Sebelumnya...
Maka pergilah Widura ke Indraprastha. Sampai di sana, ia disambut oleh Yudhistira. Raja muda itu bertanya dengan perasaan prihatin, “Mengapa engkau tidak gembi- ra? Apakah keluarga kita di Hastinapura sehat-sehat?
Apakah Baginda Raja dan putra-putranya sehat-sehat?” Setelah saling menyampaikan salam penghormatan, Wi-
dura menjelaskan maksud kedatangannya. “Semua kera- bat kita di Hastinapura sehat. Bagaimana di sini? Apakah semuanya sehat? Aku datang karena diutus mengundang- mu atas nama Raja Dritarastra. Datanglah ke Hastinapura dan lihatlah bangunan-bangunan yang telah disiapkan untuk beristirahat.
“Sebuah balairung indah telah didirikan seperti yang engkau bangun di sini. Baginda Raja mengundang kau dan adik-adikmu untuk beristirahat dan bermain dadu di sana.”
Yudhistira tidak langsung menerima undangan itu. Ia ingin mendengar nasihat Widura tentang undangan itu. Katanya, “Bermain dadu sambil bertaruh selalu menimbul- kan pertengkaran di antara kaum kesatria. Orang yang bijak pasti akan menghindari hal itu. Kami selalu patuh pada nasihatmu. Apa yang sebaiknya kami lakukan?”
Widura menjawab, “Setiap orang tahu, bermain dadu adalah pangkal semua kejahatan. Aku telah berusaha me- nentang rencana buruk ini! Tetapi Baginda Raja meme- rintahkan aku mengundang engkau. Terserah kepadamu,
lakukanlah apa yang menurutmu baik.”
Walaupun telah mendengar peringatan halus Widura, Yudhistira tetap saja berniat pergi ke Hastinapura.
Memang sulit menghindari nasib manusia yang dengan sengaja melangkah menuju kehancurannya sendiri karena didorong nafsu berahi, kegemaran berjudi, dan kebiasaan minum-minum. Lagi pula, sesungguhnya Yudhistira me- mang gemar berjudi. Menurut tradisi jaman itu, seorang kesatria dianggap tidak sopan jika menolak undangan bermain dadu. Kecuali itu, Yudhistira telah bersumpah untuk tidak pernah melakukan tindakan yang dapat membuat orang lain tidak senang atau marah. Karena itu, sungguh tidak pantas jika ia menolak undangan pamannya sendiri, Raja Dritarastra. Itu sebabnya ia menerima unda- ngan tersebut dan berangkat bersama saudara-saudaranya diiringkan sepasukan pengawal.
Yudhistira dan rombongannya diterima Dritarastra di Hastinapura dan dipersilakan menginap di balai peristira- hatan khusus untuk tamu. Setelah cukup beristirahat, esok harinya mereka diantar ke ruang permainan dadu. Setelah saling bertegur sapa sesuai adat, Sakuni mengu- mumkan bahwa permadani, meja dan kain beludu penu- tupnya telah disiapkan secara khusus dan bahwa perma- inan dapat dimulai.
Yudhistira berkata, “Paduka Raja, bermain judi itu tidak baik. Bukan dengan cara kesatria, kepandaian, dan kebi- jaksanaan seseorang menang dalam permainan adu nasib seperti ini. Resi Asita, para dewata dan dan para resi yang mengenal inti hakikat kehidupan secara mendalam telah menasihatkan, bahwa permainan judi harus dihindari, karena permainan ini bisa membuat orang ingin berbohong dan menipu. Mereka juga menyatakan bahwa kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran adalah jalan yang paling pantas bagi kesatria. Paduka Tuanku sudah tentu bukannya tidak menyadari hal ini.” Meski berkata demi- kian, sesungguhnya hati kecil Yudhistira bimbang karena kata-katanya bertentangan dengan kegemarannya bermain
dadu.
