Sebelumnya...
Ketika berita tentang kejadian di Kerajaan Panchala sampai ke Hastinapura, Widura merasa gembira. Ia segera menemui Dritarastra dan berkata, “Tuanku Raja, keluarga kita akan bertambah kuat sebab putri Raja Drupada telah menjadi menantu kita. Sungguh kita ini
dinaungi bintang keberuntungan.”
Dritarastra yang merasa amat gembira mengira bahwa Widura mengabarkan kemenangan Duryodhana dalam sayembara itu dan keberhasilannya menyunting Draupadi. Karena itu ia berkata, “Sungguh benar apa yang kau- katakan. Saat ini adalah saat yang baik bagi kita. Pergilah segera dan bawa Draupadi kemari. Kita akan mengadakan upacara penyambutan yang megah untuk putri Kerajaan Panchala itu.”
Widura sadar, Dritarastra keliru mengartikan kata- katanya. Segera ia berkata, “Paduka Raja, sesungguhnya Pandawa yang mendapat perlindungan Yang Maha Kuasa masih hidup. Arjunalah yang memenangkan sayembara itu dan berhak menyunting Draupadi. Kelima Pandawa me- nyunting putri itu bersama-sama dan perkawinan mereka telah dianggap sah karena sesuai dengan yang tertulis dalam kitab-kitab Sastra. Bersama ibu mereka, kini mereka hidup bahagia di bawah lindungan Raja Drupada.”
Dritarastra sangat kecewa mendengar penjelasan Widu- ra. Kebencian menggelegak di dalam hatinya, tetapi ia ber- usaha menutupinya. Katanya, “Wahai Widura, aku senang
mendengar ceritamu. Jadi, Pandawa sebetulnya masih hidup? Padahal kita telah mengadakan upacara berkabung untuk mereka. Berita yang engkau sampaikan ibarat air yang menyejukkan hatiku. Jadi, putri Raja Drupada sekarang menjadi menantu kita? Syukur, syukur.”
Sementara itu, Duryodhana pulang dari Panchala de- ngan hati penuh dengki. Lebih-lebih setelah ia mendengar dari ayahnya bahwa sebenarnya Pandawa masih hidup. Rupanya mereka lolos dari kebakaran yang memusnahkan istana kayu di Waranawata dan sejak itu hidup menyamar sebagai brahmana. Kini mereka semakin kuat karena berada dalam lindungan Raja Drupada.
Duryodhana mengajak Duhsasana, adiknya, untuk menemui Sakuni. Dengan hati penuh dendam ia berkata kepada pamannya itu, “Paman, aku merasa sangat diper- malukan. Aku sungguh kecewa karena mempercayakan pelaksanaan rencana kita kepada Purochana. Pandawa, musuh kita, lebih cerdik dan rupa-rupanya nasib baik memihak mereka. Kini Dristadyumna dan Srikandi juga menjadi sekutu mereka. Apa yang dapat kita lakukan?”
Mendengar pengaduan itu, Sakuni menyarankan agar Duryodhana mengajak Karna menghadap Dritarastra yang buta.
Di depan ayahnya, putra mahkota Hastina itu berkata, “Ayahanda, engkau telah berkata kepada Paman Widura bahwa masa depan kita akan menjadi lebih baik. Apakah masa depan yang baik bagi kita itu berarti bahwa musuh bebuyutan kita, Pandawa, semakin kuat dan pada suatu waktu akan menghancurkan kita? Rencana kita gagal karena ternyata sebelumnya mereka sudah tahu. Ini lebih berbahaya bagi kita. Sekarang kita tak punya pilihan lagi. Kita hancurkan mereka sekarang atau mereka yang akan menghancurkan kita lebih dulu. Kami mohon petunjuk Ayahanda.”
Dntarastra menjawab, “Anak-anakku, apa yang engkau katakan itu benar. Seharusnya kita tidak mengungkapkan isi hati kita kepada Widura. Itu sebabnya aku menahan
diri di depan dia. Sekarang aku ingin mendengar rencana kalian selanjutnya.”
Duryodhana berkata, “Aku sangat kecewa dan pikiran- ku sangat kacau. Aku belum punya rencana apa-apa. Mungkin kita bisa mengadu domba mereka. Bukankah mereka terlahir dari dua ibu? Kita buat anak-anak Madri membenci anak-anak Kunti. Kita bujuk Drupada agar mau bergabung dengan kita. Walaupun ia telah memberikan anaknya kepada Pandawa, hal itu tidak menghalangi niat kita untuk mengajaknya bersekutu. Tanpa kekayaan dan harta benda, tak ada yang bisa mereka lakukan.”
