Sebelumnya...
Ketika Gumara tiba disana , dia mendapati dua orang yang sedang diguyur air
kembang. Lain tamu yang baru datang tadi masih didaftar. Gumara ragu, apakah dia
perlu mendaftar?
Gumara ingin memperlihatkan sikap rendah hati. Di antara dua orang tamu lain yang
sudah mendaftar, dia duduk. Lalu petugas pencatat bertanya padanya “Anda mau
ketemu Ki Karat?”
“Ya”.
“Silahkan maju”, ujar petugas pencatat. Gumara berdiri dan menunjukkan kartu
penduduknya.
“Mau berobat atau ada keperluan lain, misalnya guna-guna?” tanya pencatat itu.
“Oh, sama sekali bukan”, kata Gumara.
“Lalu ke sini mau apa?”
“Cuma mau jumpa Lebai Karat”, ujar Gumara.
“Barangkali permintaan anda ditolak, Tadi kesini naik apa? Naik ojek juga?” tanya
pencatat.
“Saya? Oh, saya akan jadi penduduk Kumayan, mas”, kata Gumara.
Pencatat itu agak curiga. Dia mempersilahkan Gumara kembali duduk di tempat.
Dengan kecurigaan yang tidak dapat disembunyikannya, pencatat itu akhirnya masuk
ke dalam rumah. Sementara pencatat itu masuk, Gumara bertanya pada dua orang
tamu itu “Bapak mau berobat ke sini?”
“Ya, saya diracun orang. Lihat, badan saya sudah kurus kering, uang sudah habis.
Cuma karena berebut pangkat di kantor badan jadi begini”, kata yang kurus. “Dan
ibu?” tanya Gumara pada tamu yang satu lagi. “Saya dimadu. Suami saya kawin lagi.
Mau minta bantuan Ki Karat supaya suami saya benci pada bini mudanya”, ujar
wanita yang datangnya hampir serempak dengan Gumara.
Gumara hanya menghela nafas sejenak. Lalu dia melihat pencatat tadi begitu sibuk
dalam ruangan. Kemudian dia berkata “Bapak tadi yang namanya Gumara ya?”
“Betul”. kata Gumara.
“Bapak disilahkan Ki Karat masuk menghadap”, kata orang itu.
“Baik”.
Gumara menarik nafas sejenak, lalu berdiri dengan sikap dada lapang. Lalu dia
melangkah perlahan menuju orang yang memanggil, Kemudian sebuah pintu
dibukakan bagi Gumara. Gumara pun masuk ke dalam. Dia membungkuk hormat
memberi salam pada lelaki tua yang duduk bersila di atas kasur empat segi.
“Silahkan duduk, juragan”, ujar lelaki tua itu, yang sudah diketahui Gumara adalah
Lebai Karat.
Gumara duduk. Lalu dia merasakan ada bau tidak nyaman di hadapannya. Gumara
seperti ketakutan. kendati Cuma sedetik saja.
“Adaperasaan tidak enak ya?” tanya lelaki tua berjanggut putih.
“Ya”.
“Itu tanda kamu ada maksud tidak baik mau mencari saya”. Ucapan itu jelas sebuah
tuduhan. Gumara siap untuk diuji.
“Barangkali kamu mau mencoba?” tanya Ki Karat.
“Mencoba apa, Guru?”
“Jangan bohong. Kamu ke sini mau membalas dendam”, ujar Ki Karat.
“Tidak demikian. Saya menghadap kesini karena tahu bahwa bapak adalah Ketua dari
semua Tetua di kawasan ini. Sedangkan saya ke sini mau menjadi Guru SMP dalam
mata pelajaran Fisika dan Matematika. Supaya saya aman selama menjadi penduduk
Kumayan, Saya pun ke sini, menghadap Bapak. Saya sudah dengar kesaktian bapak”.
Ki Karat tersenyum senang. Dia jarang mau dipuji, kecuali pada saat ini.
“Jadi itukah keperluanmu menghadap saya?” tanya Lebai Karat.
