Sebelumnya...
Syahdan di Kerajaan Magadha saat itu memerintah Brihadratha yang termashyur. Raja itu mempunyai tiga pasukan perang yang terkenal gagah berani. Raja Briha- dratha menikah dengan putri kembar Raja Kasi dan ber- sumpah akan selalu bersikap adil kepada kedua istrinya. Sayang, walaupun sudah lama menikah, mereka belum dikaruniai anak. Ketika merasa sudah tua, ia menyerah- kan tampuk pemerintahan kepada para menterinya lalu
pergi ke hutan bersama kedua istrinya untuk bertapa. Sebelum mulai bertapa, ia pergi ke pertapaan Resi Kau-
sika, keturunan Gautama, untuk mengadukan kesedihan- nya karena tidak dikaruniai anak. “Wahai Resi yang mulia, aku tidak punya anak seorang pun. Aku telah menye- rahkan pemerintahan kerajaanku kepada orang lain untuk pergi bertapa. Tolonglah aku, berilah aku anak.”
Resi Kausika merasa iba dan menjawab, “Ambillah ini dan berikan kepada istrimu. Permohonanmu akan dikabul- kan.” Sambil berkata demikian, ia menyerahkan sebutir mangga yang kebetulan jatuh di pangkuannya.
Brihadratha membelah mangga pemberian resi itu menjadi dua lalu memberikannya kepada kedua istrinya dengan adil. Beberapa waktu kemudian kedua istrinya mengandung dan pada waktunya keduanya melahirkan. Tetapi alangkah sedihnya Brihadratha karena mereka melahirkan bayi ajaib yang menyeramkan karena berkaki, bermata, dan bertelinga satu, sementara badan, muka dan
kepalanya hanya setengah. Dengan perasaan sedih bercampur ngeri, Brihadratha menyuruh kedua istrinya membungkus bayi-bayi itu dengan kain dan membuangnya jauh-jauh. Kedua bayi dibuang ke gundukan sampah di pinggir kota.
Menjelang senja, pada saat sandyakala, ada raksasa perempuan lewat di situ. Ia mencium bau daging manusia dalam onggokan sampah. Diaduk-aduknya gundukan itu dan ia menemukan bungkusan kain berisi dua potong badan bayi. Dia mengamati dan menyambung-nyambung potongan-potongan badan itu hingga menjadi satu tubuh bayi manusia yang utuh. Raksasa perempuan itu senang sekali melihat tubuh itu mulai berdenyut dan bergerak. Ia tidak berniat membunuh makhluk mungil itu.
Ia menyamar sebagai seorang perempuan tua lalu pergi menghadap Brihadratha untuk mempersembahkan bayi itu. “Bayi ini putra Tuanku. Ambillah dan rawatlah dia,” katanya.
Brihadratha dan kedua istrinya menerima bayi itu dengan senang hati. Bayi yang diberi nama Jarasandha itu dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh besar dan menjadi pemuda perkasa lagi sakti mandraguna.
Sementara itu Pandawa memerintah di Indraprastha dengan segala kebesaran dan penuh kebahagiaan. Para penasihat kerajaan menyarankan agar Yudhistira melak- sanakan upacara rajasuya lalu menggunakan gelar Maha- rajadiraja Sesembahan Agung. Mendengar saran-saran itu, Yudhistira ingin bertemu dengan Krishna untuk meminta nasihat. Krishna, yang mendengar bahwa Yudhistira ingin menemuinya, segera menyiapkan keretanya dan berangkat ke Indraprastha.
Yudhistira berkata, “Saudara-saudaraku dan para pena- sihatku menyarankan agar aku melaksanakan rajasuya, tetapi seperti engkau ketahui, hanya raja yang dihormati dan dicintai rakyatnya yang dapat melakukan upacara itu dan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku minta nasihat-
mu. Engkau raja yang adil dan bijaksana. Engkau pasti takkan memberikan nasihat hanya untuk menyenangkan hatiku. Aku percaya kepadamu, nasihatmu akan kuterima karena aku yakin itu benar dan berguna.”
Krishna menjawab, “Itu benar. Karena itu, engkau tidak bisa menjadi Maharajadiraja selama Jarasandha, pangeran Magadha yang perkasa, masih hidup dan belum ditak- lukkan. Jarasandha telah menundukkan banyak raja dan menjajah mereka. Semua kesatria, termasuk Raja Sisupala yang disegani, takut akan keperkasaannya dan menyerah kepadanya.
“Apakah engkau belum mendengar tentang Kangsa, putra Raja Ugrasena? Setelah ia menjadi menantu dan sekutu Jarasandha, aku dan rakyatku menyerang dia. Setelah bertempur selama tiga tahun, aku terpaksa mengakui kekalahanku. Aku tinggalkan Madhura, pindah ke Dwaraka. Di sana aku membangun ibukota baru dan sekarang kami hidup damai dan sejahtera. Duryodhana, Karna, dan raja-raja lain mungkin tidak keberatan akan upacara itu, tetapi Jarasandha pasti akan menentangmu. Satu-satunya jalan adalah menaklukkan dia, sekaligus membebaskan raja-raja yang ia tawan atau negeri-negeri yang ia rebut. Itu artinya, kita harus mengajak mereka untuk bersatu dan bersekutu dengan kita.”
