Sebelumnya...
Dia masih juga mencabuti rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia sama
sekali tak mengacuhkan derap kaki kuda yang menggeru di belakangnya karena
menyangka
bahwa itu adalah kuda-kuda yang biasa lalu lalang di tempat tersebut. Tapi tangannya
yang
halus itu berhenti mencabuti rerumputan ketika di belakangnya terdengar suara tertawa
seseorang.
”Ha…. ha…. inikah manusia yang menjadi anak tunggal keparat Kalingundil?!”
Gadis enam belas tahun yang berlutut di muka makam itu putar kepala. Empat orang
penunggang kuda dilihatnya berjejer di belakangnya. Penunggang kuda yang paling
depanlah
yang tadi tertawa dan buka suara. Tubuhnya jangkung, berewoknya lebih lebat dari
berewok
tiga manusia lainnya, tampangnyapun lebih angker.
”He…. he…. cantik juga parasnya huh?!”, kata laki-laki ini yang tak lain dari Bergola
Wungu adanya.
”Tapi sayang, kepalanya musti kita pisahkan dari badannya. Bukankah demikian,
Bergola Wungu?!”
”Betul, tapi tak perlu cepat-cepat. Agaknya dia bisa memuaskan seleraku dan kalian
semua!”
Keempat orang itu tertawa bekakakan.
”Kunyuk-kunyuk hitam berewok! Kalian siapa?!”, bentak gadis berbaju biru. Dengan
enteng dia berdiri. Tangan kanan memegang hulu pedang yang tersisip di pinggang.
”Eh, galak juga betina ini!”, kata Ketut Ireng.
”Tapi kalau kau mau kenal kami, aku tak keberatan untuk memperkenalkan diri.
Namaku Ketut Ireng…. Ini Bergola Wungu. Yang ini, yang gemuk pendek Seta Inging dan
ini yang matanya jereng Pitala Kuning. Nah... nah... sekarang kau tak keberatan kasih
tahu
namamu….?” Keempat orang itu tertawa lagi.
”Manusia edan! Berlalulah dari hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan
pedangku!”
”Ah, besar mulutnya sama saja sama bapaknya!”, kata Bergola Wungu sambil usap-
usap berewoknya. ”Ketahuilah kami datang untuk mengirim bapakmu ke liang kubur.
Itupun
kalau ada liang kubur yang masih mau menerimanya!”
”Mulutmu terlalu besar monyet berewok!”, hardik gadis itu. ”Aku mau lihat apakah
juga cukup besar untuk menerima ujung pedangku ini?!”
Diiringi dengan pekik yang membising maka berkiblatlah sebatang pedang ke arah
kepala Bergola Wungu! Kejut keempat orang itu, terutama Bergola Wungu sendiri tidak
terkirakan. Kalau tidak cepat dia buang diri dari punggung kuda pastilah kepalanya akan
terbelah dua.
Tapi selagi tubuhnya melayang di udara, maka saat itu pula pedang di tangan si gadis
sekali lagi membabat sebat. Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke
samping
kiri. Pedang si gadis yang seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui
sasarannya di leher kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat sebelum
meregang nyawa. Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus. Kuda-kuda yang
lainnya
latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan darah. Untung saja tiga
penunggangnya
sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak pastilah mereka akan dilempar mental! Tiga
ekor
kuda itu seperti gila kemudian lari menghambur menerjangi batu-batu nisan pekuburan!
”Iblis betina!”, kertak Bergola Wungu. ”Meski kau punya tampang cantik dan tubuh
mulus, apa kau sangka aku ragu-ragu untuk menebas kau punya batang leher?!”
”Jangan jual bacot kunyuk berewok! Lihat pedang!” pedang di tangan si gadis itu
berkelebat lagi lebih cepat dan sebat.
”Sreet!” Bergola Wungu cabut golok panjangnya.
Dan….
”Trang!”
Dua senjata beradu keras di udara memercikkan bunga api yang menyilaukan mata.
Tangan Bergola Wungu tergetar kesemutan sedang si gadis baju biru terpental beberapa
langkah ke belakang. Pedang di tangannya hampir saja terlepas!
