Peluh menetes deras di tubuh kurus sebagai saksi lelah raga. Mata lebam
merah bara emosi sebagai saksi jiwa nestapa kerendahan. Baju lusuh,
rumah tua sederhana, dan orang tua di masa pensiunan yang tak terurus
mewah dari anak hasil didikanya, sebagai saksi betapa kemiskinan
mewariskan kemiskinan. Dan itu hanya persoalan pendidikan, yang harus
telunjuk itu menuduh untuk memberikan sebaris pertanyaan “kenapa?”
pada istana kekuasaan pendidikan.
“Sudah pulang? Bagaimana jualannya?” seorang ibu yang sudah hampir
setengah abad dalam umur bertanya padaku yang baru saja pulang
berjualan buah mangga di pasar.
Aku diam. Lalu menengguk sejernih air tercemar bau kimia kota. Melihat
kursi di meja. Duduk bersebelahan dengan ibuku?Ibu Samirah. Termangu
seorang ibu menunggu jawaban sembari biji tasbih berputar tak henti
seolah menandakan putaran kehidupan.
Keheningan lebih terasa di saat malam tiba. Di ruangan ini. Ditemani
nyanyain jangkrik dalam memuji Tuhannya. Keheningan seakan
menjernihkan pikiran yang kalut tersangkut masalah hidup daratan kota.
Aku lepaskan nafas dengan nada emosi, seakan ingin berusaha lepaskan
kerendahan hidup. Walau kepasrahan masih saja menjadi tameng jiwa.
Tenangkan segera bara di hati.
“Ibu mengetahunya. Ibu lebih berpengalaman.”
“Ya sudah. Yang sabar saja. Ibu mengerti. Istirahatlah, Nak,” ibuku
mengetahui dari jawabanku.
“Ayah sudah minum obat?” tanyaku.
“Sudah,” singkat jawab ibu. Lalu komat-kamit mulut ibu lanjutkan kembali.
Aku menidurkan kepalanya di atas meja yang ada di dekatku. Dalam
pejamkan mata, pikiran terbang mencari lembaran-lembaran kenangan
untuk dibaca kembali sebagai perenungan. Aku menunda untuk terlelap
tidur.
****
Aku hanya seorang anak miskin yang bertubuh kurus. Tak terbiayai
daging dan susu karena sudah jadi hak anak kaya, katanya. Aku ber-
bapak tani musiman, dalam bantu garap tanah majikan. Aku ber-ibu
penjual kebutuhan rumah tangga di pinggir keramaian kota.
Setingkat SD aku dalam jenjang pendidikan. Berumur delapan tahun
memulai menduduki bangku sekolah. Orang tua berkeinginan aku dalam
kehormatan, di saat kemiskinan mencemooh kemajuan. Aku turuti
mereka. Dan aku belum merasakan penderitaan mereka yang papa.
“Kau harus sekolah, Nak. Biar hidupmu pandai cari rezeki. Tidak seperti
Ayah.” kata ayahku waktu itu.
“Biar kau jadi orang mulia, Nak,” kata Ibu.
“Baik, Ayah, Ibu?” kataku dengan nada tak mengerti.
Aku berangkat mandiri dalam langkah. Membawa kalimat harapan orang
tuaku walau tak mengerti maknanya. Mentari tersenyum hangat
menyambut langkah juangku. Buku catatan dan baju seragam hanya
hadiah tetangga sebelah. Untunglah. Tak punya buku cetak hasil penerbit
yang terjual mahal di saat banyak buku adalah jalan impian tercapai. Tak
apalah. Aku dengan harap, tetap berlanjut dalam langkah meraih mimpi
orang tuaku. Dan aku sangat bangga.
“Aku harus jadi orang yang pandai mencari rezeki, kata Ayah. Aku harus
jadi orang mulia, kata Ibu. Asiiik,” gumamku sembari membayang
kebahagiaan.
Ruang sekolah terlihat dekat. Aku berdiri mematung, memandang
keasingan pergaulan. Dan aku disambut Pak Guru, “Pagi, Nak... Ayo
masuk.”
“Gak?” kataku.
Orang tuamu nanti marah. Orang tua pesen apa, Nak? Hayoo… Pasti
pesan biar kamu… pin-terrr.
