Sebelumnya...
Kaum brahmana yang dulu bersama-sama Yudhistira di Indraprastha setia menyertainya dalam pengasingan di hutan. Tidak mudah mengatur dan membiayai rombongan yang sangat besar itu. Resi Lomasa menasihati Yudhistira agar memperkecil rombongannya supaya pengembaraan lebih lancar, terutama ketika berziarah ke tempat-tempat suci di hutan. Atas saran tersebut, Yudhistira memberi tahu pengikut-pengikutnya bahwa mereka yang tidak biasa menghadapi kesulitan dan mengikutinya hanya karena berbela rasa, sebaiknya kembali ke Negeri Astina yang diperintah Raja Dritarastra atau ke Negeri Panchala yang diperintah Raja Drupada. Selanjutnya, Yudhistira me- nyerahkan sepenuhnya kepada para pengikutnya cara apa yang mereka anggap paling baik dan sesuai dengan ke-sanggupan mereka.
Dalam pengembaraan dari satu tempat suci ke tempat suci lainnya di dalam hutan, Pandawa mendengar, melihat, dan mengalami berbagai keadaan dan situasi yang mem- buat mereka yakin bahwa masa depan mereka akan baik.
Sebagai suri teladan, Resi Lomasa menceritakan kisah Resi Agastya kepada mereka,
“Pada suatu hari, Agastya melihat roh manusia berdiri terbalik, kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Karena anehnya, ia bertanya kepada makhluk itu dan dijawab bahwa makhluk itu adalah nenek moyangnya sendiri yang telah meninggal dunia. Ia mengalami nasib demikian kare-na keturunannya tidak mau kawin dan tidak punya anak yang wajib mengadakan upacara-upacara persembah- yangan untuk roh nenek moyang. Mendengar hal itu, Agastya langsung memutuskan untuk kawin.
“Terkisahlah bahwa raja Widarbha tidak punya anak. Raja itu kemudian memohon restu kepada Resi Agastya agar ia dikaruniai anak. Pada waktu memberikan restu, Agastya mengucapkan kutuk-pastu, yaitu: jika anak yang lahir perempuan, anak itu harus diserahkan kepadanya untuk dikawini.
“Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang putri jelita yang kemudian diberi nama Dewi Lopamudra. Semakin dewasa semakin sempurnalah kecantikannya. Dewi Lopamudra termasyhur di kalangan para kesatria, tapi tidak seorang pun berani mendekatinya karena takut pada Resi Agastya.
“Pada suatu hari, Resi Agastya datang ke istana Raja Widarbha untuk menagih janjinya. Tetapi Raja Widarbha keberatan. Dia tak mau menyerahkan putrinya yang cantik itu kepada resi tua yang hidup menyendiri di dalam hutan. Raja cemas kalau-kalau kutuk-pastu sang Resi akan menjadi kenyataan. Mengetahui kecemasan dan kesedihan orangtuanya, Dewi Lopamudra justru menyatakan keingi- nannya untuk kawin dengan resi itu.
“Setelah disepakati, perkawinan dilangsungkan sebagai- mana mestinya. Sebelum memboyong istrinya ke hutan, Resi Agastya menyuruh Dewi Lopamudra melepas semua perhiasannya dan mengganti pakaiannya yang mewah dan mahal. Istrinya harus bersedia hidup sederhana sesuai kebiasaan para resi yang tinggal dalam asrama di hutan. Dewi Lopamudra membagi-bagikan semua perhiasan dan pakaiannya kepada teman-teman dan para pelayannya, kemudian mengenakan pakaian dari kulit kayu.
“Demikianlah, Resi Agastya dan Dewi Lopamudra hidup bahagia di pertapaan di hutan Ganggadwara. Mereka saling mengasihi dan selalu tampak mesra.
“Pada suatu hari, karena perasaan cintanya yang melu- ap-luap, Dewi Lopamudra tak bisa menahan perasaannya.
Ia meminta kepada Resi Agastya agar sekali-sekali mereka menikmati kemewahan.
“‘Aku ingin sekali kita tidur di tilam kerajaan yang empuk, mengenakan jubah indah dan memakai perhiasan seperti waktu aku di rumah orangtuaku.’
“Agastya menjawab, ‘Aku tidak punya kekayaan apa- apa, karena sekarang kita hidup di hutan sebagai peminta- minta.’
“Lopamudra menyarankan agar Agastya menggunakan kekuatan gaib yogi-nya untuk memperoleh apa yang di- inginkannya. Tetapi Agastya tidak setuju, karena kekayaan yang diperoleh dengan jalan demikian tidak akan kekal. Setelah berdebat lama, mereka sepakat untuk pergi me- minta-minta kepada raja-raja kaya dengan harapan kelak mereka bisa hidup enak.
“Mereka menghadap seorang raja yang terkenal kaya raya.
“Agastya berkata, ‘Tuanku Raja, aku datang untuk memohon harta. Berilah aku yang dapat diberikan, tanpa menyebabkan kekurangan atau kehilangan bagi orang lain.’
