Sejak Gumara tiba di desa Kumayan, dia sudah diberitahu. Bahwa desa Kumayan
adalah biang dari segala ilmu hitam. Tetapi Gumara sudah diajari orang tuanya
bagaimana mesti bersikap rendah hati. Dia tahu, bahwa dia tidak akan sebentar tinggal
di Kumayan. Begitu dia menerima tugas untuk mengajar di desa ini, dia telah
menyelidiki lebih dahulu siapa orang-orang yang diakui sebagai “Tetua” di sini.
Lepas waktu maghrib setelah menempati rumah jabatan dari Guru Yunus, Gumara
berkata “Saya akan pergi sebentar, Pak Yunus."
“Menghadap kepala sekolah?”
“Tidak. Itu besok. Saya akan ke rumah Lebai Karat,” sahut Gumara.
“Lho, anda mengenal nama itu di mana?” Yunus tercengang.
“Sebelum saya menerima tugas mengajar di sini."
“Dia orang sakti, lho,” kata Pak Yunus.
“Saya tahu.”
“Dan jika anda salah masuk padanya, anda celaka.”
“Itu saya juga tahu.”
“Hati-hatilah. Desa Kumayan ini sering membuat penghuninya celaka.” Gumara
disalami oleh Pak Yunus. Ujar lelaki itu pada Gumara, “Semoga selamat anda
menghuni rumah ini, juga selamat menjadi guru selama di sini. Saya hanya petugas
yang menyambut guru baru. Tapi tahukah anda, setiap penghuni baru di sini dicoba
oleh juara-juara?”
Gumara hanya bisa diam. Dia juga tahu, Pak Yunus ini termasuk orang yang “ada
isinya”.
Setelah lelaki tua itu berlalu, Gumara menatap sekeliling. Sepi sekeliling. Memang
beginilah desa Kumayan jika waktu maghrib telah berlalu. Namun dia harus menemui
Lebai Karat. Dan, setelah dia mengunci pintu rumah jabatan itu, belum lagi dia siap
melangkah, dirasakannya bulu kuduknya merinding semua.
Gumara mencoba mengatur nafas. Tentu ada sesuatu yang ghaib. Dia mendehem. Dan
tak jauh darinya terdengar sahutan orang mendehem pula. Kedengarannya memang
itu suara manusia. Tapi di sini, di Kumayan ini, semua yang lahiriah tampak sebagai
manusia, belum tentu manusia.
Dan tanpa menoleh ke arah sahutan dehem tadi, Gumara berkata “Saya penghuni baru
di sini, mohon ijin.” Terdengar suara mendehem. Gumara pun membalas dengan
mendehem. Lalu terdengar sekelebatan suara makhluk meloncat meluncur memasuki
ilalang. Dan barulah Gumara menoleh kesana . Ilalang itu masih bergoyang, pertanda
“Inyit” baru berlalu.
Di Kumayan orang tak pernah menyebut nama harimau. Mereka harus menyebut
dengan sebutan “Inyit” agar tidak kuwalat. Dan Gumara kini lega, karena salah
seorang mahluk halus di desa ini sudah muncul dengan sikap yang layak untuk
memperkenalkan diri.
Gumara memperbaiki selendang shawl yang melilit di lehernya. Lalu dia turun tangga
rumah. Dia harus jalan kaki sejauh dua kilometer untuk sampai ke rumah Lebai Karat.
Peta untuk kesana sudah dia hafal luar kepala.
Beberapa langkah setelah keluar dari pekarangan, ia harus ikuti jalan lurus yang sepi
itu. Di kiri kanan jalan tidak ada rumah. Hanyapadang ilalang belaka. Dan tentu
semua orang tahu, di balik ilalang haruslah dicurigai bersarangnya harimau.
Namun Gumara melangkah pasti. Langkah itu barulah terhenti ketika dia mendengar
suara wanita merintih. Siapa itu? Gumara menoleh ke arah ilalang itu. Dia yakin,
rintihan itu datangnya dari sela-sela ilalang itu. Tentulah wanita itu membutuhkan
pertolongan. Kemungkinan dia baru mendapat musibah diterkam binatang buas, tapi
binatang itu melarikan diri.
“Hai, siapa disana ?” tanya Gumara.
Dia mencoba menekan knop senter di tangan. Tapi entah mengapa lampu senter itu
mendadak tak bisa menyala. Rintihan itu semakin memelas. Gumara mendekati. Lalu
dia sibakkan pohonan ilalang itu.
Ya Allah!
Seorang wanita terkapar, telentang luka parah, dalam pakaian minim pula. Jika
Gumara bukan lelaki beriman, tentu dia mempunyai kesempatan untuk
memperkosanya.
“Siapa kau?”
“Tolong,” desah wanita itu, “Tolong gendong aku.”
Gumara menaruh kasihan. Cuma ia agak ragu. Belum tentu wanita ini manusia. Dia
terlalu cantik. Dan ketika Gumara mengangkatnya untuk membopongnya, ada terasa
bau ular.
“Kau begitu gagah,” ujar wanita yang dibopong Gumara pada bahunya itu. Gumara
terus melangkah, dan terus merasakan bau aneh itu. Langkahnya terhenti ketika
Gumara merasa lehernya dililit mesra oleh tangan wanita itu.