Sakuni tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam hati Yudhistira karena ia telah mendengar tentang sumpah kesatria itu. Itulah kelemahan Yudhistira. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sakuni. Ia berkata, “Apa salahnya permainan ini? Sebenarnya, jika sungguh-sungguh dipikir- kan, pertempuran itu sebenarnya apa? Apa pula gunanya berbincang-bincang tentang ajaran-ajaran Weda dengan para guru ahli kitab suci? Dalam kenyataannya kita tahu, orang pintar selalu menang melawan orang bodoh. Dalam kenyataannya, orang yang lebih pandai selalu menang dalam segala hal. Semua ini hasil ujian kekuatan atau kepandaian. Dalam kehidupan manusia, yang ahli selalu mengalahkan yang baru mulai belajar. Demikian pula da- lam hal bermain dadu. Kalau memang takut kalah jangan ikut main. Jangan mencari-cari alasan dengan mengemu- kakan basa-basi tentang ajaran moral dan budi pekerti.”
Yudhistira menjawab, “Baiklah, siapa yang akan main melawan aku?”
Duryodhana langsung menjawab, “Aku ingin meme- nangkan semua taruhanmu, semua harta kekayaan dan kerajaanmu. Paman Sakuni akan mengocok dadu dan ber- main atas namaku.”
Semula Yudhistira telah memperhitungkan bahwa dia pasti bisa menang melawan Duryodhana. Tetapi, melawan Sakuni lain soal. Sakuni termasyhur sebagai pemain dadu yang ulung namun tidak malu-malu menggunakan segala cara, kalau perlu cara-cara licik, untuk memenangkan permainan. Karena itu Yudhistira berkata, “Menurutku itu menyalahi adat. Sungguh tidak lazim seseorang bermain atas nama orang lain.”
Sakuni menjawab sambil mengejek, “Aku tahu, engkau hanya mencari-cari alasan.”
Wajah Yudhistira memerah. Sambil menahan marah ia menjawab, “Baiklah, aku akan main.”
Ruangan bermain dadu itu penuh sesak. Tampak di antara yang menonton adalah Drona, Mahaguru Kripa,
Bhisma, Widura dan Raja Dritarastra. Mereka memba- yangkan betapa buruknya akibat yang bisa ditimbulkan oleh permainan judi, tetapi mereka tak mampu mencegah. Itu sebabnya mereka duduk dengan gelisah. Para pangeran dan bangsawan menyaksikan permainan itu dengan penuh minat dan semangat.
Mula-mula mereka bertaruh uang, sesudah itu bertaruh emas permata. Disusul kereta dan kuda-kudanya. Yudhis- tira selalu kalah. Sejak permainan pertama dia belum pernah menang. Kemudian Yudhistira mempertaruhkan semua pengawal dan pelayannya, lalu gajah-gajah dan pasukan berkudanya. Semua yang ia pertaruhkan habis. Setiap kali Sakuni mengocok dan melemparkan dadu, dadu itu selalu memunculkan angka sesuai kemauannya.
Yudhistira kemudian mempertaruhkan semua desa di wilayah kerajaannya, lengkap dengan penduduknya, sawah dan ladangnya, dan segala macam ternaknya. Semuanya habis dikalahkan Sakuni.
Akhirnya Sakuni bertanya, “Apakah masih ada yang bisa kaujadikan taruhan?”
Yudhistira menjawab, “Aku pertaruhkan Nakula, sauda- raku yang tampan dan berkulit bersih. Ia adalah salah satu hartaku yang paling berharga.”
Sakuni bertanya, “Kau tidak menyesal? Kami akan senang sekali memenangkan taruhan itu.” Sambil berkata demikian ia melemparkan dadu. Ketika berhenti berputar, dadu itu memunculkan angka yang dikehendakinya. Hadi- rin bingung melihat itu.
Yudhistira berkata, “Ini saudaraku yang lain, Sahadewa. Ia seorang seniman yang punya pengetahuan mendalam tentang berbagai macam seni. Aku tahu, sebenarnya aku tidak boleh mempertaruhkan dia. Tetapi ... ayo, kita teruskan permainan.”
Sambil melemparkan dadu, Sakuni berkata, “Baiklah, kita teruskan permainan, dan ... lihat aku menang.”
