Sebelumnya...
Yang lebih mengagetkan Gumara lagi, sebelum polisi mengajukan pertanyaan,
seorang lelaki berpici memperkenalkan diri.
“Oh, Pak Direktur”.
“Ya, saya Direktur SMP di Kumayan sini”, kata orang yang berpici dan mengaku
bernama Jamhur itu. Pak Yunus, yang mengurusi rumah jabatan semalam, muncul
pula dengan pertanyaan “Apa anda khilaf ketika menebas leher Tohing?”
“Saya menebas leher Tohing? Ya, Tuhan, ini fitnah!” seru Gumara geram.
“Tapi semua orang menyebutkan hal itu”, ujar Pak Yunus.
Inspektur polisi menyela, “Akhirnya hukum yang menegakkan kebenaran. Boleh
kami mengganggu sedikit?” Inspektur itu memperlihatkan borgol. Jiwa Gumara
terkoyak oleh cara begini.
“Bukti belum cukup saya membunuh Tohing, kenapa tangan saya harus diborgo!?”
protes Gumara.
“Kami kuatir anda akan memotong leher yang lain atau leher kami petugas keamanan.
Tentu anda tidak menginginkan kami keraskan ?” suara inspektur itu lembut namun
menyakitkan hati Gumara.
Gumara, masih dalam berpakaian kaos oblong dengan bercelana jean, harus
mengikuti perintah petugas keamanan yang syah di kecamatan ini. Dan karena
kejadian ini pulalah nama Gumara dalam tempoh satu hari menjadi terkenal di seluruh
kecamatan Kumayan. Dan desa itu membangkitkan orang-orang pada seni keindahan.
Sebab semua ibu-ibu, dan semua gadis-gadis, lalu berkata “Gumara berwajah
tampan”.
Ya, Gumara tampan. Dan hal ini pulalah yang menyebabkan Wati memberanikan diri
muncul di kantor polisi, langsung minta diizinkan bicara dengan Gumara. Dan di
balik terali besi kamar tahanan itu, Gumara tentunya heran karena munculnya seorang
gadis jelita berambut panjang ingin bicara dengannya.
“Katakan siapa kamu sebenamya. Saya tidak ingin kamu hanya menyebut Wati saja,
atau Harwati saja. Kamu anak siapa?”
“Saya anak seorang yang suka menolong”, kata Wati.
“Siapa ayahmu?” tanya Gumara.
Gadis jelita itu diam beberapa saat. Lalu dia berkata; “Ayahku adalah seorang yang
disegani di sini, yang kakak datangi tadi malam”.
Gumara melongo. Lalu bertanya polos “Jadi kamu puteri Ki Karat?”
“Ya Tuhan, kenapa kamu bersusah payah mendatangi saya?”
“Lewat ayahku, anda dapat bebas dari tahanan. Ini hanya fitnah dari orang yang
berhati busuk di sini karena anda ingin mengajar. Mungkin yang membuat ulah
adalah seorang guru tua yang akan dipensiun lalu akan anda gantikan. Tapi, dengan
dipotongnya leher Tohing semalam sekembali dari rumah kakak, si pembunuh ingin
menjelekkan nama kakak!”
Gumara terperangah beberapa detik. Dia kemudian berkata “Terima kasih atas uluran
tanganmu. Sampaikan salam saya untuk Bapak”.
“Jadi anda menolak uluran bantuan keluarga kami?” tanya Wati.
“Lain kali, jika saya membutuhkan benar”.
“Dan kali ini kakak akan menyelesaikannya sendiri?”
“Memang begitu. Hidup ini ibarat ilmu berhitung. Jika kita mau menyelesaikan
sebuah hitungan, yang penting memggunakan rumusnya yang tepat baru soal dapat
dicari dan diselesaikan. Jika minta bantuan bapak, mungkin kami berbeda rumus”.
Tampak, Wati kesal. Dan dia tak dapat menyembunyikan kekesalannya dengan
berkata “Tahukah kakak bahwa penduduk Kumayan mengagumi wajah kakak yang
tampan itu? Seolah anda adalah dewa ketampanan di sini. Tapi mereka tak tahu, di
balik ketampanan kakak ini ada kekurangan. Bahkan itu cacad”
“Cacad apa?” tanya Gumara.
“Engkau sombong dan angkuh!”
“Lho, orang yang percaya dan itu memang memberikan kesan sombong dan angkuh!
Itu kawanmu yang salah”, kata Gumara.
Gadis manis itu berdiam diri.
“Kamu pun punya kekurangan di samping kelebihanmu, dik manis. Kelebihanmu
mungkin karena kau yang tercantik di Kumayan ini. Kekuranganmu yaitu bibirmu
judes, ucapanmu nyelekit di hati lelaki,” kata Gumara,
“Terimakasih atas penghinaan tuan guru”, ujar Wati lalu merentak berlalu
meninggalkan lorong kamar tahanan.
Bersambung...