“Raja itu memperlihatkan catatan pendapatan kerajaan kepada Agastya dan mempersilakan sang Resi mengambil apa yang diperlukannya dan kelebihan yang ada. Ternyata Resi Agastya tahu bahwa antara pendapatan dan pengelu- aran kerajaan itu tidak ada sisanya. Ia kemudian pergi meminta-minta ke negeri lain. Ternyata negeri itu menga- lami kekurangan karena rajanya mengeluarkan lebih banyak uang daripada jumlah pendapatan dari upeti yang dipungut atas rakyat.
“Tanpa putus harapan, Agastya pergi ke negeri-negeri lain. Di sana ia menjumpai keadaan yang tidak banyak berbeda. Ia berkata pada dirinya sendiri, ‘Untuk mendapat sedekah dari seorang raja saja aku membuat rakyat harus memikul beban berat. Karena itu, aku akan meminta di tempat lain dengan cara lain.’
“Demikianlah Agastya banyak mengetahui keadaan ke-uangan suatu kerajaan. Ia menyimpulkan bahwa menurut pekerti luhur, seorang raja tidak boleh menarik upeti dari rakyatnya secara sewenang-wenang, melebihi kebutuhan pengeluaran untuk kepentingan umum yang sebenarnya. Dan siapa pun yang menerima pemberian hadiah atau sebangsanya dari hasil pungutan upeti rakyat, itu berarti dia telah menambah beban rakyat. Sungguh tidak adil. Itu sebabnya Agastya memutuskan untuk menemui raksasa Ilwala yang terkenal jahat dan kaya raya, untuk mencoba meminta-minta.
“Mula-mula Ilwala dan Watapi, saudaranya, berniat membunuh Agastya karena mereka membenci kaum brahmana. Selama ini, mereka selalu membunuh setiap brahmana yang datang menemui mereka. Tetapi Agastya adalah seorang brahmana yang sakti. Ketika tahu itu, Ilwala sangat takut dan segera memenuhi permintaannya. Agastya mendapatkan apa yang diinginkan istrinya dan keduanya hidup bahagia.”
Demikianlah cerita Resi Lomasa kepada Yudhistira yang intinya merupakan pelajaran tentang bagaimana seharus- nya mengurus harta kerajaan yang merupakan hasil pungutan upeti dari rakyat. Harta kerajaan harus diguna- kan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
Selanjutnya Resi Lomasa berkata, “Di lain pihak, sung- guh salah jika kita berpikir bahwa seseorang dapat dengan mudah hidup suci sebagai brahmacharin jika ia dibesarkan dalam lingkungan yang sama sekali tidak mengajarkan pengetahuan akan kenikmatan duniawi dan kenikmatan olah asmara.”
Ia melanjutkan, “Kebajikan yang dituntun oleh ketidak- tahuan tidaklah meyakinkan.”
Resi Lomasa lalu bercerita tentang Negeri Angga yang pernah mengalami bahaya kelaparan yang mengerikan.
“Romapada, raja negeri Angga, sangat cemas karena negerinya dilanda bencana alam. Panen gagal, tumbuh- tumbuhan kering, hujan tidak turun-turun, ternak mati dan di mana-mana rakyat menderita kelaparan. Sungguh sengsara. Romapada memanggil semua brahmana di nege- rinya untuk dimintai nasihat tentang cara mengatasi bencana yang mengerikan itu. Para brahmana menyaran- kan agar Raja memanggil Resi Risyasringga yang masih muda, putra Resi Wibhandaka yang masyhur. Resi Risya- sringga telah menjalani kehidupan yang suci sempurna dan karena tapanya yang lama tanpa putus, ia sanggup memanggil hujan yang akan menyuburkan tanah. Sepanjang hidupnya, resi muda itu selalu bertapa di samping ayahnya dan sama sekali belum pernah melihat manusia lain, laki-laki atau perempuan, selain ayahnya.
“Bersama para penasihatnya, Romapada merundingkan cara untuk memanggil Risyasringga. Atas nasihat mereka, Romapada mengumpulkan beberapa perempuan penggoda dan menugaskan mereka untuk membawa resi itu ke ibu- kota Angga.
“Mula-mula perempuan-perempuan penggoda itu takut kepada raja yang berkuasa itu dan kepada Resi Wibhan- daka yang sakti. Tetapi setelah diberi penjelasan, mereka menerima tugas itu dengan senang hati karena keberha- silan mereka adalah demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kemudian mereka membangun taman indah yang ditanami pohon-pohon rindang dan dilengkapi dengan pertapaan di tengahnya. Taman buatan itu dibangun di tepi sebuah sungai besar yang jernih airnya, yang di hulunya mengalir melewati pertapaan Resi Wibhandaka. Sebuah perahu mereka labuhkan di tepi sungai, dekat pertapaan itu.
“Pada suatu hari, ketika Resi Wibhandaka sedang pergi, salah seorang perempuan yang cantik itu mengayuh pera- hu dan melabuhkannya di tepian pertapaan. Ia menemui Risyasringga sambil memberi salam sesuai adat seorang resi bila bertemu resi lainnya.
“Seumur hidup Risyasringga belum pernah melihat perempuan cantik dan bersuara merdu. Ia mengira perem- puan itu seorang brahmacharin. Ia bertanya, ‘Rupanya engkau seorang brahmacharin yang halus dan cemerlang. Siapakah engkau, di mana pertapaanmu, dan ajaran suci apa yang engkau pelajari? Aku menyembah kepadamu.’ Kemudian, sesuai adat, ia menyerahkan buah-buahan sebagai persembahan kepada seorang resi yang bertamu.