Yudhistira berkata, “Aku sependapat. Aku adalah salah seorang dari raja-raja yang memerintah dengan baik, adil dan menempuh jalan hidup bahagia tanpa mengumbar nafsu. Karena bangga akan hasil yang telah dicapainya, seorang raja bernafsu untuk menjadi Maharajadiraja. Mengapa seorang raja tak bisa puas dan bahagia dengan kerajaannya? Sebaiknya aku lupakan saja nafsu untuk menjadi Maharajadiraja. Gelar itu tidak menarik bagiku. Saudara-saudaraku dan rakyatkulah yang menginginkan- nya. Engkau saja takut pada Jarasandha, apalagi kami. Apa yang bisa kita lakukan?”
Bhima, yang membenci watak lemah dan cepat puas diri, berkata, “Ambisi adalah kebajikan teragung seorang
raja. Apa gunanya menjadi orang kuat kalau tidak tahu kekuatan sendiri? Aku tak tahan hidup dengan membatasi diriku, bermalas-malasan, dan cepat puas diri. Barang- siapa dapat menanggalkan kelemahan, dan secara tepat mempergunakan siasat kekuasaan, pasti akan mampu menaklukkan mereka yang lebih kuat sekalipun. Kekuatan yang disertai siasat pasti berhasil. Apa yang tidak dapat dilakukan dengan gabungan kekuatan ragaku, kebijaksa- naan Krishna dan keterampilan Arjuna? Kita pasti dapat mengalahkan Jarasandha jika kita bertiga bersatu dan mengatur siasat tanpa ragu-ragu dan cemas.”
Kemudian Krishna bercerita, “Jarasandha harus dibas- mi, karena ia memang menghendaki demikian. Dengan sewenang-wenang ia menawan 86 raja. Ia merencanakan mengorbankan 100 raja untuk upacara persembahyangan. Karena itu ia menangkap 14 raja lagi. Jika Bhima dan Arjuna setuju, aku akan menyertai mereka. Bersama-sama kita basmi Jarasandha dengan siasat, kemudian kita lepaskan semua raja yang dia tawan.”
Yudhistira tidak senang mendengar nasihat itu. Ia berkata, “Itu berarti mengorbankan Bhima dan Arjuna, dua adik kesayanganku, hanya demi kepuasan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku tidak mau mengirim mereka untuk tugas berbahaya ini. Lebih baik kita lupakan saja rencana ini.”
Arjuna berkata, “Apa gunanya kita terlahir sebagai keturunan kesatria perkasa jika tak pernah melakukan perbuatan jantan? Seorang kesatria takkan masyhur jika tak pernah menunjukkan kesaktiannya. Semangat adalah induk segala keberhasilan. Nasib baik akan berpihak pada kita jika kita lakukan tugas dan kewajiban dengan sung- guh-sungguh. Orang kuat bisa gagal jika segan menggu- nakan kesaktian dan senjata yang dimilikinya. Sebagian besar kegagalan terjadi karena seseorang mengabaikan kekuatannya sendiri. Kita tahu kekuatan kita dan kita tidak takut untuk menggunakannya sebaik mungkin.
“Kenapa engkau merasa seolah-olah kita tidak mampu?
Kelak jika kita sudah tua, akan tiba waktunya bagi kita untuk mengenakan jubah suci, masuk ke hutan pergi bertapa dan berpuasa untuk tujuan keagamaan. Sekarang kita masih muda. Kita harus mengisi hidup dengan tinda- kan-tindakan perwira sesuai dengan tradisi keturunan kita.”
Krishna senang mendengar kata-kata Arjuna. Ia menanggapi, “Apa lagi yang harus dikatakan Arjuna, putra Dewi Kunti dan keturunan wangsa Bharata? Kematian akan tiba bagi setiap orang; tak peduli dia pahlawan atau pengecut. Tetapi kewajiban agung para kesatria adalah mengabdi pada bangsa dan keyakinannya serta menak- lukkan musuh dalam perang demi memperjuangkan kebe- naran.”
Akhirnya Yudhistira bisa menerima pendapat bahwa melenyapkan Jarasandha merupakan kewajiban mereka sebagai kesatria. Setelah tercapai kata sepakat, Krishna berkata, “Hidimba, Hamsa, Kangsa dan sekutu lain Jara- sandha sudah mati. Sekarang inilah saat terbaik untuk menggempur dia. Kita tak perlu bertempur habis-habisan bersama para prajurit untuk menaklukkan dia. Kita tan- tang dia untuk berperang tanding, dengan atau tanpa senjata.”