“Iyah. Ayahku pesan, agar aku… pandai mencari rezeki. Ibuku juga
pesan, biar aku, jadi, orang mulia…”
“Kalau begitu, yuk masuk.”
Aku pun masuk. Aku mengalungkan di leher sang pendidik berisikan
isyarat impian; seakan isyarat impian itu menyuruh pendidik agar tak diam
dalam beban berat sang miskin menggapai impian. Tetap memperhati
impian yang berkilau-kilau.
Dalam ruang kelas, aku terduduk diam bertingkah sekecil anak. Menatap
kosong goresan-goresan tulisan keterangan sembari mencatat mengikut
goresan sang pendidik. Tiap goresan tulisan sebenarnya sebuah tanda
tanya dalam pencapaian impian. Aku pun dalam dengar pada kata guru
yang terlontar keluar, menyebar di sekumpulan pelajar. Aku termangu,
tetap dalam lugu. Aku masih tak mengerti. Dan tetap bermain tingkah
anak kecil.
Sesekali melihat beberapa teman: di depannya, di belakangnya, atau di
sampingnya. Mereka berpenampilan bagus, bersih, dan rapih. Di
bangkunya, bersanding pula buku seukuran mahal. Aku tetap tak punya
kuasa, hanya harap mereka dapat memberiku buku.
Aku tengok ke samping. Gadis berwajah manis, berambut lurus, dan
berhidung mancung melirikku. Segera aku berikan sebait kata, “Di beliin
Mamah?”
“Apanya?”
“Buku."
Ia mengangguk sembari pancarkan senyum manisnya.
Dalam hati, aku memendam semangat haru biru. Dan dalam hati,
tersimpan jua hati kemiskinan yang siap menghunus pedang, membunuh
semangat.
****
“Tio... Bangun, Nak. Tidur lah kau dikamarmu….”
“Aku tidak tidur, Bu… aku cuma sedang mengenang masa kecilku dulu…
Aku begitu lugu ya, Bu. aku belajar dengan rajin. Tapi aku tidak mengerti
ilmu itu harus dimanfaatin bagaimana? Dan aku pun tak memikirkan hal
tersebut.”
“Kau menyesal sekolah, Nak?”
“Sempat begitu… Orang tua berjuang mati-matian mencari duit untuk
membelikan segala keperluan sekolah. Tapi, tetap saja nasibku begini,
Bu. Selama dua belas tahun hanya mendapat suguhan pengetahuan yang
mengawang. Aku bisa berjualan dari ilmu ibu… walau di pandang
sederhana.”
Aku bercita-cita ingin mengerti ilmu Ekonomi agar mampu
mengembangkan usaha Ibu. Pun, bisa ilmu Biologi biar bisa
mengembangkan pertanian. Tapi terhalang oleh banyak ilmu yang harus
aku jalani. Seharusnya aku tidak sekolah, dan tetap belajar kedua ilmu itu.
Aku bekerja di pabrik sepatu setelah setahun menganggur. Aku bekerja
menjadi pegawai rendahan. Berbulan-bulan bekerja. Setelah itu masa
kontrak habis. Lalu aku tidak bisa berkutik apa-apa. Ilmuku ikut
menganggur bersamaku.
“Masuklah ke kamarmu,” ibu menghentikan pembicaraan. Menyuruh
masuk ke kamar.
Aku menuruti permintaan ibu. Kuhembuskan nafas sesaat. Aku berdiri
dengan memikul beban hidup. Berjalan melewati kamar adik kembar
perempuanku yang tidur bersama, seakan mendengar candaannya.
Keduanya masih SMA yang kini diasuh dan membantu di rumah orang
kaya. Aku jadi teringat adik laki-laki pertama yang telah tiada.
Aku masuk. Aku rebahkan badan. Tiga tahun, aku sendiri dalam kamar.
Aku lirik di atas meja. Buku kelam catatan pengetahuan diam membisu.
Dan terbayang kisahnya.
****
Waktu terus berjalan mengikuti hukum keseimbangan. Kelulusan
menyambut hatiku. Aku tumbuh keremajaan. Aku dalam berbangga ria,
orang tua tak sia-sia.
Aku berniat masuk pada tingkat SMP. Kemiskinan tetap bertarung
denganku. Tapi tetap menantang kembali berlanjut dalam menuntut
pendidikan, yang katanya, “pendidikan adalah duduk mematung bartahun-
tahun dalam sekolah”. Dan orang tua hanya lepaskan sedikit biaya. Aku
bejalan dalam kemandirian. Sembari mengubah nasib di alam jalan raya.