“Perempuan itu berkata bahwa pertapaannya tak jauh dari situ, di pinggir sungai yang sama. Karena kuatir kalau-kalau Resi Wibhandaka cepat kembali, perempuan itu segera mempersembahkan buah-buahan yang ranum, minum-minuman yang manis dan kalung bunga yang harum kepada Risyasringga. Sambil membelai dan meme- luk resi itu, perempuan itu berkata bahwa begitulah yang ditradisikan bila seorang resi bertemu dengan resi lain yang seajaran.
“Risyasringga tidak keberatan. Ia justru berpendapat bahwa cara itu memberinya kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Kesucian pikirannya ternoda. Ia tak kuasa menahan gejolak nafsunya menghadapi perempuan itu. Tanpa berpikir panjang, ia mengundang brahmacharin cantik itu untuk datang lagi mengunjunginya.
“Ketika kembali, Resi Wibhandaka sangat kaget melihat suasana pertapaan yang tidak seperti biasanya. Rumput dan semak-semak bunga terlihat habis diinjak-injak, sisa- sisa makanan berserakan, wangi kalung bunga menyusupi hidungnya, dan wajah putranya tampak aneh. Ia bertanya, apa yang telah terjadi. Risyasringga bercerita bahwa ia dikunjungi seorang brahmacharin yang wujud tubuhnya luar biasa indah. Brahmacharin itu memberi salam dengan cara memeluk dan membelainya, membuat sekujur tubuh- nya merasakan kenikmatan tak terkira. Dengan lugu Risyasringga berkata bahwa ia ingin sekali bertemu lagi dengan brahmacharin itu dan merasakan kembali kelem- butan belaiannya.
“Mendengar cerita anaknya, Resi Wibhandaka langsung mengerti apa yang telah terjadi. Dalam hati ia sangat marah, tetapi kepada putranya ia berkata, ‘Anakku, yang datang mengunjungimu bukanlah brahmacharin melainkan makhluk jahat yang sangat berbahaya. Ia sengaja menipu- mu dan berniat menodai pertapaan kita. Jangan biarkan ia datang lagi.’
“Tiga hari tiga malam Wibhandaka berusaha mencari perempuan yang telah menggoda anaknya, tetapi sia-sia belaka.
“Pada kesempatan lain, ketika Resi Wibhandaka sedang mengadakan perjalanan, perempuan itu datang lagi. Meli- hat Risyasringga hanya sendirian, ia berlari mendekati dan tanpa menunggu-nunggu lagi mengajak resi itu pergi sebe- lum ayahnya kembali. Inilah kesempatan yang ditunggu- tunggu oleh perempuan-perempuan penggoda yang meng- emban tugas dari Raja Romapada. Segera setelah resi muda itu masuk ke dalam perahu, sauh diangkat dan perahu dikayuh ke hilir, menuju ibukota Negeri Angga. Di sana, resi itu diterima dengan upacara kehormatan oleh Raja Romapada dan dipersilakan beristirahat di tempat yang sudah disediakan di dalam lingkungan istana.
“Berkat kehadiran Risyasringga, hujan mulai turun di wilayah Kerajaan Angga. Danau dan telaga mulai berisi air, sungai mengalir deras menyuburkan tanah, binatang mendapat makanan cukup dan pepohonan mulai bersemi kembali. Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Romapada menyerahkan Dewi Santa, putrinya, untuk diperistri oleh Risyasringga.
“Untuk menghindari kemurkaan Resi Wibhandaka, Raja Romapada mengerahkan berpuluh-puluh gembala sapi. Mereka disebar ke mana-mana, terutama di sekitar jalan- jalan yang mungkin akan dilalui Resi Wibhandaka. Jika bertemu dengan resi itu, mereka harus berkata bahwa mereka adalah gembala yang menggembalakan ratusan sapi milik Risyasringga.
“Sementara itu, dengan perasaan cemas dan geram Resi Wibhandaka meninggalkan pertapaan untuk mencari putranya. Ia menjelajahi segala penjuru hutan, tetapi tidak juga menemukan putranya. Kemudian ia keluar dari hutan, menjelajahi ladang-ladang dan pedesaan. Ia heran melihat puluhan gembala sedang menggembalakan sapi- sapi yang tambun dan sehat. Para gembala itu berkata bahwa sapi-sapi itu milik Risyasringga. Karena berkali-kali mendengar jawaban yang sama di mana-mana, lambat laun amarah Wibhandaka berkurang.
“Akhirnya ia sampai ke ibukota Negeri Angga. Timbul rasa ingin tahunya, apakah anaknya ada di ibukota itu. Di depan istana, tanpa disangka-sangka, ia disambut dengan upacara kebesaran, bahkan Raja Romapada sendiri yang mengantarkannya ke puri tempat tinggal putranya. Akhirnya ia dapat bertemu dengan Risyasringga yang telah menyunting Dewi Santa yang cantik. Sang Resi lega dan senang setelah mengetahui bahwa putranya hidup bahagia sebagai menantu Raja dan dengan kesaktiannya telah menghindarkan rakyat Negeri Angga dari bencana kelaparan.
