Sebelumnya...
Latu Ki Wati yang semestinya tak punya rasa takut itu, mendadak takut karena melihat samar-samar satu sosok berjubah makin dekat dan makin dekat. Lidah Ki Wati akan berteriak, namun kelu. Suara pun tersekat di kerongkongan.
Orang berjubah itu tinggi besar. Makin dekat makin tinggi.
Dan ... wajahnya tampak rata.
Bulu roma Ki Wati makin merinding, karena tiba-tiba orang itu berkata: “Pinjam cangkulmu. Orang sakti seperti beliau, kuburannya harus dalam. Ada nanti yang jahat menggali kuburan ini, mengambil satu dua helai rambut beliau “.
“Siapa anda?” tanya Ki Wati mulai berani.
“Aku bekas muridnya. Karena durhaka pada Guru, pada beliau, aku bertanding.
Senjatanya yang ampuh, yaitu Pedang Raja Turki, telah membabat wajahku hingga rata. Aku bukan manusia lagi, bukan setan ataupun jin!”
Orang misterius itu mencangkul. Begitu cekatan, bertambah lagi dalam lubang itu tujuh hasta. Ketika cangkul diserahkannya kembali, Ki Wati terjengkang ke belakang karena melihat wajah itu mirip harimau luka yang mengaum dahsyat. Entah bagaimana sosok harimau itu berlalu dari situ.
Ki Wati teringat Pedang Raja Turki itu. Namun dia harus menguburkan Sang Guru terlebih dahulu. Ringkas sekali waktu penguburan oleh sang murid.
Baru setelah itu, Ki Harwati menggeledah rumah. Dia menemukan pedang yang istimewa, adanya dalam salah satu tiang bambu. Dengan pedang itu, dia merasa tongkatnya tak ada arti lagi. Pedang itulah yang disandangnya pergi.
Dan, di Guha Lebah memanglah sedang terjadi satu malapetaka dahsyat. Ki Pita Loka dengan wajah sedih menyaksikan lebah-lebah piaraannya yang setia selama ini begitu panik. Mereka tak bisa keluar karena sebuah batu raksasa jatuh tepat di depan pintu guha. Lebah-lebah itu mencari jalan keluar dengan kalap. Mereka menerjang atap guha, tapi lantas jatuh berguguran. Dalam sinar satu obor kayu karet itu, tampaklah lebah-lebah itu jatuh seratus demi seratus ekor. Mereka berguguran.
Gumara sendiri duduk terpaku pada kursi batu seperti orang tolol. Apa yang dicarinya, sesuai dengan peutunjuk Ki Ibrahim Arkam berdasarkan takwil mimpi, sepertinya cuma berita bohong. Kitab Makom Mahmuda justru tidak ada. Bahkan Pita Loka sudah bersumpah, bahwa dia tidak memiliki Kitab sakti itu. Yang terjadi justru sebaliknya!
Tirai stanggi yang konon merupakan dinding lingkaran asap yang selama ini jadi kisah kesaktian Pita Loka dari mulut para guru-guru besar, malahan tidak mengeluarkan bau stanggi lagi. Memang asap itu ada. Dan Gumara menyaksikannya.
Asap itu mengepul dari dasar lantai guha. Namun tidak mengeluarkan bau stanggi.
Asap itu malahan menyesakkan nafas. Sebab bau yang dipancarkannya berupa bau belerang.
“Bagaimana jalan keluar kita?” tanya Gumara.
“Kita sedang terkurung. Sejak meteor jatuh dari angkasa luar menutupi pintu guha, kita seakan-akan siap untuk mati terkurung”, kata Ki Pita Loka. Gumara yang dirinya kelihatan berubah menjadi tolol, lalu bertanya; “Bagaimana nasib Dasa Laksana?”
“Persetan dengan dia”, kata Pita Loka.
“Persetan? Kalau begitu kau membenci dia!”
“Ya!”
“Kukira kalian berdua sudah melangsungkan ikatan”.
“Dia biang keladi bencana ini. Seorang manusia kota yang moderen, telah mencemarkan kebersihan ilmu kebatinan”.
“Lalu, yang kau maksud kamarnya?” tanya Gumara.
“Lihat sendiri saja”, kata Pita Loka.
“Boleh aku bertatap muka dengan dia?”
“Silahkan”, kata Pita Loka.
Gumara bertanya lagi: “Tunjuki padaku tempat di mana dia berada. Tampaknya kamu sangat merahasiakan”.
“Itu. Di Sana. Sekarang tak ada kamus rahasia lagi”, kata Ki Pita Loka. Gumara menuju ke tempat telunjuk Ki Pita Loka tertuju. Ada satu lorong sempit Makin Gumara masuk, makin terasa bau amis. Seperti bau bangkai ular! Tak ada penerangan ke sana. Jadi Gumara mesti meraba-raba dinding lorong itu.
