Sebelumnya...
Pembalasan dendam kesumat memang dahsyat.
Apalagi kini disertai dengan dorongan nafsu hewan yang meluap-luap. Keadaan
Nilamsuri benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang
tangan
manusia menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam tua.
”Ha….ha...ha! Tulang belulang kau punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan hukum
karma ini!” kata Bergola Wungu.
Nilamsuri hantamkan lututnya ke perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu hendak
mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali itu tiada
terasa
oleh manusia berewok itu!
”Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!”, teriak Nilamsuri.
”Kehormatanmu dulu, baru nyawamu!.” Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh
tiga anak buahnya yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu, Bergola
Wungu mulai melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan Nilamsuri untuk bisa
selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu bayangan
putih berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan tahu-
tahu
keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana patung batu!
Nilamsuri yang hanya merasakan sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan
pada tubuhnya berhenti dengan mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca
itu.
Terkejut sekali dan hampir tak percaya dia melihat bagaimana keempat manusia berewok
itu
masih berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh mereka
tegang
kaku!
Gadis ini bangkit dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat manusia
itu? Dia ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada manusia yang telah menolongnya?
Manusia yang mempunyai kesaktian luar biasa? Diperhatikannya keempat laki-laki itu.
Ternyata mereka tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau mungkin
keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan?!
Peristiwa yang sangat aneh itu membuat Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya sendiri
saat itu. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang
tergeletak di atas batu nisan sebuah kuburan. Benda ini adalah sehelai baju dan celana
putih.
Dan memandang pakaian itu sekaligus mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya.
Tanpa
perduli lagi siapa pemilik pakaian itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana pakaian itu bisa
berada di atas kuburan tersebut si gadis langsung saja melompat, menyambar pakaian itu
dan
lari ke balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski agak
kebesaran sedikit, tapi pakaian itu memberi banyak pertolongan bagi Nilamsuri dan si
gadis
merasa sangat bersyukur.
Dia keluar dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat
manusia yang masih berjongkok kaku di seberang sana maka meluaplah amarahnya.
Mendidih darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang
berkiblat
sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
”Tring!”
Sebutir kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang
hendak merenggut nyawa keempat manusia berewok itu. Dan benturan batu kerikil ini
membuat pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat satu
jengkal
di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu!
Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu dia
membentak dan memandang berkeliling. ”Manusia atau setan yang jadi biang kerok jangan
sembunyi! Unjukkan diri!”
Tak ada yang menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di dekat pohon kamboja
kelihatan bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak
belukar
itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada siapapun
kelihatan di belakang sana.
Dengan gemas Nilamsuri balikkan tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah
empat kepala manusia di hadapannya. Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur senjata
itu!
”Kurang ajar betul!”, maki Nilamsuri. ”Jika berani cari urusan, berani unjukkan diri!!”
Terdengar suara tawa bergelak.
Suara tertawa itu datangnya dari balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan. Untuk
kedua kalinya Nilamsuri lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda pohon-
pohon
bambu. Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang
sedang
daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini juga tidak kelihatan seorang
manusia
pun dibalik pohon-pohon bambu itu!
Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi suara tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, ”Hanya
manusia pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!”
Nilamsuri memandang ke atas pohon kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh
kelihatan lenyap berkelebat ke utara laksana gaib!
Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih lama gadis ini hentakkan kedua
kaki dan segera mengejar ke jurusan utara!
Sampai beberapa ratus tombak jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum berhasil
mengejar orang tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan jejak
kakinya sama sekali tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan pengejarannya di
tepi
sebuah lembah.
Di samping rasa geram hatinya juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah manusia itu
tadi dan kemanakah lenyapnya? Apakah manusia itu yang telah menolongnya dari
perbuatan
terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya? Sekiranya betul mengapa lantas
kemudiannya orang itu menghalangi ketika dia hendak menebas batang leher keempat
manusia berewok itu?
Nilamsuri memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian.
Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini
ditemuinya
di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan untuk dipakainya
oleh
manusia aneh yang melarikan diri itu?
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta
tertahan ketika di belakangnya dari balik sebatang pohon waru terdengar suara orang
berkata.