Yudhistira menyerahkan Sahadewa yang ia pertaruh- kan. Khawatir kalau-kalau Yudhistira memutuskan untuk
berhenti bermain, dengan licik Sakuni memancing-man- cing, “Bhima dan Arjuna adalah saudara-saudara kan- dungmu. Kalian terlahir dari satu ibu. Kau tidak akan mempertaruhkan mereka, bukan?”
Mendengar kata-kata itu, Yudhistira tersinggung. Ia tidak mau dikatakan tega mempertaruhkan saudara-sau- dara tirinya dan lebih menyayangi saudara-saudaranya sekandung. Ia tidak dapat menahan perasaannya, lalu berkata, “Engkau sengaja hendak memecah-belah kami. Engkau mengadu domba kami! Engkau yang selalu hidup dikuasai nafsu setan takkan bisa mengerti bagaimana hidup kami yang sebenarnya.”
Setelah mengambil napas, ia menyambung, “Aku akan pertaruhkan Arjuna, pahlawan yang selalu menang di medan pertempuran. Mari kita teruskan permainan.”
Sakuni menjawab, “Baiklah, aku lemparkan dadu. Lihat
... aku menang!”
Yudhistira kalah lagi. Arjuna diambil oleh Kaurawa. Kekalahan terus-menerus membuat Yudhistira gelap mata. Tanpa sadar, ia semakin tenggelam dalam tipu daya Sakuni. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata, “Ini Bhima, saudaraku, panglima tertinggi balatentara kami. Ia tak kenal menyerah dan keperkasaannya tak tertandingi. Aku jadikan dia taruhanku.”
Permainan diteruskan. Yudhistira kehilangan Bhima. Sambil mengejek Sakuni bertanya, “Apakah masih ada
yang bisa kaujadikan taruhan?”
Dharmaputra menjawab, “Ya, diriku sendiri. Kalau kau menang, aku bersedia menjadi budakmu. Awas, perhati- kan! Aku pasti menang.”
Sakuni melemparkan dadu dan ia menang. Demikianlah, Yudhistira telah mempertaruhkan semua
miliknya, termasuk saudara-saudara dan dirinya sendiri, lengkap dengan pakaian dan senjata yang selalu lekat pada tubuh para kesatria. Semua itu gara-gara ia terbujuk oleh kata-kata Sakuni yang terus-menerus berusaha mempe- ngaruhi, memancing-mancing, menyindir dan mengejeknya
agar Yudhistira kehilangan kendali atas dirinya, menjadi marah, bernafsu dan tak kuasa menghentikan permainan.
Sakuni bangkit berdiri lalu memanggil kelima Pandawa satu per satu. Dengan lantang ia mengumumkan bahwa secara sah mereka sekarang menjadi budak-budaknya. Para hadirin terpaku, tak kuasa berkata-kata. Sambil memandang Yudhistira, Sakuni melanjutkan, “Masih ada satu permata milikmu yang dapat engkau pertaruhkan. Mungkin kali ini nasib baik berpihak padamu dan engkau menang. Apakah kau tidak berani melanjutkan permainan dengan mempertaruhkan Draupadi, istrimu?”
Dengan putus asa Yudhistira menjawab, suaranya bergetar, “Baiklah, aku pertaruhkan dia.”
Hadirin menjadi ribut. Dari tempat duduk para sesepuh terdengar bisik-bisik tidak setuju. Kemudian dari segala penjuru terdengar teriakan, “Tidak, tidak, tidak!”
Tetapi Duryodhana dan saudara-saudaranya bersorak- sorak. Di antara para Kaurawa, hanya Yuyutsu yang menundukkan kepala, sedih menyaksikan semua itu. Sakuni melemparkan dadu lagi dan berteriak, “Aku menang! Lihatlah!”
Duryodhana menoleh kepada Widura sambil berkata, “Pergilah ambil Draupadi istri Pandawa. Mulai sekarang ia harus menyapu dan membersihkan istana kita. Pergi segera! Sekarang juga!”
Widura menjawab, “Kau gila. Ini berarti kau mengun- dang kehancuranmu sendiri. Ketahuilah, nasibmu kini ibarat tergantung pada seutas benang. Kalau tak hati-hati, kau akan jatuh ke dalam jurang kenistaan. Kaukira keme- nanganmu ini akan membuatmu bahagia. Dengar, seka- rang kau sedang mabuk dalam lautan kemenangan yang akan menenggelamkan dirimu.”