Lalu Gumera merasakan jalan ke sana licin. Berkali-kali hampir tergelincir dia, Sementara itu bau amis semakin mendahsyat. Gumara ingin tahu sumber bau itu. Dia tergelincir lagi sebab sepatu karetnya harus menginjak benda licin. Gumara lantas berhenti melangkah. Dia berjongkok. Dan dirabanya penyebab ia terpeleset sebab licinnya.
Begitu dirabanya lantai guha yang licin itu, dia merasakan semacam sisik ular.
Untunglah dia tak menjerit. Cuma bulu romanya meremang. dia melanjutkan perjalanan. Tampak ada sedikit cahaya obor. Ini membuat Gumara ingin tahu.
Semakin terang cahaya itu, semakin besar rasa ingin tahu Gumara, mengapa ada semacam ular di lantai guha yang bikin dia terpeleset lagi!
Ular!
Benar-benar bangkai ribuan ular di lantai itu! Ular-ular yang jumlahnya begitu banyak, rupanya baru saja mati. Ular itu mati keracunan asap belerang yang memang memenuhi lorong yang sedang dilewati Gumara.
Terdengar suara: “Siapa itu”
Suara itu dari lorong yang ke kiri. Gumara menoleh ke suara itu. Barulah tampak olehnya, Dasa Laksana, dalam keadaan dirantai. Tubuhnya tinggal tulang di balut kulit. Bibirnya kering. Matanya menonjol keluar. Dan rupanya dia barusan saja makan bangkai ular.
“Aku Gumara yang pernah anda kalahkan”, kata Gumara.” Mengapa anda dirantai begini?”
“Aku dalam belajar dengan Ki Pita Loka. Lalu mendadak nafsu birahiku timbul dalam suatu upacara kenaikan tingkat ilmu yang kupelajari darinya. Aku mencoba memperkosanya. Tapi gagal. Lalu aku dibantingnya sampai pingsan. Dan kudapati diriku di sini, diawasi oleh ratusan dan ribuan ular berbisa, dalam keadaan dirantai”
“Tahukah anda apa yang sedang terjadi?” tanya Gumara.
“Aku tahu” ujar Dasa Laksana, “Aku kehilangan daya. Bencana ini tiba akibat kutukan. Kutukan dari langit. Ketika meteor itu dua kali membentur Bukit Lebah ini, kukira aku akan mati. Tapi tolonglah aku kini!”
Gumara kehilangan akal. Lalu dia dengar ucapan Dasa Laksana: “Tahukah anda, saya mencoba memperkosa Ki Pita Loka berdasarkan mimpi?”
“Kau juga termasuk percaya takwil mimpi?” tanya Gumara.
““Yah, sudah terlanjur terlibat dalam dunia asing ini ...begitulah! Aku bermimpi ketemu orangtua yang bernama Ki Rotan. Mimpi itu selanjutnya menyatakan. agar aku menyetubuhi Ki Pita Loka agar mendapatkan tuah. Ilmu Ki Pita Loka akan sendirinya kupunyai bila berhasil menyetubuhinya. Nyatanya ... itu semua godaan”.
Lalu mendadak, amat mengejutkan, terdengar suara gemuruh! Gumara maupun Dasa Laksana sama menjerit. Satu kesan bahwa ada cahaya di lorong kanan itu sudah jelas.
Ya, cahaya dari arah selatan. Dari lorong mati. Lalu muncul bayang-bayang setelah setengah jam Gumara dan Dasa Laksana terpana bisu. Kebisuan itu terpecahkan oleh bunyi langkah orang mendekat Dari bayangan yang timbul bergerak di dinding lorong
kanan itu, tampak bahwa manusia yang bergerak masuk itu memegang tongkat.
“Itu orang yang kulihat dalam mimpi!” seru Dasa Laksana tak tahan, meronta.
“Ki Rotan”, bisik Gumara.
Gumara segera berkonsantrasi karena merasa dalam bahaya.
Aneh? Biasanya jika dia berdzikir,,,, dia merasa ada getaran gelombang masuk ke dalam dirinya! Kali ini tidak ada getaran.
Ia seperti bocah yang ketakutan sewaktu Ki Rotan mendekat wajah Ki Rotan jadi buas. Gumara dan Dasa Laksana sama mengkeret takut. Ki Rotan mengayunkan tongkat. Lalu disabetnya tubuh Gumara.
Gumara menjerit lantang.
Lalu Ki Rotan berkata. “Kini giliran akulah yang akan memiliki Kitab Sakti itu! Mana Ki Pita Loka!”
Bersambung...