Sebelumnya...
Selama diam di puncak Gunung Gede itu bersama gurunya, walau bagaimanapun
miring otak sang guru, namun baru hari itulah Wiro Saksana melihat dan mendengar
Eyang
Sinto Gendeng menyanyi. Kata-kata dalam nyanyian itu entah mengapa membuat Wiro
jadi
berdebar. Apakah maksud kata-kata nyanyian itu? Perasaan yang bagaimanakah yang
tengah
dicetuskan oleh gurunya karena Wiro melihat nenek-nenek itu menyanyi dengan penuh
perasaan, dengan mata memandang jauh ke muka. Tujuh belas tahun membuat aku si tua
bangka tambah tua.
Kata-kata ini jelas ditujukan ke diri gurunya sendiri. Tapi pada
siapakah
ditujukan kalimat yang berbunyi: Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi
pemuda
gagah, itu? Apakah ditujukan kepadanya? Berdebar hati Wiro Saksana. Kemudian kalimat-
kalimat: Tujuh belas tahun ujung perpisahan.... serta.... Tujuh belas tahun saat
pembalasan....
Apakah arti semua itu?
Ketika Wiro Saksana memandang ke atas pada saat itu pula Eyang Sinto Gendeng
melihat ke bawah. Dan mata yang tajam dari Wiro Saksana, meskipun cuma sekilas,
namun
masih dapat melihat pantulan air muka serta cahaya mata gurunya yang lain dari
biasanya!
Air muka itu. Sinar mata itu menyembunyikan satu perasaan sedih! Perasaan apakah yang
menyemaki hati sang guru sebenarnya?
Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng membentak keras sampai Wiro Saksana terkejut dan
serasa terbang nyawanya.
”Tunggu apa lagi, geblek?! Orang sudah haus dianya tegak mematung! Kukencingi
kepalamu baru tahu! Lemparkan gayung itu cepat!”
Dan Wiro Saksana segera lemparkan gayung batok kelapa yang berisi air ke atas.
Gayung itu melesat ke atas tanpa setetes airpun yang tumpah!
”Bagus Wiro.... bagus sekali!” memuji Sinto Gendeng. Dan dengan tangan kirinya
disambutnya gagang gayung. Sesaat kemudian tenggorokannya yang kurus dan
kerinyutan itu
kelihatan turun naik meneguk air dari dalam gayung. Air itu diteguknya sampai habis.
”Terima gayung ini kembali, Wiro!”
Gayunng melesat ke bawah. Wiro Saksana ulurkan tangan untuk menyambut tapi pada
detik itu pula di atas pohon gurunya kelihatan menggerakkan tangan kanannya. Angin
deras
mendorong kepala gayung, membuat gayung yang hendak disambuti Wiro Saksana itu
mencelat ke samping dan menyerang dadanya!
”Gila betul!” bentak si pemuda. Cepat-cepat dia palangkan lengannya di muka dada.
Gayung dan lengan beradu. Gayung pecah berantakan ke tanah, gagangnya patah dua!
Pada saat itulah Sinto Gendeng melayang turun ke bawah. Kedua kakinya menjejak
tanah tanpa suara dan tanpa meninggalkan bekas sedikitpun padahal cabang pohon jambu
klutuk dari mana dia meloncat tadi hampir empat tombak tingginya. Dapat dibayangkan
bagaimana luar biasanya ilmu meringankan badan perempuan sakti ini!
Kedua orang itu, guru dan murid berdiri berhadap-hadapan. Wiro Saksana dapat
merasakan betapa lainnya pandangan kedua mata Sinto Gendeng kepadanya, pandangan
yang
tidak dimengertinya. Nenek-nenek ini bergerak mundur beberapa langkah ke belakang.
Kedua
kakinya kemudian merenggang sedang kedua tangan mengembang ke muka. Mulutnya
berkemik. Detik demi detik sepasang kakinya amblas ke dalam tanah sampai tiga senti
sedang
seluruh tubuhnya bergetar hebat. Mukanya yang hitam dan berkerinyut itu basah oleh
keringat.