“Ia merestui anaknya dan berkata, ‘Teruslah berbuat kebajikan untuk menyenangkan hati Raja Romapada yang mencintai rakyatnya. Setelah engkau punya anak laki-laki, kembalilah ke dalam hutan dan temani ayahmu.’
“Resi muda itu menaati perintah ayahnya.”
Resi Lomasa mengakhiri ceritanya dengan kata-kata demikian, “Seperti halnya Damayanti dan Nala, Sita dan Rama, Arundhati dan Wasistha, Lopamudra dan Agastya, Santa dan Risyasringga, engkau dan Draupadi pun ditak- dirkan untuk hidup mengembara di dalam hutan selama waktu yang telah ditentukan. Hiduplah dengan penuh cin- ta kasih, saling menyayangi, dan selalu menjalankan dharma. Tempat ini adalah bekas pertapaan Risyasringga. Mandilah dalam kolam ini dan sucikan dirimu.”
Mengikuti anjuran Resi Lomasa, Pandawa mandi dan menyucikan diri dalam kolam itu. Setelah membersihkan dan merapikan diri, mereka bersembahyang memuja dewata.
***
Dalam pengembaraannya, Pandawa sampai ke pertapaan Resi Raibhya di tepi Sungai Gangga. Mereka berhenti, membersihkan diri dan melakukan upacara pemujaan, lalu beristirahat. Resi Lomasa bercerita tentang riwayat perta- paan itu.
“Yawakrida, anak seorang resi, menemui ajalnya di sini. Beginilah kisah hidupnya....
“Resi Raibhya dan Resi Bharadwaja adalah dua brah- mana yang bersahabat dan pertapaannya berdampingan.
“Raibhya punya dua anak laki-laki, namanya Parawasu dan Arwawasu, sedangkan Bharadwaja punya satu anak laki-laki, namanya Yawakrida.
“Kedua anak Raibhya mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh hingga mereka menjadi orang suci yang termasyhur. Melihat itu, Yawakrida iri dan benci kepada mereka. Ia tidak mematuhi nasihat ayahnya. Untuk melampiaskan rasa iri dan kebencian hatinya, ia menyiksa diri dengan bersamadi dan bertapa berbulan- bulan, tanpa makan tanpa minum. Ia ingin mendapat karunia kesaktian. Mengetahui itu, Batara Indra merasa iba. Ia mendatangi Yawakrida. Batara Indra menasihati Yawakrida agar tidak menyiksa diri seperti itu.
“Yawakrida menjawab, ‘Aku ingin menguasai kitab-kitab suci Weda, melebihi mereka yang telah mempelajarinya. Aku ingin menjadi mahaguru tentang kitab-kitab suci itu. Sebab itu, aku lakukan semua ini agar cita-citaku lekas tercapai. Bagiku, belajar dari seorang guru membutuhkan waktu lama. Aku rajin berpuasa dan bersamadi, agar pengetahuan itu langsung kuterima, tanpa perlu berguru. Restuilah aku!’
“Batara Indra tersenyum seraya berkata, ‘Wahai Brah- mana, engkau berada di jalan yang salah. Pulanglah eng- kau! Carilah seorang guru yang baik dan pelajarilah kitab- kitab Weda darinya. Menyiksa diri bukan cara benar untuk belajar. Cara belajar yang benar adalah dengan bertekun mempelajari sesuatu.’ Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang.
“Yawakrida tidak mengindahkan nasihat itu. Ia terus menyiksa diri. Batara Indra muncul lagi, memberinya peri- ngatan. ‘Engkau memilih jalan salah untuk memperoleh ilmu. Untuk memperoleh ilmu, satu-satunya jalan adalah belajar. Ayahmu mempelajari kitab-kitab suci Weda de- ngan sabar dan berhasil. Yakinlah, kau pun pasti bisa. Berhentilah menyiksa dirimu.’
“Yawakrida tetap tidak mengindahkan nasihat Batara Indra. Malahan ia berkata, jika puasa dan semadinya tidak dikabulkan, ia akan memotong kaki dan tangannya untuk dijadikan sesaji dalam upacara persembahyangan.
“Pada suatu hari, ketika hendak menyucikan diri di Sungai Gangga sebelum mulai bersemadi, ia melihat seorang lelaki tua sedang bekerja keras melemparkan pasir ke dalam sungai dengan kedua tangannya. Yawakrida bertanya, ‘Wahai Pak Tua, apa yang sedang kaukerjakan?’ Lelaki tua itu menjawab, ‘Aku hendak membendung sungai ini. Jika aku bisa membangun bendungan dengan cara ini, orang akan bisa menyeberangi sungai ini dengan mudah. Tahukah engkau bahwa tidak mudah menyeberangi Sungai Gangga. Bukankah membuat bendungan suatu pekerjaan yang mulia?’
“Yawakrida tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia berkata, ‘Rupanya engkau sudah gila! Engkau pikir, de- ngan melempar-lemparkan pasir —dengan kedua tangan- mu yang rapuh— engkau akan bisa membendung arus sungai yang perkasa ini? Bangkitlah dan carilah pekerjaan yang lebih berguna!’