Dan enggan impian kembali terkalungkan.
“Kau butuh kerjaan? Tanya gadis yang berwajah manis. Anisa namanya.
Ia seorang anak supir angkutan umum.”
“Iya, kataku?”
Gadis itu hanya menanyakan. Ia teman sejak SD. Aku berkata padanya,
kalau aku ingin berjualan. Aku ingin jadi tukang asongan. Ia pun memberi
uang untuk membeli keperluan dagangnya.
“Tempat ini ramai. Tempat berhentinya mobil. Tempat para penjual. Tapi
kau harus berani menghadapi keramaian.”
Sehabis sekolah aku berjualan. Dari siang sampai sore. Tak seberapa
untung yang aku dapat, walau penjualan lumayan laku. Malam aku
luangkan untuk belajar ilmu yang masih belum diketahui kegunaannya.
Belajar hanya disambut uap kantuk, dan kelelahan raga. Aku lakukan
setiap hari.
Pikiran di luar kesadaran pun datang. Apa mudah masuk tak ada
pembatas. Aku pun tak berdaya menerima kejadian-kejadian dalam
hidupku.
Seringkali godaan teman hadir. Dan itu di saat aku kelas dua. Aku pun
menimbang-nimbang mana yang akan aku lakukan. Pikiran jelek
sepertinya lebih menguasai. Aku berpikir, mengapa aku mempelajari ini?
Untuk apa? Toh aku bisa bekerja. Akhirnya godaan dunia remaja datang
menemani.
“Nah gitu dong,” kata teman yang mengajakku.
“Tapi aku tidak enak sama orang tua.”
Ah.. lo. Emang gue anak buangan? Gue juga punya bonyok. Tapi gue
biasa-biasa saja.
Orang tuaku sudah tunjukkan wajah murka. Ia terus-menerus menasehati
dengan penuh amarah.
“Kau tumbuh dewasa malah makin liar saja hidupmu!” Kata Ayah.
“Ibu tahu… kau masih menikmati dunia remajamu. Tapi luangkan
waktumu untuk belajar,” ibu tetap tunjukkan nada halus penuh kesabaran
padaku.
“Bu, lagian apa sih yang bisa diandalin dari pelajaran sekolah? Aku pun
berjualan tidak pakai ilmu dari sekolah.”
“Manfaat ilmu itu nanti. Sekarang ini, kau belajarlah dulu.”
“Bu… tapi butuh uang sekarang. Aku bekerja demi membantu kesulitan
Ibu dan kedua anak Ibu…belum lagi sekarang Ayah mudah sakit, tak kuat
kerja….”
“Tapi buktimu mana? Hidupmu malah liar. Kau mau jadi anak durhaka?
ohok, ohok,” kata ayah sembari batuk akibat gejala TBC.
“Ahh…lagian aku malu sama teman-teman. Aku dianggap kurang
pergaulan.”
“Terserah kau,” kata Ayah.
“Ya, Allah,” kata ibu sembari melenguh.
Saat masih SD, aku begitu penurut. Aku mau belajar. Aku pun sering
mendapat peringkat kelas walau di atas lima; peringkat itu masih belum
diketahui apa manfaatnya.
Aku pun berkeliaran di gelap malam. Tinggalkan pengetahuan. Awalku
merasa berat. Tapi aku malah menutup mata tentang belajar. Ditemani
gadis yang selalu setia mendampingiku. Ia pun ikut bersamaku. Awalnya
ia merasa canggung dengan perubahan sikapku. Tapi kini, ia malah yang
sering memulai mengajakku main di malam gelap bersama teman lainnya.
Uang hasil penjualan lenyap termakan kehidupan remaja. Kini, bukan
hanya meninggalkan belajar. Tapi uang untuk membeli buku pun tak ada.
Untung saja, Anisa sering membantu keuangan dalam membelikan buku.
Hasrat cinta menggelora! Masa puber untukku. Dipancing pula hasil
tontonan kotor yang tak layak di tonton. Tak ragu lagi, gadis itu yang
menjadi tempat hasrat cintaku. Ia pun sudah lama menyukai karena
ketampananku. Aku bercinta dengannya. Menikmati keindahan-keindahan
cinta remaja. Sampai nafsu menguasai. Di malam sepi… di rumahnya,
aku melakukan berbuatan keji. Dua tubuh menyatu dalam satu kasur.