Karna tersenyum dan berkata, “Itu omong kosong!” Duryodhana melanjutkan, “Bagaimanapun juga kita
harus mencegah kembalinya Pandawa untuk menuntut hak mereka atas kerajaan yang sudah ada di tangan kita. Kita harus menempatkan beberapa brahmana di Panchala untuk menyebarkan berita bohong. Kita juga harus mengatakan kepada Pandawa, jika berani kembali ke Hastinapura mereka akan menghadapi bahaya besar. Dengan begitu Pandawa pasti tidak berani datang ke sini.”
Karna menyela, “Itu juga omong kosong. Engkau tidak dapat menakut-nakuti mereka dengan cara itu.”
Duryodhana melanjutkan, “Apakah kita tidak bisa me- misahkan Pandawa melalui Draupadi? Bukankah mereka berlima mempunyai satu istri? Perkawinan seperti itu baik untuk siasat kita. Kita akan membuat mereka ragu, cem- buru dan saling curiga dengan bantuan perempuan-perem- puan penjaja asmara yang cantik dan mempesona. Ya, dengan cara itu kita pasti berhasil. Kita suruh perempuan- perempuan itu menggoda anak-anak Kunti dan membuat Draupadi cemburu. Jika cemburu, Draupadi pasti akan mengadu pada ayahnya dan Drupada pasti akan memarahi Pandawa. Setelah itu, kita undang Draupadi ke Hastina- pura dan kita buat dia tercemar.”
Karna tertawa mengejek dan berkata, “Semua rencana- mu pasti gagal. Engkau takkan bisa memecah belah Pandawa dengan siasat seperti itu. Dulu ketika mereka
masih muda, ibarat anak burung yang belum sempurna sayapnya, kita bisa menipu mereka.
Tetapi sekarang mereka sudah menjadi kesatria-kesatria sakti. Mereka sudah kenyang hidup sengsara di hutan belantara. Mereka sekarang dilindungi Drupada. Dengan mudah mereka bisa menebak rencanamu. Benih perpecahan yang kausebar takkan tumbuh subur di antara mereka. Engkau juga takkan bisa menyuap Drupada yang bijaksana. Ia takkan menyerahkan Pandawa begitu saja. Tak mungkin pula membujuk Draupadi agar mau mengkhianati para suaminya.
“Karena itu, hanya ada satu jalan bagi kita, yaitu meng- gempur mereka dan para sekutu mereka sebelum semakin kuat. Kita harus menyerang mereka dengan tiba-tiba sebelum Krishna menggabungkan diri bersama pasukan perang Yadawa yang terkenal. Kita serang mereka dengan terang-terangan. Tipu muslihat akan sia-sia.”
Seperti biasa, Dritarastra tak bisa mengambil keputu- san. Ia meminta pertimbangan Bhisma dan Drona.
Bhisma senang mendengar bahwa Pandawa masih hidup dan kini menjadi menantu Raja Drupada serta ting- gal di Panchala dalam lindungan raja itu. Ketika ditanya langkah-langkah apa yang harus diambil Kaurawa untuk melenyapkan Pandawa, Bhisma yang bijaksana, berpan- dangan luas, dan ahli tata negara, berkata dengan sabar, “Penyelesaian yang paling tepat adalah mempersilakan mereka kembali dan membagi kerajaan ini menjadi dua. Rakyat juga menghendaki itu. Itulah satu-satunya jalan untuk menjaga martabat dan kebesaran keluarga kita. Tidak ada gunanya membicarakan kesalahan masa lalu. Tak ada gunanya menyimpan dendam dan dengki. Kita semua bisa hidup damai berdampingan jika Pandawa dipersilakan pulang dan setengah Kerajaan Hastina diberikan kepada mereka. Itulah nasihatku.”
Drona memberikan nasihat yang sama. Ia mengusulkan agar Kaurawa mengirim utusan untuk menyampaikan pesan tentang penyelesaian masalah itu secara damai.
Mendengar itu, Karna naik pitam. Sepenuhnya ia memi- hak Duryodhana dan tidak sanggup membayangkan bagai- mana jadinya jika kerajaan dibagi menjadi dua. Katanya kepada Dritarastra, “Aku heran mendengar usul Drona. Pendita itu telah Paduka angkat derajatnya dan Paduka anugerahi kehormatan dan harta berlimpah. Seharusnya seorang raja mendengarkan nasihat para menterinya dengan cermat, mempertimbangkannya baik-baik, sebelum akhirnya memutuskan untuk menerima atau menolaknya.”
Panas telinga Drona mendengar kata-kata Karna. Dengan lantang ia berkata, “Dasar manusia celaka! Kamu telah memberikan nasihat yang keliru kepada rajamu. Ingat, jika Dritarastra tidak mengikuti nasihat Bhisma dan nasihatku, dalam waktu dekat Kaurawa akan mengalami kehancuran.”