“Orang tua itu menjawab, ‘Apakah pekerjaanku ini lebih gila daripada perbuatanmu menyiksa diri karena ingin me- nguasai kitab-kitab suci Weda tanpa berguru? Bukankah engkau enggan belajar dengan sabar dan tekun?’
“Maka, tahulah Yawakrida bahwa orang tua itu tak lain adalah Batara Indra. Ia segera menjatuhkan diri, bersujud dan memohon agar Batara Indra berkenan menganugerah- kan pastu kepadanya. Batara Indra mengabulkan permin- taannya dengan syarat Yawakrida harus mempelajari kitab-kitab suci Weda sebagaimana mestinya.
“Sejak itu, Yawakrida mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-sungguh dan berhasil mengua- sainya dalam waktu singkat. Sayangnya, ia berjiwa lemah. Ia mengira, kemampuannya mempelajari kitab-kitab Weda dengan cepat itu bukan karena pertolongan gurunya, mela- inkan karena anugerah pastu Batara Indra. Ia menjadi sombong.
“Resi Bharadwaja, ayahnya, yang mengetahui hal itu segera menasihatinya, ‘Jangan biarkan dirimu terjebak dalam perangkap iri dan tinggi hati. Usahakan membatasi diri, jangan melampaui batas-batas kesopanan. Jangan bersikap congkak terhadap orang yang lebih tua seperti Resi Raibhya.’
“Musim semi tiba. Pohon-pohon bertunas, bunga-bunga mekar semerbak mewangi, hamparan padang rumput terli- hat hijau segar. Ke mana mata memandang, yang tampak adalah keindahan. Binatang-binatang di hutan, burung- burung di angkasa, ikan di sungai dan telaga, semua gem- bira menyambut datangnya musim semi yang gemilang.
“Dalam suasana yang indah itu, istri Parawasu yang cantik dan muda belia berjalan-jalan di luar pertapaan sambil memetik bunga-bunga dan bersenandung merdu. Di tengah keindahan alam, kecantikannya semakin tampak cemerlang. Yawakrida yang kebetulan lewat di situ, melihatnya dan terpikat oleh kecantikannya. Ia berhenti dan memandangi wanita itu dengan penuh gairah. Lama- lama ia tak dapat menahan gejolak berahinya. Disambar- nya putri itu lalu diseretnya ke balik semak-semak. Di sana, dengan kasar ia melampiaskan nafsunya sepuas- puasnya.
“Resi Raibhya yang baru kembali ke pertapaan melihat menantunya menangis tersedu-sedu. Setelah mengetahui apa yang terjadi, resi tua itu marah. Dicabutnya sehelai rambut dari kepalanya lalu dibakarnya dalam api pemuja- an sambil mengucapkan mantra. Seketika itu juga, dari rambut yang terbakar itu muncul makhluk halus berwujud seorang gadis cantik. Kemudian ia mencabut dan mem- bakar sehelai rambut lagi. Setelah mengucapkan mantra, muncullah makhluk halus berwujud raksasa perkasa bersenjata lembing. Resi Raibhya memerintahkan kedua makhluk halus itu untuk membunuh Yawakrida.
“Keesokan paginya, ketika sedang mengisi kendinya dengan air, Yawakrida melihat seorang gadis cantik tiba- tiba muncul di hadapannya. Gerak-geriknya sungguh menawan hati. Ia terlengah sesaat dan secepat kilat makh- luk cantik itu merampas kendinya yang sudah diisi air untuk menyucikan diri. Yawakrida beranjak, hendak me- ngejarnya, tetapi dihalangi oleh raksasa perkasa bersenjata lembing. Yawakrida sangat ketakutan. Sadar bahwa ia tak bisa mengucapkan mantra sebelum menyucikan diri, Yawakrida lari ke tepi telaga. Tetapi telaga itu kering. Ia lari ke tepi sungai, tetapi sungai itu juga kering. Ia terus berlari mencari air. Ke mana pun ia lari, raksasa itu terus menge- jarnya. Akhirnya ia tidak bisa berlari lagi. Tubuhnya yang letih jatuh terguling di tanah. Raksasa itu mendekat dan menancapkan lembingnya. Tamatlah riwayat Yawakrida.
“Bharadwaja mengetahui hal itu. Ia sedih dan marah karena kematian putranya. Dalam keadaan marah, ia melancarkan kutuk-pastu ke arah Resi Raibhya: kelak resi itu akan mati di tangan salah satu anaknya. Tetapi setelah mengucapkannya, Resi Bharadwaja menyesal. Ia sadar, putranya memang bersalah. Akhirnya, dalam upacara pembakaran mayat putranya, Bharadwaja terjun ke dalam api dan musnah bersama anaknya. Demikianlah, roh Yawakrida dan Bharadwaja bersama-sama kembali ke alam baka yang tenang dan damai.”
Resi Lomasa berkata, “Inilah bekas pertapaan Resi Raibhya yang kuceritakan tadi. Wahai Yudhistira, dari sini naiklah ke gunung. Bila engkau telah sampai ke pun- caknya, segala mendung yang menutupi hidupmu akan lenyap. Gunung itu adalah gunung suci! Amarah dan nafsumu akan tercuci bersih jika engkau mandi di sungai ini. Mandilah dan sucikan dirimu.”
