Sebelumnya...
“Kenapa kau terkejut....?” tanya Eyang Sinto Gendeng. “Kau takut?!”
“Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!” tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak ke
belakang. ”Pejamkan matamu, Wiro!” perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
”Tapi.... Eyang mau bikin apa?!”
”Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! pejamkan
matamu!”
Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu
dipejamkannya tidak rapat betul.
”Biar rapat!” hardik Sinto Gendeng.
Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat.
“Buka bajumu!”
Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
“Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!”,
perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu.
Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah
satu jarinya kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala
kapak
yang terbuat dari besi putih itu.
”Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan
bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!”
”Eyang....”
”Diam! Gila betul!,” bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naga-
nagaan di hulu kapak melesat dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum putih.
Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana.
Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu
menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat rahasia
dekat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di
telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena tancapan
jarum
yang 36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum
putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan
ketika
Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir deretan angka-angka 212
berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak
tangannya.
Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga
agak samar-samar kelihatannya.
”Berdiri Wiro!” perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh gurunya.
Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, lalu roboh dan.... tak
ingat apa-apa lagi.
“Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?”
Wiro mengangguk.
“Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat
Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama
manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti
segala
perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?”
“Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng dari
sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!”
Eyang Sinto Gendeng tertawa mengikik.
“Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212” kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek-
nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya.
Wiro merasa mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya.
”Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau
bicarakan sama kau,” kata Sinto Gendeng pula.
Wiro berdiri.
Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya benda-
benda itu. ”Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya
kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada
di
tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah....”
Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak
disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia
terdiam
mematung seketika.
”Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk
kau!”
Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh
tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro. Dan
disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia merasa tingkat
tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang paling
sempurna!
”Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!”
Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada
angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
”Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh
kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat atau
dalam
keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi
masih
ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di bawah mata kapak itu
maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut naga-nagaan.... Untuk membuat
angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku telah pergunakan jarum-jarum semacam
itu
tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga
tubuhmu
akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun
yang
tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa mematikan
lawan!”
Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
”Terima kasih Eyang.... terima kasih,” kata pemuda itu.
Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya
yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Kemudian
mulailah dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar....
Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
”Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?”
Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu
sedih serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar tanda dia tak
dapat
menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
”Aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di Gunung
Gede ini bersamaku....”
”Mengapa demikian, Eyang....?” Wiro garuk-garuk kepalanya.
”Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya
bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis
kehidupanmu
sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah....”
Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian diteruskannya, ”Sebelum kau meninggalkan
puncak Gunung Gede ini ada satu tugas yang musti kau lakukan....”
”Tugas apakah itu, Eyang?” tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya
yang berambut gondrong itu.
”Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam aku telah
mengambil seorang murid bernama Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur dua tahun.
Dari umur dua tahun itulah aku mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan kesaktian.
Tapi kemudian aku ketahui bahwa aku telah ketelanjuran mengambil itu manusia menjadi
muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai nasihat tapi dasar Suranyali
bukan manusia baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang kuberikan padanya
dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia membuat keonaran dimana-mana! Menjadi
kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik perempuan-perempuan cantik dan
merusak
kehormatannya! Menurutku kini umurnya sudah hampir setengah abad, sudah dekat ke
liang
kubur! Tapi ini sama sekali tidak memberikan keinsyafan pada dirinya. Kejahatannya akhir-
akhir ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini dia tengah menyusun
rencana
busuk terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu kau harus
lekas-lekas dapat mencari itu manusia laknat dan perintahkan kepadanya untuk datang ke
sini
menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama
malang melintang di dunia sana! Dan perlu kau ketahui, Suranyali kini telah memakai
nama
baru yakni Mahesa Birawa!”
Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17
tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk
menjalankan
tugas dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah pemuda itu:
”Tugas Eyang akan aku laksanakan. Cuma bagaimana jika itu manusia Mahesa
Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk datang ke sini....?”
”Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!”
Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah
ketinggian ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu? Sanggupkah dia menghadapi manusia
yang sesungguhnya adalah kakak seperguruannya sendiri?!
”Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro,” kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini
mengejutkan Wiro Saksana. ”Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia telah berguru
pula
pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah takut! Kau memiliki kapak Naga
Geni
212. Dan kau berada dalam kebenaran pula! Sesungguhnya kau punya hak untuk
membunuh
itu manusia, Wiro. Pertama karena tugas yang aku pikulkan dibatok kepalamu! Kedua
karena
Suranyali atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!”
Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam
membesi! Sejak kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia
mengetahui
apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat itu dadanya serasa mau
pecah
oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
”Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya.
Sesudah itu bunuh diri sesudah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui ajal
dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya. Kebetulan
sekali aku lewat disitu....”
Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. ”Terima kasih Eyang.... kalau Eyang tidak
ada....”
”Berdiri!” bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak suka
dilututi seperti itu. ”Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti Allah!” katanya. ”Ayo
berdiri!”
Wiro berdiri kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun
yang lalu sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam nyanyian
gurunya
tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk.
Dikuatkannya
dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya!
”Eyang....,” desis Wiro Saksana, ”Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu,
mengapa Eyang tidak langsung turun tangan....?”
Sinto Gendeng tertawa rawan.
”Semustinya.... semustinya memang aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika
kutahu bahwa Ranaweleng – bapakmu – mempunyai seorang orok maka aku mempunyai
pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jika
sudah
besar dia lebih mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa
Birawa. Kalau tidak percuma saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini
tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap kejahatan
ada
pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh
orang
tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kau lupakan!”
”Menurut Eyang, apakah manusia keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama
anak-anak buahnya....?”
”Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah
bahwa manusia itu hendak membuat Pajajran banjir darah. Karenanya, seret dia ke sini
sebelum hal itu terjadi. Dan kalau dia tidak mau, pateni saja!!” (pateni=bunuh).
Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alam pikiran
masing-masing.
”Kau akan segera berangkat, Wiro?”
Pemuda itu tak segera menjawab. Kemudian dia mengangguk perlahan.
”Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai saat kau turun gunung ini, pakailah nama WIRO
SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG.” Dan habis
berkata demikian si nenek tua ini tertawa mengikik lama dan panjang. Namun tertawa itu
hanyalah untuk menyembunyikan hati yang rawan, sedih itu untuk membendung air mata
yang hendak tumpah keluar!
”Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Wiro.
Sang guru hentikan tertawanya. ”Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau,
selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro Sableng....!”
Bersambung...