Meski tahu kalau tenaga dalam dan ilmu silat manusia berewok itu lebih tinggi dari
padanya, namun gadis yang keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan lengkingan dahsyat
yang keluar dari tenggorokannya maka berubahlah tubuhnya menjadi bayang-bayang.
Sinar
pedang menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu!
Tapi Bergola Wungu bukan manusia hijau dalam dunia persilatan. Bukan anak
kemarin. Percuma dia malang melintang belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat
Berewok dari Goa Sanggreng. Sekali dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun lenyap dari
pemandangan.
”Breet.... breet.... breet.... breet....!!!”
Gadis baju biru terpekik dan keluar dari kalangan pertempuran. Mukanya merah gelap
ketika menyadari bagaimana ujung golok Bergola Wungu telah membuat lebih dari sepuluh
robekan pada pakaiannya sehingga gadis itu kini hampir berada dalam keadaan setengah
telanjang!
”Manusia binatang!” rutuk gadis baju biru. ”Hari ini aku mengadu nyawa
terhadapmu!” Dengan segala kekalapan dia menyerbu ke muka. Pedangnya menderu
laksana
topan. Bergola Wungu berkelit ke samping. Pedang si gadis hantam batu nisan sehingga
terkutung dua! Dia kembali membabat ke arah pinggang. Tapi pada saat itu lengan kiri
Bergola Wungu telah menghantam pergelangan tangan kanannya, membuat pedangnya
terlepas dan mental jauh.
”Ha.... ha.... hari ini tamatlah riwayatmu sebagai anak Kalingundil!”
Golok panjang di tangan Bergola Wungu kembali mebabat kian kemari. Kembali
terdengar suara: breet.... breet.... breet....! Dan kini celana biru si gadis yang menjadi
sasaran
ujung golok.
Dalam waktu setengah jurus saja boleh dikatakan gadis itu sudah hampir
telanjang. Pakaiannya yang robek-robek besar tiada sanggup menutupi keputihan buah
dada,
perut, punggung serta pahanya!
Dengan andalkan kecepatan gerak bahkan dengan gulingkan diri di tanah anak
perempuan Kalingundil ini berusaha untuk selamatkan diri. Namun ujung golok Bergola
Wungu benar-benar telah mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin baginya
untuk
lari, tak mungkin baginya untuk selamatkan nyawa!
”Sreet….!”
Ujung rambut gadis itu terbabat putus.
”Sreet….!”
Tali celana biru si gadis terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari pinggangnya
dan auratnya benar-benar tiada tertutup kini!
”Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!” teriak gadis itu.
Bergola Wungu tertawa mengakak.
”Bunuh soal mudah!”, katanya sambil tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis itu.
”tapi apa kau tahu bahwa dulu sebelum membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu
memperkosanya?! Ha…. ha…. Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!”
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa si gadis sorongkan batang lehernya ke
muka. Tapi gerakan Bergola Wungu lebih cepat lagi. Ujung golok digesernya ke samping.
Begitu si gadis terdorong ke muka maka tangan kirinya dengan sigap menyambar rambutsi
gadis. Gadis yang hampir tak berdaya itu masih berusaha menendangkan kakinya ke
muka.
Serangan yang tak berarti itu tidak mengenai sasarannya. Bergola Wungu melemparkan
gadis
itu ke tanah kemudian menyergapnya dengan ganas. Keduanya bergulung-gulung. Yang
satu
berusaha untuk mempertahankan kehormatannya, yang satu sengaja untuk
menghancurkan
kehormatan itu!
”Kawan-kawan!”, teriak Bergola Wungu. ”Jangan diam saja! Gadis ini adalah bagian
kita semua! Ayo tunggu apa lagi?!”
Serentak dengan itu tiga orang anak buah Bergola Wungu segera menyerbu pula.
Seorang gadis, empat laki-laki bergulung-gulung di tanah pekuburan! Menjerit, berteriak,
menendang dan menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah sinting kemasukan setan-
setan
kuburan!
Bersambung...