Demikianlah Resi Lomasa menutup kisahnya tentang puasa dan samadi yang tidak berguna karena didasari niat untuk mencapai tujuan yang tidak pantas.
Kemudian Resi Lomasa melanjutkan ceritanya.
“Dalam soal keagamaan, Raja Brihadyumna adalah pengikut setia Resi Raibhya. Pada suatu hari ia ingin mengadakan upacara persembahyangan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ia memin- ta Resi Raibhya agar mengirimkan Parawasu dan Arwawa- su ke istana untuk memimpin upacara tersebut. Permin- taan itu dikabulkan dan Resi Raibhya memberi petunjuk seperlunya kepada kedua putranya. Ketika persiapan sedang dikerjakan, malam harinya Parawasu kembali ke pertapaan hendak menemani istrinya yang menginap di rumah ayahnya.
“Saat itu tengah malam. Suasana gelap. Tiba-tiba ia melihat satu sosok berjalan membungkuk-bungkuk di tepi mata air, seakan-akan sedang mengintai mangsa. Tanpa berpikir panjang atau melihat lebih jelas, ia membidikkan lembingnya dan melemparkannya ke arah sosok itu. Crap! Tepat mengenai sasaran. Sesaat kemudian terdengar teria- kan mengaduh. Ia mendekat. Dan ... alangkah terkejutnya Parawasu ketika sosok yang diserangnya ternyata ayahnya sendiri. Ketika itu ayahnya mengenakan pakaian dari kulit menjangan. Ia pergi ke mata air malam-malam untuk menimba air. Sebelum meninggal, Resi Raibhya sempat menceritakan kutuk-pastu yang dilancarkan Resi Bharad- waja kepadanya.
“Parawasu segera menemui Arwawasu dan mencerita- kan peristiwa sedih itu. Ia berkata, ‘Kejadian ini hendaknya jangan sampai menghalangi upacara persembahyangan. Lakukan upacara pembakaran jenazah atas namaku, seba- gai pengganti dosa yang telah kuperbuat tanpa sengaja. Pengampunan bagi dosa-dosa yang dilakukan tanpa sengaja adalah dibenarkan. Sementara engkau menggan- tikan aku dan memohonkan ampun untuk dosaku kepada Ayah, aku akan memimpin upacara permohonan kemak-muran dan kesejahteraan bagi rakyat negeri ini tanpa perlu kau bantu. Tapi... engkau takkan bisa memimpin upacara itu sendiri tanpa bantuanku.’
“Arwawasu yang suci dan berbudi luhur menuruti kata saudaranya. Ia melakukan upacara pembakaran jenazah ayahnya, bersembahyang atas nama saudaranya dan mela- kukan tapa untuk menyucikan diri atas namanya sendiri dan saudaranya, Parawasu. Setelah upacara selesai, ia me- nyusul saudaranya ke istana Raja Brihadyumna.
“Tetapi Parawasu terkutuk oleh dosanya sendiri. Ternyata ia mempunyai maksud jahat dan pertimbangan lain. Ia lupa bahwa dosa tidak bisa ditebus orang lain. Mewakilkan penebusan dosa kepada orang lain sama dengan menyuruh orang lain memikulkan dosa kita dan itu berarti menambah dosanya sendiri. Melihat saudaranya yang lebih suci, bijaksana, dan berbudi luhur memasuki ruangan upacara, Parawasu mengucapkan penghinaan dan menuduh saudaranya telah membunuh seorang brah- mana. Katanya lantang, ‘Seorang pembunuh tidak boleh dibiarkan masuk agar tidak mengotori ruangan suci ini.’ Kepada para pengawal kerajaan Parawasu meminta agar saudaranya diusir keluar istana dengan alasan istana tak boleh dikotori oleh orang yang membawa dosa sebagai pembunuh seorang brahmana.
“Arwawasu menolak tuduhan itu dan berkata bahwa sesungguhnya Parawasu yang melakukan dosa itu tanpa sengaja. Ia juga berkata bahwa dirinya telah melakukan upacara penebusan atas nama saudaranya. Tetapi, tidak seorang pun mempercayai kata-katanya. Penyangkalannya itu justru memperburuk kesan orang akan dirinya. Atas perintah raja, ia diusir dengan kasar.
“Arwawasu yang dituduh membunuh ayahnya dan memberikan keterangan palsu, kembali ke dalam hutan dengan perasaan putus asa. Tidak adakah keadilan di dunia ini? Kemudian, dengan tekad yang bulat, ia mela- kukan tapa brata yang seberat-beratnya. Dalam tapa brata ia berusaha menyucikan pikirannya dari segala macam kejahatan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar jalan ayahnya dilapangkan di alam baka, terbebas dari belenggu karma dan pada gilirannya kembali manunggal dengan Hyang Widhi Yang Maha Kuasa. Kecuali itu dia mohon agar Parawasu, saudaranya, dibebaskan dari keja- hatan dan dosa yang telah dilakukannya.”