“Ya, pakGuru”.
“Tapi saya ingin jawaban yang kesatria, nak ”.
“Maksud Pak Guru?” tanya Gumara.
“Kau dengan rendah hati menghadap saya ke sini bukan untuk mempersiapkan suatu
maksud jahat?”
Gumara sengaja tak menjawab, kecuali tersenyum lebar sembari berkata; “Ah, anda
yang ilmunya begitu tinggi, tentu lebih tahu dari segala orang pandai”.
Lalu Gumara melihat perubahan sosok di hadapannya, ketika dia menyeringai. itu
bukan lagi seringai Lebai Karat. Tapi seringai seekor raja harimau. Dan harimau itu
siap menerkam Gumara. Ia mundur, tapi Gumara tetap tenang duduk bersila. Harimau
tadi mundur lagi, seakan-akan mau mengambil acuan untuk melompati dan menerkam
Gumara. Namun Gumara hanya tenang saja, kecuali mengatur nafas. Dua tamu di
luar, dan juru catat tadi, justru merekalah yang gelisah.
Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat lelaki muda yang tadi disuruh masuk
sudah muncul di luar. Petugas pencatat berubah menjadi hormat melihat munculnya
Gumara.
Lalu petugas pencatat memanggil nama lelaki kurus. Lelaki kurus itu dipersilahkan
masuk. Waktu itu, Gumara sudah meninggalkan rumah Lebai Karat. Dia menganggap
tugasnya sudah selesai, yaitu menghadap Ketua dari semua Tetua di desa Kumayan.
Malam semakin jauh, namun langit semakin benderang gemintang. Seekor babi
melintas sekelebatan. Dan Gumara tahu, mungkin itu bukan babi. Memang hampir di
seluruh desa ini dipenuhi oleh mahluk jadi-jadian. Buat yang tidak memiliki kelebihan
indera dan sekedar cuma punyalima (panca) indera saja, memang sulit untuk meraba
mana yang salah dan mana yang benar.
Yang anehnya, setiba di rumah jabatan menjelang tengah malam, Gumara agak
terheran-heran sudah ada tamu tak diundang. Dia duduk di sebuah kursi dengan
kepala menekur.
Gumara memberi salam. Tamu itu menyahut, tanpa menolehkan muka. Gumara agak
berhati-hati bertanya
“Dari mana anda masuk tadi?”
“Dari belakang”, ujar tamu tak dikenal dan tak di undang itu.
“Bagaimana anda bisa masuk, Pak?”
“Ini milik saya dulu. Tapi pemilikan rumah ini ada permainan uang sogok, sehingga
saya ditendang. Karena saya masih protes terus, nak, inilah akibatnya”, lalu lelaki tak
dikenal itu memperlihatkan wajah. Dan wajah itu begitu mengerikan. Yaitu
adanyalima enam lubang, dan lubang itu keluar semacam getah pepaya.
“Ki Karat yang punya kerjaan begini, nak”, ujar tamu tak dikenal itu.
“Oh, dia yang punya kerja”, kata Gumara seraya menghela nafas.
“Camat di sini juga ikut main. Tanah saya sudah banyak yang dicomot, nak.
Pendeknya, yang bandel akhirnya jadi mangsa ilmunya Ki Karat”, kata tamu itu.
“Nama Bapak siapa?” tanya Gumara.
“Tohing”.
“Maksud ke sini mau apa?” tanya Gumara.
“Mau minta pertolongan”.
“Pertolongan? Lewat saya?”
“Ya, saya mau minta tolong pada anak”, kata orang yang mengaku Pak Tohing.
“Coba terangkan”, kata Gumara.
“Saya tahu, antara nak Gumara dengan Ki Karat ada satu kaitan. Tapi itu cuma cerita
orang. Dan saya juga tahu, tadi barusan saya dengar bahwa nak Gumara datang
menghadap Ki Karat. Ini tindakan aman jika orang mau selamat tinggal di Kumayan.
Bersambung...