Sebelumnya...
Si tua Sinto Gendeng menerjang ke muka. Kapak besar di tangan kanannya membabat
kian kemari dalam jurus ”orang gila mengebut lalat.” Ketika tadi Wiro Saksana memainkan
jurus itu dengan mempergunakan sebilah keris, kehebatannya sudah luar biasa apalagi kini
penciptanya sendiri yang melakukannya maka dahsyatnya bukan olah-olah!
Kapak besar itu berkelebat kian kemari hampir tidak kelihatan karena cepatnya. Angin
deras bersiuran mengibar-ngibarkan pakaian Wiro. Angin deras ini bukan sembarang angin
karena bila menyambar kulit maka kulit itu perih bukan main, seperti lecet! Dan dari mulut
kepala naga pada ujung gagang kapak senantiasa keluar suara mendengung macam
tawon!
Dalam sekejap saja Wiro Saksana segera terbungkus sambaran-sambaran kapak
bermata dua itu. Mata dan kulit tubuhnya perih terkena angin tajam yang menderu-deru.
Telinganya pengang oleh suara yang mengaung yang keluar dari mulut kepala naga-
nagaan
pada gagang kapak.
”Ciaaaaatt!”
Wiro membentak dahsyat. Tubuhnya berkelebat dan lenyap detik itu juga. Tangan dan
kakinya sambar menyambar kian kemari, membuat gerakan menghindar dan menyerang
bagian-bagian yang lowong dari gurunya. Tapi mana dia sangup mengahadapi senjata
aneh
yang dahsyat itu. Apalagi senjata tersebut berada dalam tangan Sinto Gendeng dan
mempergunakan jurus ”orang gila mengebut lalat” yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaannya. Dalam sekejap saja pemuda itu terdesak hebat. Lengah atau ayal
sedikit
saja pastilah pinggang atau perut atau dada atau tenggorokannya akan kena disambar
mata
kapak.
Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi yang
dimilikinyalah maka Wiro Saksana dapat menghindari sambaran-sambaran dan bacokan-
bacokan kapak bermata dua itu. Berkali-kali Wiro melepaskan pukulan-pukulan tenaga
dalam
yang dahsyat. Namun angin pukulannya terbendung bahkan dihantam buyar oleh angin
tajam
yang menderu yang keluar dari senjata di tangan gurunya.
”Senjata edan!” maki Wiro Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke bawah.
Serentak dengan itu tangan kanannya dengan jari-jari ditekuk kedalam meluncur ke arah
sambungan siku Eyang Sinto Gendeng.
Tapi pada detik itu pula kaki kanan sang guru menyapu dari atas ke bawah, mencari
sasaran di kepala Wiro Saksana. Mau tak mau ini pemuda terpaksa jatuhkan dan gulingkan
diri di tanah. Dengan demikian maka berakhirlah jurus pertama yang penuh kehebatan itu.
Sinto Gendeng berdiri dengan dada turun naik.
”Kini jurus kedua, Wiro!” katanya. Kedua kakinya dipentang lebar-lebar. Tubuhnya
membungkuk ke muka sedikit sedang kapak di tangan kanan dipegangnya lurus-lurus ke
muka ke arah Wiro Saksana. Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto Gendeng
mengeluarkan benda hitam yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Wiro tak dapat
memastikan benda apa yang ada dalam tangan kiri gurunya itu. Mungkin sebentuk besi,
mungkin juga sebuah batu.
Tiba-tiba tangan kiri Sinto Gendeng memukulkan benda di tangan kirinya ke kepala
kapak. Bunga api memijar. Dan sedetik kemudian lidah api yang dahsyat menyambar ke
arah
Wiro Saksana!
Terkejutnya pemuda itu bukan alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke udara.
Lidah api lewat di bawahnya, kedua kakinya terasa perih panas dan bila dia melirik ke
belakang maka dilihatnya bagaimana semak belukar serta pepohonan terbakar berkobar
oleh
sambaran lidah api tadi!.
Masih belum turun ke tanah lagi, maka Sinto Gendeng telah menyerang pemuda itu
untuk kedua kalinya. Lidah api menyambar lagi. Wiro bergulingan di tanah, menghindarkan
dengan sebat. Tanah yang tersambar lidah api kapak sakti itu menjadi hitam hangus. Wiro
leletkan lidahnya. Masih belum sempat dia mengatur nafas, tangan kiri dan tangan kanan
Sinto Gendeng bergerak lagi berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah lusin
banyaknya menyambar tubuhnya dari enam jurusan!
Wiro memekik dahsyat. Meraung dan membentak. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi ke atas. Tubuhnya melompat kian kemari, mulutnya komat-kamit. Aji angin es yang
ditebarkannya hanya bisa menahan gelombang lidah api yang menyambar tapi sama sekali
tidak dapat melenyapkan hawa panas lidah-lidah api itu!
Wiro Saksana kelagapan tapi masih belum hilang akal! Bentakan setinggi langit
melengking ke udara. Tubuh Wiro Saksana lenyap keluar dari sambaran-sambaran lidah-
lidah
api untuk sesaat kemudian berguling di tanah dengan sangat cepatnya, menuju ke tempat
Eyang Sinto Gendeng berdiri.