Resi Lomasa menutup kisah itu dengan berkata kepada Yudhistira, “Arwawasu dan Parawasu adalah dua brah- mana muda yang pandai dan terpelajar. Tetapi, untuk bisa berbuat kebajikan dan mempunyai budi luhur, orang harus berusaha selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk. Pengetahuan tentang baik-buruk harus benar-benar meresap dalam jiwa seseorang dan tercermin dalam perbuatannya sehari-hari. Hanya dengan jalan demikian seseorang dapat disebut bijaksana dan berbudi luhur. Pengetahuan yang kita peroleh hanya merupakan keterangan yang akan menimbuni pikiran kita dan membuat kita tidak bijaksana. Semua itu ibarat pakaian luar yang diperlihatkan kepada orang lain tetapi sesung- guhnya bukan bagian dari diri kita.”
***
Pandawa terus mengembara di dalam hutan, mengunjungi tempat-tempat suci, pertapaan dan bekas pertapaan. Pada suatu hari, mereka sampai di pertapaan Resi Uddalaka.
Menurut Resi Lomasa, Resi Uddalaka adalah seorang mahaguru ahli kitab-kitab Weda dan mendalami falsafah Wedanta. Pengikut dan muridnya banyak sekali. Salah satu di antara mereka bernama Kagola. Kagola adalah orang yang suci dan teguh imannya, tetapi kurang cerdas. Ia sering ditertawakan dan dipermainkan teman-temannya. Walaupun agak bodoh, mahagurunya tidak pernah putus asa dalam mendidiknya. Resi Uddalaka tertarik pada kelu- huran budi dan tabiat Kogala yang baik dan jujur. Ia ber- harap bisa menikahkan Sujata, putrinya, dengan Kagola jika putrinya itu sudah dewasa.
Resi Lomasa melanjutkan, “Sujata dan Kagola dianuge- rahi seorang anak laki-laki yang cerdas seperti kakeknya, Resi Uddalaka. Sejak kecil anak itu telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Sayangnya, anak itu bongkok dan badannya benjol-benjol. Ada delapan benjolan di tubuhnya.
“Konon, benjolan itu muncul karena Kagola salah meng- ucapkan mantra ketika anaknya masih dalam kandungan. Mendengar mantra yang salah, anak itu meronta-ronta. Kesalahan itu diulang sampai delapan kali. Akibatnya, bayi itu terlahir bongkok. Bayi itu kemudian dinamai Asta- wakra, artinya ‘delapan benjolan’.
“Pada suatu hari, Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta. Dalam perlombaaan itu ia berhadapan dengan Wandi, seorang ahli tafsir dari Negeri Mithila. Dalam acara perdebatan, ternyata Kagola tidak dapat menandingi Wandi. Karena malu, ia bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut. Kelak, kekalahan Kagola akan ditebus oleh anaknya.
“Astawakra tumbuh makin besar. Tubuhnya cacat, tetapi pikirannya cerdas luar biasa. Dia diasuh oleh Resi Uddalaka, kakeknya. Waktu umurnya dua belas tahun, ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab suci Weda dan tafsir Wedanta.
“Pada suatu hari ia mendengar berita bahwa Janaka, raja Negeri Mithila, akan mengadakan upacara besar. Dalam rangkaian upacara itu akan diadakan acara mabebasan, yaitu lomba membaca dan menafsirkan kitab- kitab Sastra. Para mahaguru, ahli-ahli pikir, dan ahli-ahli tafsir terkenal akan datang dari mana-mana. Astawakra ingin sekali ikut berlomba. Maka pergilah ia ke Negeri Mithila diantarkan pamannya, Swetaketu, yang sedikit lebih tua darinya.
“Dalam perjalanan menuju Negeri Mithila, mereka ber- papasan dengan rombongan Raja. Pengawal-pengawal raja memerintahkan agar orang-orang minggir, tetapi Astawa- kra malah berkata dengan berani, ‘Wahai pengawal kerajaan yang budiman, seorang raja yang adil dan bijak- sana akan memberi jalan kepada orang buta, orang cacat, para wanita, pembawa beban berat dan para brahmana, seperti diajarkan dalam kitab-kitab suci Weda.’
“Ketika mendengar kata-kata luhur itu, Raja menasihati para pengawalnya, ‘Apa kata brahmana itu benar. Api adalah api; kecil atau besar tetap punya kekuatan untuk membakar.’
“Tatkala Astawakra dan Swetaketu hendak memasuki ruangan upacara, mereka ditahan oleh penjaga pintu, karena anak-anak yang belum cukup umur dilarang masuk. Hanya mereka yang benar-benar ahli kitab-kitab suci Weda diperbolehkan masuk.
“Astawakra berkata, ‘Kami bukan anak-anak lagi. Kami telah bersumpah menjadi brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab suci Weda. Mereka yang telah mendalami tafsir Wedanta tidak akan menilai seseorang dari umur dan wajahnya.’
“Penjaga pintu itu membentak karena menganggap Astawakra masih bocah dan omong besar. Tetapi si bongkok Astawakra melawan, ‘Maksudmu, badanku ini bogel seperti labu tua yang tak ada isinya? Tinggi badan bukan ukuran untuk menilai dalamnya pengetahuan sese- orang, begitu pula usia. Biarkan aku masuk!’