Kemudian mereka menyusun siasat. Mereka menyamar sebagai pertapa pengembara yang mengenakan jubah dari kulit kayu. Tangan mereka memegang rumput darbha suci sesuai tradisi jaman dahulu. Sampai di Magadha, mereka langsung menuju istana Jarasandha.
Waktu itu Jarasandha mendapat firasat buruk. Ia gelisah. Pikirannya tidak tenang. Karena itu ia meminta agar para pendita mendoakan keselamatannya. Sementara itu, ia sendiri tekun berpuasa dan bersamadi. Krishna, Bhima dan Arjuna yang menyamar sebagai pendita memasuki istana tanpa bersenjata. Jarasandha menerima mereka dengan baik, lebih-lebih setelah melihat sikap dan perbawa mereka yang menunjukkan bahwa mereka berasal dari keturunan terhormat. Bhima dan Arjuna tidak
menanggapi tegur sapa Jarasandha agar mereka tidak terpaksa berbohong.
Krishnalah yang berbicara atas nama mereka bertiga, “Mereka berdua sedang ber-tapa brata dan tapa bisu adalah laku semadi mereka. Lewat tengah malam barulah mereka diperkenankan bicara.”
Setelah menjamu tamunya di balairung, Jarasandha kembali ke istananya.
Lewat tengah malam Jarasandha datang ke balai peris- tirahatan ketiga tamunya untuk bercakap-cakap dengan mereka. Ia curiga ketika melihat lecet-lecet bekas tali busur di tangan ketiga pendita itu, lebih-lebih ketika mem- perhatikan wajah mereka yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah kesatria.
Memang Jarasandha terkenal karena kekuatan raganya yang luar biasa. Tetapi, ia dilahirkan dengan dua bagian badan terpisah. Barangsiapa bisa menghantam dan mem- belah badannya menjadi dua, dia akan mampu melenyap- kan kekuatan Jarasandha. Ibarat sapu lidi yang lepas ikatannya, lidi-lidinya akan tercerai berai dan sapu itu menjadi tidak berguna. Atau ibarat sebuah negeri yang rakyatnya bertikai, negeri itu akan runtuh terpecah belah.
Tiba-tiba Jarasandha menegur ketiga pendita itu, meminta mereka berterus terang. Mau tak mau Krishna menjawab terus terang, “Kami adalah musuhmu. Kami datang kemari untuk menantangmu bertanding sekarang juga. Silakan pilih salah satu di antara kami.” Kemudian mereka memperkenalkan diri masing-masing.
Jarasandha berkata lantang, “Krishna, engkau penge- cut! Arjuna masih bocah, tapi Bhima terkenal akan keper- kasaannya. Aku pilih dia. Aku akan bertarung melawan dia.”
Karena Bhima tidak bersenjata, Jarasandha setuju untuk bertarung tanpa senjata. Mereka sama-sama kuat. Tiga belas hari lamanya mereka bertarung tanpa henti, tanpa beristirahat sama sekali. Pada hari keempat belas, Jarasandha mulai menunjukkan tanda-tanda kecapaian.
Krishna memberi isyarat kepada Bhima bahwa sekarang- lah saat yang tepat untuk membanting Jarasandha ke tanah. Bhima lalu memusatkan tenaganya, menyambar sa- tu kaki Jarasandha, mengangkat musuhnya tinggi-tinggi, memutar-mutar tubuhnya dengan kencang, lalu dengan sekuat tenaga menghempaskannya ke tanah hingga badan- nya terbelah menjadi dua. Matilah Jarasandha yang per- kasa.
Bhima menarik napas lega, kemudian berteriak lantang menyerukan kemenangannya.
Tapi ... tiba-tiba kedua belahan badan Jarasandha bersambung lagi, utuh dan lebih kuat. Seketika itu juga Jarasandha bangkit dan menyerang Bhima dengan cepat. Bhima terpana, tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Krishna memberi isyarat lagi. Kali ini ia mengacungkan sebatang jerami. Jerami itu dibelahnya menjadi dua lalu masing-masing belahan dibuang ke arah berlawanan. Bhima mengerti.
Sekali lagi ia mengerahkan tenaga. Menyambar kedua kaki musuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, memutarnya bagai baling-baling, lalu membantingnya dengan keras. Sekali lagi tubuh Jarasandha terbelah dua. Dengan tangkas, sebelum kedua belahan itu sempat bertaut lagi, Bhima mengambilnya dengan kedua tangannya lalu melemparkannya jauh-jauh ke arah berlawanan. Sekarang Jarasandha benar-benar menemui ajalnya.
Usai bertarung, Krishna, Arjuna, dan Bhima membebas- kan semua tawanan Jarasandha. Para raja itu kembali ke kerajaan masing-masing. Sebelum kembali ke Indrapras- tha, ketiga kesatria itu menobatkan putra Jarasandha sebagai Raja Magadha.
Bersambung...