Sebelumnya...
Kedai nasi itu cukup besar. Tapi saat itu pengunjungnya cuma beberapa orang. Wiro
Sableng meneguk air liurnya. Dia tak punya banyak uang tapi perutnya perih dan lapar,
tenggorokannya kering dahaga. Akhirnya dia masuk juga ke dalam kedai itu. Wiro duduk di
satu sudut. Kursi-kursi dan meja lengket oleh debu. Tapi pemuda rambut gondrong ini
terus
saja duduk seenaknya tanpa mengacuhkan debu itu.
Seorang laki-laki tua ubanan datang mendekatinya. Dia adalah pemilik kedai.
”Makan nak....?” tegurnya.
Wiro mengangguk. ”Tapi jangan mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!” kata
Wiro Sableng terus terang.
Pemilik warung itu kerutkan kening. Selama dia membuka kedai di Jatiwalu itu baru
hari ini ada seorang tamu yang datang di kedainya dan berkata seperti itu. Matanya
meneliti
Wiro Sableng dari rambutnya yang gondrong sampai ke kakinya yang berdebu.
”Kau tentu seorang pendatang....”, katanya.
”Betul,” Wiro menggaruk-garuk rambutnya. ”Tolong lekas nasinya, pak, perutku
sudah lapar betul....!”
Orang kedai itu segera mengambilkan sepiring nasi dan segelas air lalu diletakkannya
di atas meja di hadapan Wiro. Titik air liur pemuda ini. Selama tujuh belas tahun di puncak
Gunung Gede dia hanya kenal nasi merah dan sayur. Kini menghadapi nasi putih dan ikan
serta gulai yang lezat maka lahaplah makan Wiro. Keringat memercik di kulit mukanya.
Kemudian diteguknya air. Pada saat dia mengusapi perutnya yang buncit keras itu maka
masuklah empat orang laki-laki. Semuanya berpakaian serba hitam, memakai golok di
pinggang. Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap dipandang. Mereka masuk dan
duduk dengan seenaknya. Keempatnya memelihara berewok.
Pemilik kedai melihat kehadiran keempat orang ini dengan cepat datang melayani.
Agaknya keempat manusia ini pastilah orang-orang penting juga. Tak lama kemudian
maka
dihidangkanlah makanan yang lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan dalam
sebuah bumbung bambu berikut empat buah gelas yang juga dari bambu.
Keempat orang itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut mereka
terdengar sampai ke tempat Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja pemuda ini tak mau
ambil
peduli. Meski mereka menyiplak sampai sekeras geledek pun dia tak akan ambil pusing!
Wiro Sableng melambaikan tangan memanggil pemilik kedai.
”Berapa aku musti bayar?” tanya Wiro.
Orang kedai itu menyebutkan jumlah uang yang musti dibayar Wiro.
”Waduh... mahal sekali!” keluh Wiro. ”Tadi aku sudah bilang jangan mahal-mahal...”
”Itu juga sudah sangat murah, Nak,” kata orang kedai.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. ”Habis uangku buat bayar makanan itu.”
Dikeluarkannya uangnya dan diberikannya pada orang di kedai.
Pada saat itu pula terdengar gelak tawa keempat orang yang duduk di meja seberang
sana. Salah seorang dari mereka, yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak
berkata,
”Kalau tidak gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!”
Yang seorang lagi menyambungi, ”Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya cari
saja makanan di tong sampah!”
Keempat orang itu tertawa gelak-gelak.
Wiro memandang kepada mereka. Diejek demikian rupa pemuda ini tenang-tenang
saja malahan sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala.
Laki-laki yang berkumis panjang menjulai ke bawah bertanya, ”Kau mau uang buat
beli makanan?”
”Mau saja kalau diberi,” jawab Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya.
”Merangkaklah dihadapanku, menyalak tiga kali dan tuanmu ini pasti akan kasih uang
kepadamu”
Atap kedai itu seperti mau runtuh oleh suara tertawa keempat orang itu.
Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang ambon yang
berjejer digantung di atas meja tempat meletakkan ikan dan gulai maka tertawalah
pemuda
itu. Mula-mula perlahan tapi makin lama makin keras dan dia melangkah mendekati
deretan
pisang itu. Dikeluarkannya sisa seluruh uangnya yang masih ada yang tak seberapa tapi
cukup
untuk membeli sesisir pisang.
”Aku beli pisangmu, pak,” kata Wiro.
Diturunkannya sesisir sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah
pisang. Dia melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya masih terdengar suara
gelak
tawa keempat orang tadi.
Tiba-tiba hampir tak kelihatan saking cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali Wiro
Sableng gerakkan tangan kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat bahunya.
Di belakangnya suara tertawa keempat orang tadi mendadak sontak berhenti, berganti
dengan suara-suara tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke dalam mulut empat
manusia berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk tertawa, bernafaspun mereka sudah
megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil senyum-senyum melangkah terus
sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang dan mulai memakannya.
Dia melangkah terus dan acuh tak acuh ketika beberapa saat kemudian didengarnya
derap kaki empat orang dalam kedai tadi mengejarnya.
”Bikin mampus saja sama kawan-kawan!” teriak salah seorang pengejar.
”Berani kurang ajar sama kita orang! Cincang sampai lumat!,” kata yang berbadan
paling tinggi.
Wiro Sableng terus juga melangkah enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya
dilambaikannya ke belakang untuk melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya.
Namun
lambaian tangan itu bukan lambaian tangan biasa yang hanya sekedar melemparkan kulit
pisang belaka! Dari tangan kanan pemuda itu membadai angin dahsyat laksana tembok
baja
yang membendung lari keempat orang pengejar itu! Betapapun mereka mempercepat lari
mereka namun tetap saja mereka tak sanggup mengejar Wiro Sableng padahal
kelihatannya
pemuda itu hanya tinggal sepejangkauan tangan lagi!
Keempat orang itu berteriak-teriak, memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan
tangan ke muka karena merasa hampir-hampir dapat menagkap punggung baju Wiro
Sableng!
Namun gerakan-gerakan mereka itu tak ubahnya seperti empat ekor monyet yang menjadi
gila
mencak-mencak kian kemari! Dan orang yang dikejar terus juga berjalan ongkang-
ongkang
bahkan sambil makan pisang ambon!
Mengapa sampai terjadi hal yang demikian, lain tidak karena Wiro Sableng telah
mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang bernama: dinding angin berhembus tindih
menindih!
”Gila betul!” teriak laki-laki tinggi jangkung yang lari paling depan. Namanya Bergola
Wungu. Dialah yang menjadi pemimpin dari tiga orang lainnya dan dialah yang memiliki
ilmu paling tinggi!
Dengan sangat geram, sambil lari dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan
dilemparkannya ke arah punggung Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat kembali,
berbalik menyerang Bergola Wungu! Kalau saja dia tidak cepat-cepat buang diri ke
samping
pastilah lehernya akan dimakan ujung pisau!
Akhirnya dengan keluarkan keringat dingin, Bergola Wungu dan anak-anak buahnya
hentikan pengejaran. Baru hari ini Bergola Wungu serta anak-anak buahnya menghadapi
kejadian seperti itu. Kejadian yang mendekam hati tapi juga aneh tak bisa mereka
mengerti.
Sebagai pemimpin dari tiga orang itu, sebagai orang yang paling tinggi ilmu silat dan
kesaktiannya sudah barang tentu Bergola Wungu malunya bukan main! Untuk mencuci
mukanya dia berkata menggerendeng:
”Kalau bangsat itu bukannya manusia siluman pastilah dia iblis bermuka manusia!”
Bersambung...