Sebelumnya...
Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya
melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk
sebelumnya.
”Bagus Wiro.... bagus sekali,” katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah
timur.
”Sekian lama kau kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak
mengecewakan....!” Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan sehabis tertawa tadi
maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi
tergetar.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu
klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali.
”Dadamu sesak Eyang? Aku bisa tolong urut....”
”Diam!” bentak Sinto Gendeng.
Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
”Aku mau bicara sama kau!” kata Sinto Gendeng pula.
”Bicara apa Eyang....?” Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh karena dilihatnya
gurunya juga bicara sungguh-sungguh.
”Berapa lama kau tinggal di sini bersamaku, Wiro?!”
”Murid tidak ingat....”
”Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis baca dan berhitung sama kau?!”
”Mungkin sepuluh tahun, Eyang....”
”Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!”
Wiro tertawa, ”Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang,” katanya pula.
”Kuharap hari ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!” bentak Sinto Gendeng
dan matanya masih terus menatap ke timur.
”Kau lihat matahari itu?”
”Lihat Eyang....” jawab Wiro seraya memandang ke timur.
”Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh
belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih seperti dulu juga. Cuma yang
tua tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!”
Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya
gurunya bicara seperti itu sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali suara sang nenek. ”Tujuhbelas tahun. Sekian lama kau
tinggal bersamaku. Belajar tulis baca, belajar ilmu silat, belajar segala kesaktian. Tapi kau
jangan lupa! Kudu inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan sama kau
semuanya adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada artinya
jika
dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?”
”Ya, Eyang....”
”Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti
mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang musti
kau
lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali
bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk menolong
sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat balasan sendiri di
kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kau saja yang sakti di dunia ini. Kau musti
sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?”
”Sadar, Eyang....”
”Ingat?”
”Ingat,Eyang....”
”Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak mau
kalau kau cuma sekedar mengingat saja karena setiap ada ingat musti ada lupa. Dan
manusia
manapun selagi bernama manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu. Lupa
dan
kelupaan. Yang penting ialah kau musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam hatimu,
ke
dalam sanubarimu, ke dalam aliran kau punya darah, ke dalam detakan jantung, ke dalam
hembusan nafas! Sesuatu itu, jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon
jadinya,
tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi karena dari hari ke hari akar
yang
membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!”
Kesunyian menyeling beberapa lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Sinto Gendeng kembali.
”Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Wiro!”
”Eyang....,” terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada
disangkanya itu.
”Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada
waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku
memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau
yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku....”
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang
dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya.
Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa
perjanjian.... tujuh belas tahun saat pembalasan....
Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di
hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara.
”Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian
yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya....”
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya.
”Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan?
Tapi merupakan pasangan?!”
”Betul Eyang....”
”Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air.... ada
panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada
lurus
ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek!
Semuanya
selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas
semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan
kau,
Wiro....?”
”Tidak tahu Eyang....”
”Bogrol!”
”Aku tahu Eyang....”
”Siapa?”
”Ibu sama bapakku.”
”Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?”
”Nenek sama kakek....”
”Yang menciptakan nenek sama kakek....?”
”Nenek dari nenek dan kakek dari kakek....”
”Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?”
”Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek....”
”Geblek!” bentak Sinto Gendeng. ”Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia!
Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kau
dilahirkan sama nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua apa saja
di
dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun juga
diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki juga Dia
ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang susah
juga
bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia
miskin.
Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau punya mata?”
”Dua, Eyang.”
”Hidung?”
”Satu Eyang.”
”Lobang hidung?”
”Dua Eyang....”
”Mulut?”
”Satu....”
”Bibir?”
”Dua Eyang.”
”Kepala?”
”Satu....”
”Tangan?”
”Dua....”
”Kaki....?”
”Juga dua Eyang....”
”Kau punya biji kemaluan....?”
”Dua Eyang,” dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
”Kau punya batang kemaluan?”
”Satu Eyang....” Wiro geli lagi dan memaki lagi.
”Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya
seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan
satu
itu selalu ada melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang
Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan
adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam diri manusia! Manusia
pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya miskin, lapar kenyang, hidup
mati,
dan manusia juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah....”
”Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya
sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang sempurna
dalam dirinya....”
”Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah,
bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kau bahwa
dalam diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang ngerti,
goblok?!”
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
”Sekarang berdirilah kau!,” perintah Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian
hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini
mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi
hingga
kedua matanya berair.
Bersambung...