Sambil bergulingan ini, Wiro lepaskan dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu
”kunyuk melempar buah” yang satu lagi ”sinar matahari”! Mau tak mau Sinto Gendeng
hindarkan diri juga ke samping. Maka putuslah jurus kedua itu!
Wiro Saksana itu berdiri dengan tubuh berkeringat dingin. Dibelakangnya kobaran api
masih juga membakari semak belukar dan daun-daun pepohonan. Gurunya dilihatnya
berdiri
tegak tak bergerak. Benda yang di tangan kirinya tadi ternyata adalah sebuah batu api dan
kini
sudah disimpannya kembali di balik pakaian hitamnya.
”Jurus terakhir Wiro....!” kata Eyang Sinto Gendeng.
Pemuda itu tahu, kalau dua jurus pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus
ketiga atau yang terakhir ini tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya dia benar-benar lebih
waspada dan teliti kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot tajam-tajam ke
depan.
Sinto Gendeng memegang kapak itu dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang terbuka
di dekatkannya ke mulutnya sedang jari-jari tangannya menutup enam lobang di batang
kapak. Ketika Wiro Saksana tidak mengerti apa yang bakal diperbuat gurunya maka
terdengarlah suara tiupan seruling! Ternyata kapak itulah yang mengeluarkan suara
seruling
tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng!
Gema seruling itu mula-mula perlahan, halus dan lembut, memukau Wiro Saksana.
Kemudian tiupan seruling mengeras dan pembuluh-pembuluh darah di tubuh Wiro seperti
ditusuk-tusuk. Darahnya mengalir tidak karuan, menyendat-nyendat. Matanya mengabur,
kepalanya berat dan pusing!
Maklum bahwa tiupan seruling itu bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro menghempos
tenaga dalam. Mengatur jalan nafas dan darahnya! Tapi kasip! Suara seruling semakin
kencang. Melengking dan menusuk-nusuk gendang-gendang telinga! Wiro kerahkan lagi
tenaga dalamnya. Mulutnya komat-kamit, kedua tangannuya menghantam ke arah Sinto
Gendeng, tapi sang guru kini tidak di tempat, melainkan berlari-lari sebat mengelilingi
pemuda itu. Wiro membentak, tapi suaranya tidak keluar. Dari melompat tapi tubuhnya
terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan dalamnya punah oleh tiupan seruling!
Pinggangnya tertekuk kemuka. Mendadak samar-samar ingatan jernih melintas di
otaknya. Cepat-cepat pemuda ini mentutup indera pendengarannya. Sukar sekali mula-
mula,
karena saat itu kedua liang telinganya sudah mengeluarkan darah!
Tapi dengan kerahkan segala sisa tenaga yang ada pemuda ini sanggup juga menutup
pendengarannya. Begitu suara seruling lenyap dari telinganya maka perlahan-lahan tenaga
luar dan dalamnya yang tadi punah kini datang kembali. Tapi rasa yang menusuk-nusuk
pembuluh-pembuluh darahnya masih belum lenyap. Karenanya, diaturnya jalan nafas dan
darahnya. Pengaruh tiupan seruling sakti itu berhasil dilawannya sedikit demi sedikit.
Dan
ketika dirasakannya sudah punya kekuatan untuk balas menyerang pemuda ini pura-pura
jatuhkan diri ke tanah, pura-pura pingsan. Namun begitu tangan kanannya menyentuh
tanah,
segera diraupnya pasir tanah itu dan dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng!
Ratusan pasir yang sudah diisi dengan aji ”angin puyuh” itu menderu ke arah mulut
naga-nagaan dan lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir lagi menyerang ke muka
Sinto
Gendeng. Perempuan tua renta itu melepaskan mulutnya dari mulut kepala naga dan
cepat-
cepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang menghambur menyerangnya rontok
kembali
ke tanah!
Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak saktinya ke balik
pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu berakhir sudah.
Wiro berdiri tersengal-sengal bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan
memperhatikan gerak-gerik gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng mengatakan hanya
akan menyerangnya sebanyak tiga jurus, tapi bukan mustahil nenek-nenek itu akan
menyerangnya kembali!
Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma memandang saja
kepadnya. Wiro garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun lamanya dia
menuntut ilmu kesaktian dan ilmu silat baru hari ini diketahuinya bahwa Eyang Sinto
Gendeng memiliki sebuah senjata berbentuk kapak yang demikian anehnya, tapi juga
demikian hebatnya! Selama sekian tahun baru hari itu pula gurunya menggempur dia
dengan
serangan-serangan yang benar-benar mematikan.
Serangan-serangan yang dilancarkan
tidak
dengan tertawa-tawa sebagaimana biasanya! Dihubungkannya pula dengan nyanyian yang
dibawakan gurunya tadi! Benar-benar banyak keanehan yang dilihat Wiro Saksana hari ini.
Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek sakti itu berkelebat. Wiro segera siapkan diri.
Terdengar suara tertawa yang meringkik-ringkik macam kuda.
”Gila betul!” maki Wiro. Dia cepat-cepat lompat ke samping karena Eyang Sinto
Gendeng berkelebat ke arahnya!
Bersambung...