Setelah berkata demikian, Widura menoleh kepada Yudhistira sambil melanjutkan kata-katanya, “Yudhistira, kau tidak berhak mempertaruhkan Draupadi sebab dirimu sendiri tidak bebas lagi. Dirimu sudah kaupertaruhkan. Kau telah kehilangan kebebasan dan segala hakmu. Tapi
... aku melihat keruntuhan Kaurawa semakin dekat. Kare- na mengabaikan nasihat dan petunjuk para guru, kawan dan pendukung mereka, aku yakin, putra-putra Drita- rastra kini sedang menuju ke lembah neraka.”
Duryodhana sangat marah mendengar kata-kata Widura. Ia lalu berkata kepada Prathikami, sais keretanya, “Widura iri melihat kemenangan kita dan takut kepada Pandawa. Tetapi engkau ada di pihak kami. Pergilah engkau, ambil, dan bawalah Draupadi ke sini.”
Prathikami pergi menjemput Draupadi di balai peristira- hatan. Seperti diperintahkan Duryodhana, ia berkata, “Paduka Permaisuri, Raja Yudhistira kalah dalam perma- inan dadu dan telah mempertaruhkan semuanya, terma- suk diri Paduka. Kini Paduka menjadi milik Duryodhana. Hamba diperintahkan menjemput Paduka untuk dijadikan pelayan di istana ini.”
Draupadi, permaisuri Rajadiraja yang telah melaksana- kan rajasuya, sangat terkejut mendengar pesan aneh itu. Ia bertanya, “Wahai Prathikami, apa maksudmu berkata begitu? Raja Yudhistira tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan?”
Prathikami menjawab, “Ya, Raja Yudhistira telah mem- pertaruhkan semua miliknya dan kalah. Kini ia tak punya apa-apa lagi. Karena itu, ia mempertaruhkan Paduka Permaisuri.”
Kemudian ia menceritakan bagaimana Yudhistira kalah dalam permainan dadu dengan mempertaruhkan semua miliknya, saudara-saudaranya, termasuk dirinya sendiri.
Walaupun hatinya pedih sekali, namun kekuatan batin- nya mendorong Draupadi untuk berkata, “Wahai sais kereta, kembalilah kepada tuanmu. Tanyakan pada yang bermain dadu. Tanyakan, apakah lebih dulu memperta- ruhkan dirinya sendiri atau istrinya. Tanyakan ini di depan semua yang hadir di sana. Kemudian kembalilah ke sini dengan jawaban itu. Setelah itu, barulah aku bersedia kaubawa ke sana.”
Prathikami kembali ke ruang permainan dadu. Ia
menyembah Yudhistira lalu menanyakan pertanyaan Drau- padi. Yudhistira bungkam, tak sanggup menjawab.
Sekali lagi Duryodhana menyuruh Prathikami menjem- put Draupadi agar bisa bertanya langsung kepada suami- nya. Prathikami kembali menghadap Draupadi. Setelah menyembah ia berkata, “Paduka Permaisuri, Duryodhana yang berhati licik mengharapkan Paduka pergi ke ruang permainan dan bertanya sendiri kepada suami Paduka.”
Draupadi menjawab, “Tidak! Kembalilah ke sana, aju- kan pertanyaan itu dan minta jawabannya.”
Prathikami mematuhinya. Ia kembali ke ruang perma- inan, menghadap Duryodhana dan melaporkan bahwa Draupadi tidak bersedia datang.
Dengan marah Duryodhana lalu berkata kepada Duhsa- sana, salah satu saudaranya, “Orang ini takut pada Bhima! Pergilah engkau dan bawa Draupadi ke sini. Kalau perlu ...
seret dia!”