ULAR MEMBELIT
Gumara merinding. Sebab lilitan lengan wanita ini melebihi kemesraan karena
merangsang birahinya. Ketegangan perasaan jantan begini tak boleh. Dan untunglah
Gumara segera ingat soal bau itu. Itu bukan bau yang wajar sebab dia mengenal bau
ular.
“Kamu ular!” teriak Gumara dengan nada marah seraya menyeruakkan lengan yang
melilit itu. Memang benar, karena mendadak saja menjelma kepala ular yang
mengerikan ingin mematok kepalanya. Gumara segera membanting diri ke tanah lain
berguling agar benar-benar terjadi pergumulan bila ular ini lepas dari membelitnya.
Sungguh ajaib. Begitu Gumara memutar gerak pinggang dengan teriak “Fuh!”, ular
tadi secara ghaib menghilang. Dan rupanya, perkelahian seru itu disaksikan oleh
seorang tua yang kemudian berkata “Di mana engkau belajar ilmu tangkisan sehingga
Siti Marfuah lari terbirit?”
“Siapa anda, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Bagusnya kamu sebut dulu siapa kamu”, kata Pak Tua itu.
“Namaku Gumara. Lengkapnya Gumara Peto Alam. Aku guru muda yang baru
dibenum di desa Kumayan ini”.
“Cuma sekadar itu?” tanya Pak Tua.
Mendengar hal itu Gumara gugup. Keringat dinginnya mengocor. Seakan rahasia
pribadi siap dibongkar orang.
“Saya tahu, anak muda, bahwa kamu ke sini dengan rencana panjang. Kau akan
membalas dendam pada seseorang. Demi cintamu pada ibumu, bukan? Lalu kau akan
menghadap Lebai Karat malain ini juga! Untuk mendapatkan ilmunya? Padahal,
Lebai Karat inilah yang memperkosa ibumu”
Mata Gumara melotot.
Wah, tak disangka!
Gumara menjadi tertarik, lalu bertanya “Siapa anda sebenarnya?”
“Saya? Pernah mengenal nama Hum Belang?”
Suara itu berat, bergetar. Mengerikan. Tapi yang lebih mangerikan lagi pada perasaan
Gumara seketika itu adalah, karena dia kenal nama itu. Dia telah diberitahu jauh hari
sebelum ini, bahwa, apabila dia tinggal di Kumayan, harus bisa menyesuaikan diri
dengan tokoh Hum Belang. Hum Belang menatap Gumara. Dia menyeringai dan
benar-benar mirip dengan seringai harimau.
“Kalau mau selamat, jangan lanjutkan perjalananmu, nak”, ujar PakTua itu.
“Lalu, apa nasehat Pak Tua selanjutnya?” tanya Gumara.
“Kau akan diketahui oleh Lebai Karat, bahwa kedatanganmu menghadapnya bukan
untuk belajar. Tapi untuk membalas dendam. Kau akan celaka, anak muda”, ujar
lelaki tua yang misterius ini.
“Lalu, Pak Tua ada di sini sekarang, untuk maksud apa?” tanya Gumara.
“Hanya mencoba mencegah langkah engkau”.
“Jika saya tetap ingin melanjutkan?” tanya Gumara bernada pasti, tanpa maksud
melagak menantang.
“Itu hakmu. Terserah”, ujar Pak Tua yang masih perlu diragukan, apakah dia benar-
benar Hum Belang yang tersohor ataukah sekedar mengaku-ngaku.
Gumara membungkuk hormat pada Pak Tua itu, lalu melanjutkan perjalanan.
Semakin gelap menjelang tengah malam ketika dia merasa tersesat. Kalau benar
jajaran bintang di langit itu adalah jajaran Bima Sakti, itu berarti kini waktu tengah
malam. Padahal jarak yang harus ditempuhnya cuma berjalan kaki sekitar dua
kilometer saja.
Setidaknya kini dia telah berjalan sekitar hampirlima jam.
Gumara sadar, bahwa dia benar-benar tersesat, untuk kembali, dia bingung, hendak
menempuh jalan yang mana. Tapi tekad Gumara memang bulat. Dia membersihkan
kelopak matanya agar pemandangan yang dilihatnya di sekitar bukanlah palsu.
Alangkah bahagianya dia, setelah bersih diucek-uceknya kelopak matanya itu, dia
melihat di langit letak bintang Bima Sakti itu. Juga hutan sekitar dan satu jalan kecil
itu, yang tadi tidak ada. Barulah ia kini yakin, bahwa pandangan matanya telah
“dibalikkan” oleh Pak Tua yang melarangnya menemui Lebai Karat
Gumara membelokkan langkah. Alangkah gembiranya ia, ketika didengarnya suara
motor. Ini sebagai pertanda, bahwa dia tidak sesat jalan. Sudah sering dia dengar
bahwa memang ada sepeda motor yang disewakan naik turun lembah bagi orang-
orangJakarta yang akan menemui Lebai Karat untuk keperluan sesuatu. Gumara
tinggal mengikuti suara motor itu saja. Ya, disana itu, di rumah terpencil itu, tentu di
situlah tinggalnya Lebai itu.
Bersambung...