Tiba-tiba kejut Wiro Saksana bukan olah-olah ketika dilihatnya bagaimana kedua
tangan gurunya berwarna putih sekali sedang sepuluh kuku jari tangan perempuan itu
memerak serta memancarkan sinar yang menyilakuan!
”Eyang!” seru Wiro Saksana. ”Apakah kau mau bikin aku mati konyol dengan
pukulan sinar matahari itu?!”
Sinto Gendeng tidak menjawab. Mulutnya semakin mengemik. Rahang-rahangnya
semakin mengatup dan pandangan mata serta tampangnya sangat mengerikan!
Merinding bulu kuduk Wiro Saksana. Baru kali ini dilihatnya gurunya sedahsyat itu.
Tanpa menunggu lebih lama, tanpa menunggu sampai kedua tangan yang mengepal
dihantamkan ke muka, maka pemuda ini cepat-cepat pentang kaki dan dekapkan lengan di
muka dada. Matanya meram, mulutnya komat kamit. Sepasang kakinya amblas dua senti
ke
tanah. Tubuhnya tak bergerak barang serambutpun, laksana gunung karang yang keras
membatu!
”Ciaaaaaaatttt”
Bentakan Sinto Gendeng melengking melanglang langit! Kedua tangannya dipukulkan
ke muka. Dua rangkum sinar putih yang menyilaukan serta panasnya dapat
menghanguskan
dan melelehkan benda apa saja menggempur ke arah sasaran di muka sana yaitu tubuh
Wiro
Saksana!
Pada detik yang sama Wiro Saksana membentak pula.
”Heeyyyaaaaa!”
Tangan yang tadi bersidekap dengan serentak memukul ke depan. Dan kedua tangan
itu terus saja terpentang lurus ke muka. Inilah apa yang dinamakan ilmu pukulan ”benteng
topan melanda samudra”! Ilmu pukulan ini bukan saja dapat dipakai untuk menyerang tapi
sesuai dengan namanya juga dapat menjadi perisai tangguh atau benteng kekar yang
melindungi Wiro dari serangan gurunya!
Bila angin-angin topan pukulan itu sama bertemu di udara maka terdengarlah suara
berdentum yang menyenging liang telinga, debu dan pasir beterbangan, daun-daun pohon
berguguran bahkan ranting-ranting kering patah-patah dan berjatuhan! Puncak Gunung
Gede
bergetar. Langit seperti mau terbelah oleh dentuman itu!
Ketika debu dan pasir surut ke tanah, ketika keadaan di sekitar situ menjadi terang
kembali maka Wiro Saksana melihat bagaimana kedua kaki gurunya amblas ke dalam
tanah
sedalam sepuluh senti. Muka perempuan itu penuh keringat dan matanya menyipit. Namun
bila ditelitinya pula keadaan dirinya maka didapatinya kedua kakinya tenggelam ke dalam
tanah sampai sebatas betis. Sedangkan tubuhnya yang memercikkan keringat dingin itu
terasa
masih bergetar gontai akibat adu tanding tenaga dalam yang luar biasa tadi!
”Bagus Wiro, bagus sekali!” terdengar Eyang Sinto Gendeng. Meski memuji namun
dari mukanya bukan menunjukkan kegembiraan, sebaliknya muka yang berkerut-kerut itu
masih memancarkan kengerian. ”Sekarang sambuti pukulan angin es ini, Wiro!”
Dan habis berkata begitu, Sinto Gendeng angkat tinggi-tinggi kedua tangannya dengan
telapak membuka lebar menghadap ke arah muridnya. Matanya kembali terpejam. Wiro
menunggu dengan badan tiada bergerak.
