum bahagia. Terlihat tak ada rona
kesedihan pada wajahnya.
“Aku ingin tetap di sini satu jam lagi, Nafis. Tetaplah temani aku. Aku ingin
tetap bersamamu.”
“Ayolah pulang. Langit sudah terlihat gelap.”
“Kamu adalah sahabat penerang kehidupanku, Nafis.”
Nefis tersenyum kembali.