”Hendak kembali membuat kepengecutan? Membunuh musuh yang tak berdaya?
Percuma tahu ilmu silat tapi tidak tahu tata peradatan silat!”
Bukan main geramnya Nilamsuri mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah pohon
waru. Tapi lebih cepat lagi gerakannya itu orang yang tadi berkata telah berkelebat laksana
bayang-bayang dan lari ke dalam lembah.
”Manusia atau setan! Jangan lari!” teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia mengejar ke
dalam lembah. Tapi seperti tadi, begitu dia sampai di dasar lembah maka orang yang
dikejarnya lenyap lagi! Dengan hati penasaran gadis ini loncat ke atas sebatang pohon
tinggi
dan dari sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya orang tadi.
Namun ini juga tidak memberikan hasil.
Nilamsuri turun kembali. Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas
kalau belum berhasil menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak sungai
akhirnya gadis ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di tepi sungai ini.
Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini
datang
dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan air liur. Gadis ini langkahkan
kaki ke hulu sungai.
Belum sampai lima puluh langkah dia berjalan, maka di satu tikungan sungai yang
arus airnya lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk ditengah sungai, di atas sebuah batu
besar
yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk membelakanginya dan
rambutnya
gondrong, berpakain putih-ptuih. Tak tahu Nilamsuri apa yang dibuat orang ini ditengah
sungai ini di atas batu itu. Berat kecurigannya bahwa manusia ini adalah orang yang tadi
dikejarnya. Tapi anehnya santarnya bau benda yang terpanggang itu datang dari arah laki-
laki
di tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati laki-laki itu,
untuk dapat melihat apa yang tengah dilakukannya. Nilamsuri masih belum dapat melihat
paras laki-laki berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri saat itu dapat
disaksikannya bahwa bau harum yang membuat titik seleranya itu disebabkan oleh seekor
ikan besar yang dipanggang oleh laki-laki itu dan kini tengah digerogotinya dengan lahap!
Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti sama sekali
oleh
Nilamsuri ialah bahwa di atas batu itu di mana laki-laki itu duduk atau ditepi sungai sama
sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian untuk membakar ikan yang kini tengah
dimakan
dengan lahap oleh si rambut gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian berserulah dia ke tengah sungai.
”Saudara! Apa kau melihat seseorang lewat sekitar sini?!”
Laki-laki di tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan
lahapnya terus saja dia makan ikan panggang itu.
”Saudara!”, seru Nilamsuri sekali lagi.
Kali ini orang itu palingkan kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak karena tak
menyangka kalau si rambut gondrong ini nyatanya adalah seorang pemuda bertampang
keren!
Meski keren tapi paras itu membayangkan pula paras anak-anak dan lucu!
”Eh…. kau bicara sama aku?” tanya pemuda yang asyik menggerogoti ikan panggang
itu.
”Ya! Aku tanya apa kau lihat seseorang lewat di sini?!” kata Nilamsuri pula.
”Laki-laki atau perempuan?” tanya si rambut gondrong.
”Laki-laki….”
”Orangnya sudah tua apa masih muda….?”
”Kurang jelas. Cuma dia berpakaian putih-putih....”
Si rambut gondrong melemparkan kerangka ikan yang habis dimakannya ke dalam
sungai. Kemudian dipandanginya pakaiannya sendiri. ”Eh, aku juga berpakaian putih-
putih….,” katanya. ”Kalau begitu pastilah aku yang kau cari!”. Pemuda ini garuk rambutnya
dan tertawa.
Sikap dan ucapan pemuda ini agak mengesalkan Nilamsuri. Hatinya bimbang untuk
memastikan bahwa orang yang dikejarnya adalah pemuda itu. Karena tampangnya meski
keren tapi seperti kanak-kanak.
”Eh, kenapa diam?!” tanya pemuda itu. ”Aku tahu…. aku tahu….,” katanya.
”Tahu apa?”
”Aku tahu kau sampai ke sini karena mencium harumnya bau ikan panggangku! Lalu
kau berpura-pura tanya seseorang! Kenapa musti pura-pura dan malu-malu? Kalau doyan
ikan
panggang silahkan datang kemari. Aku masih ada seekor lagi!”
”Saudara! Jangan bicara seenaknya!”
”Seenaknya bagaimana?!”