Kemudian Dritarastra meminta nasihat Widura dan dijawab, “Nasihat Bhisma, pengayom bangsa kita, dan nasihat Drona, mahaguru kita, sungguh adil dan bijak- sana. Hendaknya jangan kauabaikan Pandawa adalah kemenakanmu sendiri. Sadarlah. Mereka yang menasihat- kan agar kita menghancurkan Pandawa sesungguhnya ingin agar bangsa kita menemui kehancuran. Krishna dan bangsa Yadawa, Drupada dan seisi kerajaannya sudah menjadi sekutu Pandawa. Kita takkan bisa menaklukkan mereka dalam pertempuran. Usul Karna salah dan gega- bah. Di mana-mana orang sudah tahu bahwa kita pernah mencoba membunuh mereka dengan membakar istana kayu. Pertama-tama kita harus membersihkan diri kita dan kutukan karena perbuatan jahat yang kita lakukan.
“Seluruh rakyat Hastina gembira ketika mendengar bah- wa Pandawa masih hidup. Mereka ingin melihat Pandawa kembali Jangan hiraukan kata-kata Duryodhana. Karna dan Sakuni masih hijau, belum memahami seluk beluk tata negara. Mereka belum pantas memberi nasihat. Ikuti- lah nasihat Bhisma dan Drona.”
Setelah mempertimbangkan semua nasihat itu, akhir- nya Dritarastra memutuskan untuk menempuh jalan
damai dengan memberikan setengah Kerajaan Hastina kepada anak-anak Pandu. Kemudian ia mengutus Widura ke Panchala untuk menjemput Dewi Kunti, Pandawa dan Draupadi.
Sampai di Panchala, Widura mempersembahkan tanda mata berupa emas permata dari Dritarastra kepada Raja Drupada. Selanjutnya dia mohon diijinkan menemui Pan- dawa untuk menyerahkan surat Raja Hastina kepada mereka. Dijelaskannya bahwa Dritarastra berniat menem- puh jalan damai dan memberikan setengah kerajaannya kepada Pandawa.
Drupada yang tidak percaya kepada Dritarastra menjawab ringkas, “Aku tidak berkuasa atas Pandawa. Mereka bebas berbuat semau mereka.”
Widura lalu pergi menghadap Dewi Kunti. Ibu Pandawa itu menyambutnya sambil berkata, “Wahai Widura anak Wichitrawirya, engkau telah menyelamatkan anak-anakku. Kau telah menganggap mereka anak-anakmu. Aku perca- yakan keselamatan mereka kepadamu. Aku akan lakukan apa yang engkau nasihatkan, walaupun aku tak bisa sepenuhnya mempercayai Dritarastra.”
Widura meyakinkan wanita itu, “Anak-anakmu tidak akan menemui kemusnahan. Mereka akan mewarisi kera- jaan dan akan memperoleh kebesaran dan kemasyhuran. Marilah kita pergi.”
Akhirnya Raja Drupada memberikan persetujuannya dan Widura kembali ke Hastinapura bersama Dewi Kunti, Pandawa, dan Draupadi.
Sambutan meriah telah menunggu putra-putra Pandu yang dicintai rakyat. Jalan-jalan dihiasi kembang warna- warni dan diperciki air suci. Sesuai rencana, Dritarastra membagi Kerajaan Hastina menjadi dua, setengahnya diserahkan kepada Pandawa, dan Yudhistira dinobatkan menjadi raja setengah kerajaan itu.
Dalam upacara penobatan Yudhistira, Dritarastra me- nyampaikan amanat, “Pandu, adikku, telah menjadikan kerajaan ini makmur dan rakyatnya sejahtera. Mudah-
mudahan engkau dapat membuktikan diri sebagai putra- nya yang berguna. Dulu Pandu selalu mencintaiku dan senang menerima nasihat-nasihatku. Anak-anakku sendiri berwatak sombong dan licik. Aku putuskan penyelesaian damai ini agar tak ada lagi perselisihan dan kebencian di antara kalian semua. Pergilah ke Kandawaprastha dan bangunlah ibukota kerajaanmu di sana. Dahulu, Puru- rawa, Nahusha, dan Yayati, nenek moyang kita, meme- rintah kerajaan ini dari sana. Kandawaprastha adalah ibu- kota kerajaan ini di jaman dulu. Bangunlah kembali. Berilah nama baru. Kuberikan restuku, semoga engkau menjadi raja yang arif dan kerajaanmu makmur sentosa.”
Setelah mohon diri, Pandawa pergi ke Kandawaprastha. Di sanalah Pandawa tinggal bersama Draupadi, istri mere- ka dan Dewi Kunti, ibu mereka. Mereka membangun ibu- kota dan istana dari puing-puing yang masih ada. Nama ibukota itu diubah menjadi Indraprastha sedang kerajaan- nya dinamakan Amarta. Pandawa memerintah kerajaan itu dengan mematuhi ajaran dharma. Kerajaan Amarta segera terkenal ke seluruh dunia, rakyatnya hidup damai dan sejahtera.
Bersambung...