Sebelumnya...
Setelah Jarasandha mati, Pandawa mengundang raja- raja untuk bermusyawarah dan menyaksikan upacara rajasuya yang sudah ditradisikan sejak jaman dahulu dan sesuai dengan ajaran agama. Upacara dilaksanakan untuk memberikan gelar Maharajadiraja kepada raja yang diang- gap pantas menyandangnya. Sesuai tradisi, dalam upacara itu penghormatan utama harus diberikan kepada tamu yang dianggap paling layak menerimanya, diikuti tamu- tamu lainnya, sesuai keagungan, kekuasaan, kebijak-
sanaan dan kebajikan masing-masing.
Sebelum upacara dimulai, Pandawa, para penasihat Pandawa, dan semua raja yang diundang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang pantas mendapat penghor- matan tertinggi sebagai tamu utama dan bagaimana uru- tan penghormatan itu akan diberikan kepada tamu-tamu lainnya. Penentuan itu menimbulkan perbedaan pendapat dan perdebatan sengit. Setelah lama berdebat, Bhisma, kesatria tua dan penasihat Pandawa yang sangat disegani, berkata bahwa menurutnya Krishnalah yang paling pantas mendapat penghormatan utama. Yudhistira sependapat dengannya. Ia menyuruh Sahadewa menyiapkan segala keperluan upacara dengan penghormatan utama untuk Krishna.
Tiba-tiba Sisupala, Raja Chedi, yang sangat membenci Krishna bangkit dari tempat duduknya lalu berkata lan- tang sambil tertawa lebar, “Sungguh tidak adil. Tetapi aku
tidak heran. Orang yang mengharapkan nasihat dari orang lain pasti berasal dari kelahiran tidak sah.” Ia berkata demikian sambil menoleh ke arah Pandawa dengan acuh tak acuh.
Kemudian ia melanjutkan, “Demikian pula orang yang memberi nasihat. Meski ia berasal dari keturunan yang tinggi derajatnya, kemuliaannya semakin lama semakin merosot, begitu pula kebijaksanaannya.” Dengan pandang menghina ia menoleh ke arah Bhisma, putra Dewi Gangga.
Belum puas menghina Pandawa dan Bhisma, Sisupala melanjutkan, “Dengar kalian semua! Orang yang diberi kehormatan utama ini sesungguhnya berasal dari keluarga gila dan dibesarkan sebagai pengecut! Apakah ia pantas menerima kehormatan utama?!”
Hadirin diam, tertegun. Tak ada yang menjawab. Sisupala semakin lantang berteriak, “He, kalian semua!
Apakah kalian bisu? Tak beranikah kalian menyatakan pikiran sendiri? Pantas saja. Keputusan itu tidak sah kare- na diambil oleh orang-orang yang tidak terhormat.”
Beberapa raja yang hadir dalam sidang itu bertepuk tangan menyemangati Sisupala. Mendapat tanggapan seperti itu, Sisupala menjadi besar kepala. ia berkata lagi, kali ini kepada Yudhistira. “He, Yudhistira, lihatlah para raja yang hadir di sini. Tidak malukah engkau memberikan kehormatan utama kepada Krishna? Banyak raja yang lebih mulia dan lebih pantas menerimanya dibanding dia! Tidak memberikan kehormatan utama kepada orang yang layak atau memberikannya kepada orang yang tidak pantas menerimanya adalah salah besar! Engkau raja yang agung. Sungguh sayang jika engkau mengabaikan hal ini.”
Hati Sisupala semakin panas karena Yudhistira tidak menghiraukannya. Maka ia melanjutkan, “Tanpa menghi- raukan raja-raja dan para kesatria yang hadir di sini atas undanganmu, engkau akan berikan kehormatan utama kepada seorang pengecut yang tak punya malu. Ingat, sikapmu itu membuat para raja yang kau undang sakit hati. Basudewa, ayah Krishna, hanyalah salah satu budak
Raja Ugrasena. Ia tidak berdarah kesatria dan bukan keturunan raja-raja. Apakah kesempatan ini sengaja kau- gunakan untuk mempertunjukkan sikap berat sebelahmu kepada Krishna, anak Dewaki? Apa gunanya upacara ini bagi putra-putra Pandu?
“Hai putra-putra Pandu, kalian masih hijau, kurang terdidik dan belum berpengalaman. Kalian sama sekali tidak tahu tata cara persidangan raja-raja terhormat. Bhisma yang berjiwa lemah telah mempermainkan engkau.