”Aku betul-betul mencari seseorang! Dan aku tidak butuh sama ikan panggangmu!”
”Oh…. begitu….?”. Pemuda itu manggut-manggut. Lalu katanya, ”Kalau aku tahu
tentang orang yang kau cari itu, kau mau persen aku apa?”
”Apa saja yang kau maui….”, jawab Nilamsuri tanpa pikir panjang karena dia betul-
betul ingin lekas-lekas dapat mengejar orang yang dicarinya tadi.
Si pemuda tertawa mengekeh dan tercekik serta batuk-batuk ketika ikan panggang
yang dimakannya menyekat tenggorokannya.
”Kalau begitu….,” kata pemuda rambut gondrong itu dengan masih tertawa serta
batuk-batuk, ”aku mau dirimu saja saudari.”
”Pemuda ceriwis! Kutampar kau punya mulut baru rasa!”
”Lho…,” pemuda itu melongo macam orang bodoh. ”Kenapa kau jadi marah?!”
tanyanya.
Benar-benar kesal jadinya Nilamsuri. Dikatupkannya mulutnya rapat-rapat menahan
rasa kesal itu.
”Eh, sekarang kau tutup mulut. Lucu! Kau toh belum jawab pertanyaanku, saudari.
Aku minta dirimu. Boleh….?”
Rasa kesal di diri Nilamsuri kini berubah menjadi amarah yang meluap. Parasnya
kelihatan merah. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan pemuda itu, di atas batu
besar.
”Pemuda edan, kau mau mampus?!”
Si gondrong garuk-garuk kepala. “Aku tidak mengerti saudari, aku benar-benar tidak
mengerti. Menapa kau jadi marah-marah begini samaku?!”
”Bicaramu terlalu kurang ajar, tahu?!”
Pemuda itu goleng kepala dan angkat bahu. Lalu tertawa sambil memandangi paras
Nilamsuri. ”Kau tahu saudari…,” katanya, ”kalau kau marah-marah dan membentak
macam
tadi hem…. parasmu tambah cantik!”
”Plak!”
Tamparan tangan kiri Nilamsuri mendarat di pipi si pemuda. Pemuda itu meringis
kesakitan. Penyesalan timbul di hati Nilamsuri melihat bagaimana pipi yang ditamparnya
itu
kelihatan menjadi sangat merah.
“Kau jahat sekali!,” kata si pemuda pula. ”Aku tanya sama kau, kau mau persen aku
apa kalau aku tahu orang yang kau cari itu. Dan kau jawab apa saja mauku! Lantas aku
bilang
mau dirimu! Apa aku salah….?!”
Nilamsuri menggigit bibirnya. Dia tahu ucapan pemuda itu betul. Dia tahu kalau tadi
dia telah ketelepasan bicara.
“Saudara…,” kata Nilamsuri.
Tapi si pemuda memotong. “Sudahlah. Aku tak sudi bicara sama kau. Orang mau
menolong dikasih tamparan. Baru mau menolong. Kalau sudah ditolong aku akan dapat
tendangan!”
Dan Nilamsuri menggigit bibir lagi. Tanpa berkata apa-apa dia melompat ke tepi
sungai kembali.
“Hai saudari! Tunggu dulu!”, seru si pemuda.
Nilamsuri balikkan badan.
”Sebenarnya ada apa kau mencari laki-laki itu?!”
”Itu urusanku sendiri!”, jawab Nilamsuri.
”Laki-laki itu kekasihmu agaknya?”
”Kau mau tamparan sekali lagi?!”
Si pemuda tertawa. ”Dunia serba aneh,” katanya seakan-akan pada diri sendiri.
“Mustinya laki-laki yang cari perempuan. Ini perempuan yang cari laki-laki….!” Dan
digaruknya kepalanya.
Dalam pikiran Nilamsuri terbit prasangka bahwa tentunya pemuda itu seorang yang
berotak miring. Karenanya tanpa ambil perduli lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
”Hai saudari! Kau tidak mau ikan panggang ini?!”
