AD
Sebelumnya...
Siapakah keempat manusia berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara
berewok itu? Mereka menamakan diri dengan Bergola
Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak lain adalah komplotan rampok yang malang
melintang sepanjang sungai Cimandilu yang terkenal keganasannya di daerah sekitar situ.
Dulunya, Bergola Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan
Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung Jatiwalu.
Sesudah ayahnya dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan
tiga orang anak buahnya semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu
yang
saat itu berumur dua puluh enam tahun meninggalkan kampung kelahirannya dengan satu
tekat yaitu mencari guru silat yang dapat mengajarkan ilmu dan kesaktian kepadanya.
Dia
berhasil menemukan seorang guru dan kemudiannya berhasil pula mendapat tiga orang
anak
buah, maka malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu, menjadi
kepala perampok yang ditakuti.
Dan ketika dirasakannya saat untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama
ketiga orang anak buahnya berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu sampai di
Jatiwalu, Kalingundil dan anak-anak buahnya tak ada di sana, pergi keluar kampung dan
tak
satu orangpun yang tahu. Rumahnya kosong dan sepi. Bergola Wungu memutuskan untuk
menunggu sampai musuh besarnya itu kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil masih juga
belum muncul.
Mereka duduk di dalam kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun
yang bisa bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya sampai habis.
”Kurasa manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundil….”, kata Ketut
Ireng, laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu.
Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu
benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan
menemui
kegagalan. Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi Kalingundil
sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini adalah waktu yang cukup lama
untuk
menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil seperti kenyataan
tadi,
ini adalah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali!
”Tidak mungkin….,” desis Bergola Wungu. ”Tak mungkin manusia tadi adalah anak
buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa dia benar-benar manusia! Dan aku ingat
bahwa Kalingundil cuma punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang
mereka
semua!”
”Tapi bukan mustahil selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah,”
menyela laki-laki yang bernama Seta Inging.
”Aku tetap tidak mau percaya….!”, kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya
pada pemilik kedai. ”Sini!”, bentaknya.
Orang tua pemilik kedai datang dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk.
”Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?”
”Cuma tiga, Den. Cuma tiga….”
”Masih yang dulu-dulu juga….?”
Orang tua itu mengangguk.
”Dan tak satu manusiapun disini yang tahu kemana mereka pergi?!”
”Tidak satupun, Den….”
AD
”Selain mereka berempat, siapa lagi yang diam di rumah besar itu….?”
”Tidak ada, Den….”
”Dulu kudengar dia punya bini….”
”Sudah meninggal, Den….”
”Juga seorang anak perempuan…. Apa juga sudah meninggal?!”
”Tidak.”
”Kalau begitu dimana perempuan itu sekarang?”
”Bapak tidak tahu, Den….”
”Dusta!”
”Sungguh tidak tahu, Den….”
”Bakar saja kedai ini!”, ancam Ketut Ireng.
Dan orang tua itupun berlutut minta dikasihani. ”Jangan den…. sungguh bapak tidak
tahu. Jangan dibakar kedai ini den…. Kasihani bapak…. Tapi mungkin dia ikut bersama
Kalingundil. Mungkin juga…. Mungkin juga menginap di tempat bibinya….”
”Dimana tempat bibinya?”
”Tidak tahu, Den….”
”Tidak tahu melulu!”, bentak Bergola Wungu.
”Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh Kalingundil,
yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih saja
melindungi manusia-manusia keparat itu!”
”Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den.
Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan...........”
”Kalian bukan lemah tapi bodoh dan pengecut!” bentak Ketut Ireng. Lalu
sambungnya, ”jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui Kalingundil
dan cecunguk-cecunguknya itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung ini….!”
”Oh jangan, Den…. Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa
kampung ini dulunya adalah kampung raden juga….”
”Dulu!” kata Bergola Wungu, ”tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku
ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam diri,
tak
ambil perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku ditebas
lehernya! Patutkah kuakui ini sebagai kampungku? Persetan sama kampung keparat ini!”
Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke meja. Papan meja pecah, gelas
bambu mental terbelah dua!
”Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya.
Kalingundil dan anak buahnya berilmu tinggi….”
”Diam!”, bentak Bergola Wungu.
Orang tua pemilik kedai itu diam membungkam.
Ketut Ireng ambil bagian kini, ”Kau tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang tadi
makan di sini?!”
”Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu.......”
”Sudah pergi sana!” bentak Bergola Wungu.
Orang tua itu berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga
anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa yang
telah
mereka makan dan mereka minum!
Bersambung...
AD