Mendengar perintah itu, Duhsasana yang berhati busuk dengan senang hati pergi melakukannya. Sampai di balai peristirahatan, ia langsung masuk ke kamar Draupadi sambil berteriak-teriak, “Ayo pergi, kenapa kau diam saja? Sekarang kau milik kami. Jangan malu-malu, hai wanita cantik! Menurutlah, sebab kami telah memenangkan eng- kau. Ayo, sekarang juga kita berangkat ke persidangan!” Sambil berkata demikian ia mendekati Draupadi dengan maksud menyeretnya secara paksa.
Draupadi bangkit. Dengan perasaan sedih bercampur benci ia berlari mencari tempat berlindung. Ia bersembunyi di dalam kamar Permaisuri Raja Dritarastra. Tetapi Duhsa- sana mengejarnya, menyergapnya, dan mencengkeram rambutnya. Sambil mencengkam rambut wanita jelita itu, ia menyeret Draupadi ke ruang permainan. Setibanya di sana, sambil menekan perasaannya, Draupadi berkata kepada mereka yang lebih tua, “Bagaimana mungkin Tuan- Tuan membiarkan diriku dijadikan taruhan oleh orang yang telah kalah berjudi? Bukankah para penjudi adalah manusia-manusia jahat yang ahli tipu-menipu? Karena
suamiku sudah menjadi budak gara-gara kalah berjudi, ia bukan manusia bebas lagi dan karena itu ia tak berhak mempertaruhkan aku.”
Dengan air mata berlinang-linang Draupadi menerus- kan kata-katanya, “Jika kalian memang mencintai dan menghormati kaum ibu yang telah melahirkan dan menyusui kalian, jika penghargaan terhadap istri atau saudara perempuan atau putri kalian benar-benar tulus, jika kalian memang percaya kepada Yang Maha Agung dan dharma, jangan biarkan aku dihina seperti ini. Penghinaan ini lebih kejam dari kematian!”
Mendengar kata-kata Draupadi yang tajam menyayat hati dan melihat air matanya yang bercucuran, para sesepuh itu menundukkan kepala karena malu dan sedih. Bhima tak bisa menahan diri lagi. Dadanya sesak, seakan hendak meledak. Dengan suara menggelegar dan dengan nada pahit ia berkata kepada Yudhistira, “Penjudi kawakan yang paling bejat pun tidak akan mempertaruhkan perem- puan kotor yang mereka pelihara. Tetapi ... lihatlah dirimu yang mengaku sebagai manusia berbudi luhur. Engkau ternyata lebih buruk dari mereka. Engkau biarkan putri Raja Drupada, permaisurimu, dihina oleh manusia-manu- sia kurang ajar ini. Aku tak dapat membiarkan tindakan tak susila ini tanpa bertindak. Saudaraku Sahadewa, am- bilkan api. Akan kubakar tangan manusia-manusia yang merencanakan permainan dadu curang ini.”
Arjuna bangkit, menahan Bhima dengan kata-kata penuh kesabaran, “Sejak semula engkau tidak berkata apa-apa. Sejak dulu mereka selalu ingin mengenyahkan kita atau menjerumuskan kita ke dalam jaring-jaring keja- hatan agar kita terseret ikut berbuat jahat. Kita tidak boleh mengikuti segala tipu daya, kejahatan dan permainan licik mereka. Waspadalah!”
Mendengar peringatan Arjuna, Bhima diam dan beru- saha menahan perasaannya.
Tetapi Wikarna, salah seorang putra Dritarastra tidak tega melihat penderitaan Draupadi. Ia bangkit berdiri dan
berkata, “Wahai para kesatria yang hadir di sini, mengapa Tuan-Tuan diam saja? Aku tahu, aku masih muda. Tetapi karena kalian diam saja, aku terpaksa bicara. Dengar! Yudhistira telah ditipu dalam permainan yang telah direncanakan masak-masak sebelum ia diundang. Karena itu ia tak mungkin menang. Karena terus menerus kalah, ia kehilangan kendali atas dirinya. Ia tega mempertaruh- kan permaisurinya. Tetapi, sebenarnya ia tak punya hak untuk mempertaruhkan Draupadi karena putri ini bukan miliknya seorang. Maka taruhan itu tidak sah. Kecuali itu, Yudhistira telah kehilangan kebebasannya maka tak punya hak untuk mempertaruhkan putri ini. Ada lagi alasan yang memberatkan bahwa permainan ini tidak sah. Sakunilah yang mengusulkan Draupadi dijadikan taruhan. Ini berten- tangan dengan aturan permainan. Siapa pun yang bermain dadu tidak berhak meminta taruhan tertentu kepada la- wannya. Kalau kita pertimbangkan hal-hal tersebut, kita harus mengakui bahwa Draupadi telah dipertaruhkan dengan tidak sah, inilah pendapatku.”