Nilamsuri terus saja menyusuri sungai menuju ke hulu. Dia hampir keluar dari
kelokan sungai ketika didengarnya lagi suara pemuda itu berseru. Jarak antara mereka
saat itu
sudah puluhan tombak. Kalau saja Nilamsuri mau berpikir sejenak dia akan segera tahu
kalau
pemuda itu bukan berteriak biasa tapi dengan menggunakan tenaga dalam. Karena dalam
jarak sejauh itu bagaimanapun kerasnya seseorang berteriak namun apa yang
diucapkannya
tak akan terdengar dengan jelas.
”Saudari! Jangan pergi ke sana! Saudari, kembalilah!”
Nilamsuri melangkah terus.
”Saudari! Hai! Disebelah sana banyak buayanya! Kembalilah!”
Tapi Nilamsuri jalan terus. Si pemuda goleng-goleng kepala lalu turun ke air.
Nyatanya sungai itu dalamnya hanya sebatas lutut. Begitu sampai di seberang si pemuda
cepat
lari menyusul Nilamsuri.
“Saudari kau mau kemana?!”, tanya pemuda itu seraya pegang bahu Nilamsuri.
“Kau jangan kurang ajar, saudara!” bentak Nilamsuri karena marah sekali bahunya
dipegang seenaknya.
“Kau mau kemana?”
“Perduli apa kau?!”
”Jangan kesana saudari. Banyak buaya lagi berjemur….”. dan belum habis pemuda ini
bicara tahu-tahu dua ekor buaya besar menyeruak dari belakang semak belukar di tepi
sungai.
”Aku bilang apa! Celaka….! Saudari larilah!” Pemuda itu melompat ke belakang.
Sementar itu kedua ekor buaya dengan cepat meluncur menyerang Nilamsuri. Gadis itu
cabut
pedangnya. Sekali menebas puntunglah sebagian dari mulut buaya yang hendak
menerkamnya. Binatang ini menggelepar-gelepar di pasir. Buaya kedua mengalami nasib
yang sama. Bau anyirnya darah yang masuk ke dalam air sungai mengundang munculnya
beberapa ekor buaya lagi. Binatang-binatang itu menyelusur ke tepi sungai dan berlomba
menyergap Nilamsuri. Tapi si gadis dengan permainan pedangnya yang mengagumkan
berhasil menewaskan semua buaya itu!
Si pemuda geleng-geleng kepala dan leletkan lidah. ”Hebat! Hebat sekali kau
saudari!”, katanya memuji. ”Kau tentu seorang jago silat! Sejak lama aku ingin belajar
silat!
Bersediakah kau mengambil aku jadi murid?!”
”Jangan ngaco!”, bentak Nilamsuri.
”Aku tidak ngaco. Aku bicara sungguhan….”.
”Buka lagi mulutmu!”, bentak Nilamsuri. Pedangnya masih merah oleh darah buaya-
buaya tadi siap ditetakkannya ke kepala pemuda itu. Tentu saja pemuda ini cepat-cepat
melompat ke samping.
”Saudari, aku betul-betul ingin belajar silat padamu….”
Nilamsuri pencongkan hidung. ”Tidak malu merengek macam anak kecil!”, ejeknya.
Si pemuda agaknya jadi kesal, lalu menyahuti. ”Kau sendiri tidak malu pakai pakaian
laki-laki!”
Memang saat itu Nilamsuri mengenakan baju dan celana laki-laki berwarna putih
yakni pakaian yang tadi ditemuinya di atas sebuah kuburan. Dan parasnya menjadi
kemerahan. Cepat-cepat dia berlalu dari situ.
”Saudari…. Tunggu….!”
”Apalagi?!”
”Kalau kau tak mau ambil aku jadi muridmu, tak apa. Tapi ada satu permintaanku
yang lain…. Boleh aku tahu namamu?”
”Manusia macammu tak perlu tahu namaku!”
”Ah saudari, kau sombong betul. Beri tahu namamu, nanti kuberi tahu namaku….”
”Siapa sudi tahu namamu segala?!”
”Namaku Wiro Sableng saudari…. Harap kau mau kasih tahu kau punya nama….”
”Wiro Sableng?” ujar Nilamsuri.
Pemuda itu mengangguk.
”Pantas,” kata Nilamsuri pula.
”Pantas kenapa?” tanya Wiro.
”Pantas lagakmu seperti orang edan!” dan habis berkata begitu Nilamsuri segera
berlalu.
Bersambung...