Udara mendadak menjadi sangat sejuk. Kemudian ketika Sinto Gendeng memutar-
mutar kedua tangannya maka kesejukan itu mendadak sontak berubah menjadi udara
yang
sangat dingin menyembilui tulang-tulang sungsum. Geraham-geraham Wiro Saksana
bergemeletakan menahan rasa dingin yang amat sangat itu. Permukaan kulitnya membeku
seperti ditutupi salju. Tanah yang dipijaknya laksana pedataran es. Satu menit saja hal itu
berlangsung lebih lama pastilah tubuh pemuda ini menjadi beku membatu. Inilah
kehebatan
ilmu kesaktian yang bernama ”angin es” itu!
Dengan badan bergetar menahan dingin, Wiro Saksana membentak dahsyat.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya diputar-putar ke udara angin laksana badai
menggebubu ke pelbagai arah. Puncak gunung itu menderu-deru. Daun-daun pohon yanag
tadi kaku tegang oleh dinginnya udara kini kelihatan mulai bergerak, makin kencang –
makin
kencang. Udara dingin yang tadi menyayat sungsum kini tergetar buyar dilanda ilmu
”angin
puyuh” yang dilepaskan oleh Wiro Saksana.
Semakin keras putaran tangan pemuda itu, semakin membadai gebubu angin, semakin
buyar udara dingin. Daun-daun pohon yang tadi hanya bergerak-gerak kini jatuh
berhamburan
bersama rantingnya. Kemudian satu demi satu pohon-pohon kecil bertumbangan. Pohon-
pohon besar yang masih bisa bertahan menjadi gundul daun dan rantingnya! Tubuh Eyang
Sinto Gendeng kelihatan tergoyang hebat. Pakaian hitamnya berkibar-kibar.
”Gila betul! Gila betul!” teriak perempuan sakti itu. Mulutnya mengeluarkan
lengkingan dahsyat kemudian dia melompat sejauh sembilan tombak dan dari situ
mencabut
sebuah tusuk kundai lalu menyambitkannya ke arah Wiro.
Sang murid cepat-cepat hentikan putaran tangannya dan melompat ke samping. Tusuk
kundai membawa angin maut itu melesat menghantam sebatang pohon. Pohon itu
tumbang
dengan batang pecah berkeping-keping!
Udara dingin lenyap. Angin yang memuyuh juga lenyap dan suasana kembali sepeti
sedia kala. Ketika Wiro memandang ke muka dilihatnya gurunya berdiri memegang
sebentuk
kapak yang aneh sekali. Belum lagi dia sempat meneliti lebih lama benda itu, Eyang Sinto
Gendeng ajukan pertanyaan, ”Kau lihat senjata di tanganku ini, Wiro? Kau lihat....?!”
Sang murid mengangguk dan matanya tetap lekat ke kapak aneh di tangan gurunya.
”Kali ini kau tak akan sanggup lagi berkelit dari seranganku, Wiro!”
”Eyang Sinto.... apakah kau sudah gila hendak membunuh murid sendiri....?!”
Perempuan itu tertawa mengikik. ”Aku memang sudah gila Wiro! Kalau tidak
percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok kau yang tidak tahu artinya Gendeng!”
Wiro memandang dengan waspada. Matanya kembali meneliti kapak aneh di tangan
gurunya. Kapak itu bermata dua dan besarnya hampir sebesar batu bata. Gagangnya putih
bersih, mungkin terbuat dari gading menurut taksiran Wiro. Pada batang kapak yang besar
hampir sebesar lengan itu kelihatan enam buah lobang-lobang kecil. Ujung terbawah dari
gagang kapak ini merupakan kepala seekor naga yang mulutnya membuka.
”Wiro!”, kata Eyang Sinto. ”Aku akan pergunakan kapak ini tiga jurus berturut-turut
untuk menyerangmu! Bila kau sanggup melayaninya, kau akan selamat. Kalau tidak maka
bersiaplah untuk mati konyol!”
Wiro Saksana kertakkan geraham. Dia hendak menjauhi kata-kata gurunya itu. Namun
sebelum mulutnya terbuka, Eyang Sinto Gendeng sudah berseru:
”Ini jurus pertama Wiro!”
Bersambung...