Mendengar kata-kata Wikarna yang tajam dan berani, para tamu merasa lega dan pikiran mereka menjadi terang. Mereka bersorak, “Hidup dharma! Hidup dharma!”
Pada saat itulah Karna bangkit dan berkata, “Hai Wikar- na, engkau lupa bahwa banyak yang lebih tua darimu hadir di ruangan ini. Lancang benar engkau, berani mem- pertanyakan aturan-aturan. Engkau masih bocah. Kelan- canganmu melukai keluargamu yang telah melahirkan dan membesarkan engkau. Kau ibarat nyala api yang memba- kar ranting kayu arani dan akhirnya memusnahkan po- honnya. Kau ibarat seekor burung yang merusak sarang- nya sendiri. Sejak semula, ketika Yudhistira masih bebas, ia telah mempertaruhkan semua miliknya dan tentu saja itu termasuk Draupadi. Karena itu, sekarang Draupadi menjadi milik Sakuni. Hal ini tak perlu diperdebatkan. Semua milik Pandawa kini menjadi milik Sakuni, termasuk pakaian yang mereka kenakan. Hai Duhsasana, tanggal- kan pakaian Pandawa dan Draupadi. Serahkan semua
kepada Sakuni!”
Mendengar kata-kata Karna yang kasar, Pandawa mere- lakan pakaian mereka demi menjalani cobaan dharma yang amat pahit. Mereka menanggalkan pakaian, hingga tinggal sehelai kain penutup aurat. Semua mereka jalani demi kehormatan, kebenaran dan keagungan dharma.
Karena Pandawa menyerahkan sendiri pakaian mereka, Duhsasana mendekati Draupadi, siap merampas pakaian sang putri. Ia berusaha menelanjangi Draupadi, tetapi putri itu melawan dengan sekuat tenaga. Duhsasana terus memaksa dan Draupadi terus bertahan. Draupadi menge- rahkan kekuatan batinnya, membaca mantra dalam hati, berdoa dan memohon pertolongan Brahma, “Oh Dewata Penguasa Alam Semesta, kepadaMu kuserahkan segala keyakinanku. Jangan biarkan aku dihina seperti ini. Eng- kaulah satu-satunya tempatku berlindung. Oh Dewata, lindungilah aku.” Setelah berkata demikian, ia jatuh pingsan.
Duhsasana lalu melakukan perbuatan yang sangat memalukan itu. Ia menanggalkan pakaian Draupadi satu per satu. Ajaib! Tiba-tiba terjadilah sebuah peristiwa gaib. Setiap kali ia melepas pakaian sang putri yang tak sadar- kan diri itu, setiap kali pula muncul pakaian baru menu- tupi tubuhnya yang jelita. Duhsasana terus melakukan pekerjaan hina itu. Pakaian Draupadi menumpuk seperti gunung, tetapi tubuhnya yang belum siuman tetap utuh dan berpakaian lengkap. Semua yang hadir dalam ruangan itu gemetar, sadar bahwa Dewata telah memperlihatkan kebesaranNya. Duhsasana tak sanggup lagi melakukan tugasnya. Ia terduduk lemas, tak berdaya.
Dengan bibir gemetar Bhima mengucapkan sumpahnya, “Semoga aku tidak diterima oleh nenek moyangku di surga sebelum aku remukkan dada Duhsasana yang penuh dosa dan aku hisap darah manusia yang telah menodai keluhu- ran wangsa Bharata.”
Maka terdengarlah anjing dan serigala meraung-raung, unta, gajah, kuda dan keledai meringkik-ringkik, burung-
burung berkicau melagukan nyanyian duka di seluruh negeri. Semua itu merupakan pertanda akan datangnya malapetaka mengerikan di masa datang.