Sampai puncaknya. Tak puas, aku pun melakukan kembali. Lagi, lagi dan
lagi. Sampai ia kandungkan buah cinta.
Anisa ungkapkan masalah kehamilan dengan penuh derai air mata. Aku
pun terkejut. Aku tak menerima keadaan ini. Ia berkeluh kesah tentang
perlakuan ayahnya.
“Apa? Kau hamil? Siapa yang menghamili?” Kata Ayah Anisa yang
berwajah asli Indonesia.
Anisa diam.
“Anak sialan,” tamparan ayah Anisa membuat Anisa makin diam. Dan
hanya tangisan yang ia berikan.
“Jawab Anisa!” Apa pacarmu yang menghamilimu? Dasar anak haram!
Ayahnya mendorong Anisa dan mengatakan kata yang menyakitkan.
Tak ada Ibu yang mendampingi Anisa. Ibunya sedang pergi ke rumah
orang tuanya. Anisa menangis sendiri. Pun tetap tak menjawab. Ia sangat
trauma depresi dengan keadaan ini. Mulut pun tetap terkunci rapat setelah
tahu bahwa dirinya hamil.
Anisa pun menemui diriku.
“Kau harus tanggung jawab! Atau aku akan bunuh diri!”
“Aku tidak mau. Tidak mau! Tidak! Ini tidak mungkin! Tidaaak!”
Aku terbangun. Nafas terengah-engah. Dan berusaha tenangkan nafas.
“Astahfirullah. Mimpi. Benar-benar mimpi. Syukurlah. Oh Anisa, kau Hadir.
Aku merindukanmu, Anisa. Huh… aku menghawatirkanmu. Kenapa
bermimpi begitu? Apa yang terjadi dengan Anisa?”
Seharusnya aku tidak begitu. Memang aku sekolah, tapi tak sampai
melupakan dunia pergaulan. Tetap hubungan pertemanan terjalin dengan
baik. Memang aku berjualan di ramai terminal, tapi tak sampai melupakan
belajar. Memang aku bergaul, tapi tak sampai melupakan aturan. Memang
Anisa itu sahabatku, tapi tak sampai menidurinya sampai membuahkan
hasil di perutnya.
****
Terlihat jam dinding menempel di tembok. Jam menunjukkan pukul lima
pagi. Aku segera ke kamar mandi. Aku mandi. Aku jalankan salat. Lalu
aku duduk di kursi. Dan termenung.
“Aku merasa kecewa dengan pendidikan yang aku raih. Dua belas tahun
belajar tak nampakkan juga kegunaan ilmu yang cukup untuk menghadapi
hidup. Semua ilmu pengetahuan aku lahap. Rutinitas sekolah dilakukan
dengan kesungguhan. Lelah dan duka selalu menyelimut menyambut.
Tapi, aku hanya orang rendahan yang tak pantas di sebut manusia
berpendidikan. Aku kecewa, malu. Aku bersekolah hanya menguras
tenaga tapi tanpa ada hasil nyata. Hanya ilmu hayalan sampah yang ada
di kepala.
Tok.Tok.Tok.
Suara pintu di ketok. Sepertinya ada tamu. Ah, barangkali si kembar itu.
Tapi tidak seperti biasa. Seperti orang lain. Tapi siapa?
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Bergegas aku menuju pintu. Aku rasakan penuh debar penasaran. Lalu
aku buka. Dan…
“Hah... Kau kah? Kau Anisa? Aku tanya keheranan. Sembari melirik perut
yang terlihat sedikit buncit.
Anisa tersenyum mengambang dan menganggukkan kepala. Ia terlihat
membawa beban yang teramat berat tapi tetap tunjukkan bahagia. Aku
pun membalas senyumnya.
Dua Tangan Anisa di belakang punggungnya. “Aku bawakan oleh-oleh
dari tanah Arab. Buah kurma,” katanya.
“Kau hamil?”
Ia hanya tersenyum mengambang. Anisa menunjukkan tangannya dan
memberikan bingkisannya. Aku bertanya-tanya dalam hati. “Apakah dua
buah kurma?”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com