“Hai, Yudhistira, mengapa engkau lancang memutuskan pemberian kehormatan utama tanpa bermusyawarah dulu dengan para raja yang masyhur dan terhormat? Krishna belum patut menjadi penasihatmu karena ia masih muda. Yang paling pantas sebenarnya adalah Drona, maha- gurumu. Dia juga hadir dalam persidangan ini. Apakah menurutmu Krishna yang paling mumpuni dalam upacara keagamaan dan karenanya engkau pilih dia? Itu tidak mungkin, sebab Bhagawan Wyasa hadir di sini. Masih lebih baik jika kauberikan kehormatan utama kepada Bhisma. Walaupun lemah hati, ia adalah sesepuh keluar- gamu. Atau ... kepada Mahaguru Kripa, guru seluruh kelu- argamu, yang juga hadir di sini. Lalu ... Aswatthama, pahlawan dan ahli kitab suci, juga hadir di sini. Mengapa engkau pilih Krishna dan melupakan yang lain?”
Sisupala semakin bernafsu, bicaranya semakin lantang, “Putra mahkota Duryodhana juga hadir di sini. Begitu pula Karna. Tapi mereka tidak engkau pilih. Dengan memilih Krishna yang bukan keturunan raja, bukan pahlawan, tidak terpelajar, tidak suci, belum berpengalaman, dan pengecut, engkau merendahkan derajat semua raja dan putra mahkota yang hadir di sini.”
Ia memandang para raja lalu melanjutkan, “Wahai Raja- Raja yang saya muliakan, saya bicara bukan karena tidak setuju Yudhistira bergelar Maharajadiraja. Saya tidak peduli apakah ia musuh atau kawan. Tetapi, karena banyak mendengar tentang keluhuran budinya, kita ingin melihat apakah ia bisa memegang teguh panji dharma yang
kita muliakan. Lihatlah, dengan sengaja ia menghina kita. Apakah sikapnya itu selaras dengan keluhuran budinya yang termasyhur? Tahukah kalian bagaimana dengan liciknya Krishna membantu Bhima membunuh Jarasan- dha? Menurutku Yudhistira sebenarnya rendah budi, sama dengan penasihatnya yang licik dan pengecut.”
Sampai di sini ia berhenti sebentar. Kemudian dia me- mandang Krishna lalu meneruskan kata-katanya dengan berapi-api, “Alangkah pongahnya engkau, mau menerima kehormatan yang tidak pantas bagimu dari Pandawa yang tidak mengerti tatakrama! Apa kau sudah lupa diri? Apa kau tidak tahu tatakrama? Atau kau tidak bisa melihat bahwa upacara ini hanyalah sandiwara untuk memper- malukan dirimu? Apa kau tidak mengerti bahwa penghor- matan yang akan kauterima pada hakikatnya seperti kotoran yang dilemparkan ke wajahmu? Tak ada gunanya; seperti memperlihatkan barang-barang indah kepada orang buta. Sekarang terbukti bahwa Yudhistira, Bhisma dan Krishna berasal dari kelahiran yang sama.”
Setelah puas memaki-maki, Sisupala mengajak para raja dan pangeran meninggalkan persidangan. Banyak yang mengikuti jejaknya. Yudhistira, sebagai tuan rumah, mencoba menenangkan suasana dengan kata-kata santun dan sikap sabar. Ia memohon agar para raja tenang dan duduk kembali. Tetapi usahanya sia-sia, karena mereka sangat marah.
Sementara itu, Krishna tidak tinggal diam. Ia tidak terima dihina dan dipermalukan di hadapan para tamu. Ia bangkit berdiri lalu dengan cepat menghalangi Sisupala dan para pengikutnya. Pertarungan tidak bisa dihindar- kan. Sesuai adat para kesatria, Krishna dan Sisupala bertarung satu lawan satu. Setelah bertarung sengit, Sisupala tewas. Melihat itu, para raja yang lain tidak berani berhadapan dengan Krishna. Mereka mengurung- kan niatnya dan kembali duduk di balai persidangan.
Akhirnya, setelah segala sesuatunya siap, upacara raja- suya dilangsungkan dengan megah dan meriah, sesuai
rencana semula. Dalam upacara itu Yudhistira diberi gelar dan diakui sebagai Maharajadiraja.
Bersambung...