Raja Dritarastra sadar, keturunannya akan mengalami kehancuran. Dengan berani ia mengambil keputusan un- tuk berdamai dengan Pandawa. Ia memanggil Draupadi dan Yudhistira. Ia berkata kepada Yudhistira, “Engkau tidak bersalah, karena itu engkau bukanlah musuh kami. Maafkan Duryodhana demi keagungan budimu dan buang- lah kenangan pahit ini dari ingatanmu. Ambil kembali kerajaanmu, kekayaanmu dan semua milikmu. Engkau kubebaskan dan perintahlah kerajaanmu hingga rakyatmu makmur sejahtera. Kembalilah kalian ke Indraprastha.”
Demikianlah Pandawa meninggalkan ruangan terkutuk itu. Hadirin bingung dan terpaku melihat keajaiban yang tak masuk akal itu. Pandawa dilepaskan dari malapetaka yang mengerikan, tetapi itu semua terlalu cepat dan ringan untuk dinikmati keindahannya.
Setelah Yudhistira dan saudara-saudaranya pergi, di dalam ruangan terjadi perdebatan sengit. Atas hasutan Duhsasana dan Sakuni, Duryodhana memaki-maki ayah- nya yang telah mengacaukan rencana mereka. Mereka lalu mengutip petuah Brihaspati yang mengatakan bahwa melakukan tipu muslihat untuk menghancurkan musuh bebuyutan adalah tindakan benar. Ia menggambarkan, kebebasan dan kekuatan Pandawa akan membahayakan mereka jika dibiarkan tumbuh. Kata mereka, satu-satunya cara untuk mengalahkan Pandawa yang sakti dan perkasa adalah dengan tipu muslihat dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari tipu muslihat itu untuk melum- puhkan kebanggaan dan kehormatan mereka. Untuk itu, semboyan yang paling tepat adalah “tidak seorang kesatria pun akan menolak undangan bermain dadu.”
Mengetahui betapa besar cinta ayahnya kepada dirinya, Duryodhana meminta persetujuan Dritarastra untuk mengundang Yudhistira bermain dadu sekali lagi. Dengan berat hati karena merasa mendapat firasat buruk, Drita-
rastra memberikan persetujuan.
Segera Duryodhana mengirim utusan untuk menyusul Yudhistira yang belum sampai ke Indraprastha. Utusan itu membawa undangan pribadi dari Raja Dritarastra.
Setelah menerima undangan itu, Yudhistira berkata, “Memang benar, kebaikan dan kejahatan sudah tersurat dan tak dapat dihindari. Kalau kita harus main lagi, kita akan main, demikian jawabanku. Ajakan bermain dadu demi kehormatan tak dapat ditolak. Aku harus meneri- manya.”
Dharmaputra kembali ke Hastinapura dan bersiap-siap untuk bermain dadu lagi melawan Sakuni. Setiap orang yang berpikiran baik dan berpendirian halus yang hadir dalam pertemuan itu sebenarnya tidak menyetujui perma- inan itu. Agaknya Yudhistira telah ditakdirkan oleh Batari Kali, Dewi Kemusnahan, untuk menjadi umpan yang dapat meringankan beban dunia dari segala macam kejahatan.
Sebelum bertanding, taruhan ditentukan, “Barangsiapa kalah dalam permainan ini, ia dan saudara-saudaranya harus menjalani hidup dalam pengasingan dan pembu- angan di hutan rimba selama dua belas tahun. Pada tahun ketiga belas ia harus hidup menyamar selama setahun penuh. Kalau pada tahun ketiga belas ada yang mengenali mereka, mereka harus dibuang ke pengasingan selama dua belas tahun lagi.”
Tidak perlu diceritakan bagaimana Sakuni mengguna- kan tipu dayanya lagi dalam permainan ini. Lagi-lagi Yudhistira kalah. Pandawa harus menjalani hidup dalam pembuangan di hutan rimba. Mereka yang menyaksikan kekalahan Pandawa menundukkan kepala karena malu, diam tenggelam dalam duka dan tak mampu berbuat apa- apa.
Bersambung...