“Tetapi penjaga pintu itu tetap melarang Astawakra untuk masuk. Mereka berbantah sengit.
“Rambut beruban bukan cerminan kematangan jiwa seseorang. Orang yang betul-betul matang jiwanya adalah orang yang telah mempelajari dan memahami Weda dan tafsir Wedanta, menguasai seluruh isinya dan meresapi inti ajarannya. Aku datang untuk menantang Wandi, sang ahli tafsir,” kata Astawakra.
“Kebetulan, saat itu Raja Janaka lewat dan mendengar perdebatan itu. Raja mengenali si bongkok dan bertanya, ‘Tahukah engkau bahwa Wandi, sang ahli pikir dan ahli tafsir, telah mengalahkan banyak ahli dan mahaguru di masa lampau. Di akhir perdebatan, mereka yang kalah menanggung malu. Ada yang menerjunkan diri ke laut karena tak tahan menanggung malu. Apakah itu tidak mengecutkan hatimu? Masih beranikah engkau mengikuti lomba ini?’
“Astawakra menjawab, ‘Wandi, si ahli tafsir, belum pernah menghadapi orang seperti aku. Ia menjadi sombong karena dapat dengan mudah mengalahkan orang-orang lain. Aku datang ke sini untuk membayar kekalahan ayah- ku. Riwayatnya kudengar dari ibuku. Aku yakin, Wandi pasti dapat kukalahkan. Ijinkan kami masuk dan mene- muinya.’
“Kemudian Astawakra menghadapi Wandi yang menjadi kebanggaan Negeri Mithila. Perlombaan dimulai. Mereka berdebat tentang hal yang paling muskil yang sudah diten- tukan sebelumnya. Perdebatan berlangsung seru, masing- masing mempertahankan pandangannya.
“Di akhir lomba, para ahli tafsir memutuskan bahwa kemenangan ada di tangan Astawakra. Wandi menderita kekalahan. Wandi menyembah Astawakra, kemudian pergi ke laut untuk menyerahkan diri kepada Baruna, sang Dewa Laut, yang menguasai seluruh perairan di dunia.”
Resi Lomasa berkata kepada Yudhistira, “Seorang anak tidak perlu sama dengan ayahnya. Seorang ayah yang lemah raganya bisa saja mempunyai anak yang kuat dan perkasa. Seorang ayah yang dungu bisa saja mempunyai anak yang sangat cerdas. Sungguh keliru menilai kebe- saran seseorang dari tinggi badan dan lanjut umurnya. Kenyataan luar dapat menipu, seperti halnya Kagola dan Astawakra.”
***
Dalam perjalanan berikutnya, Resi Lomasa bercerita ten- tang kisah cinta dan kesetiaan Sawitri kepada suaminya.
“Terkisahlah bahwa Raja Aswapati punya seorang putri yang cantik dan baik hati bernama Sawitri. Nama itu sesuai dengan nama satu nyanyian suci untuk upacara pemujaan. Setelah Sawitri cukup dewasa, Raja Aswapati membebaskan putrinya untuk memilih sendiri calon sua- minya. Sawitri senang karena maksud baik ayahnya. Sete- lah mendapat restu ayahnya, ia melakukan perjalanan ke negeri-negeri jauh, naik kereta emas, didampingi seorang panasihat tua kepercayaan ayahnya dan sejumlah pengawal.
“Dalam perjalanan itu ia singgah di berbagai negeri dan kerajaan. Sayangnya, setelah melihat banyak pangeran dan pemuda bangsawan, hati Sawitri tetap dingin. Tidak seorang pun membuatnya terpikat.
“Pada suatu hari, rombongan Sawitri sampai ke sebuah pertapaan di tepi hutan. Pertapaan itu milik Raja Dyumat- sena yang telah ditaklukkan musuh dan kehilangan kerajaannya. Kekalahan berat itu menyebabkan ia lekas menjadi tua dan buta. Ia mengundurkan diri dari kera- maian hidup di ibukota, pergi ke hutan, lalu menjalankan tapa brata ditemani istrinya dan putranya yang bernama Satyawan. Ia sendiri yang membangun pertapaan itu.
“Sawitri bertemu dengan Satyawan di dalam hutan. Hatinya langsung terpikat melihat pemuda itu, anak raja yang menjadi pertapa. Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke istana, Sawitri menghadap ayahnya untuk menceritakan pengalamannya.
“Raja Aswapati bertanya, ‘Anakku Sawitri, ceritakanlah. Siapa pemuda yang telah menawan hatimu?’
“Sawitri menjawab dengan tersipu-sipu, ‘Baiklah, Aya- handa. Ia putra Raja Dyumatsena yang telah kehilangan kekuasaan dan kerajaannya dan kini hidup sebagai per- tapa di hutan. Pemuda itu rajin membantu ayah-ibunya mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan dan buah- buahan untuk dimakan.’
“Setelah mendengar cerita putrinya, Raja Aswapati me- minta nasihat kepada Resi Narada. Resi itu berkata bahwa pilihan Sawitri membawa firasat yang menyedihkan. Kata- nya, ‘Dua belas bulan dari sekarang anak muda itu akan meninggal dunia.’
“Mendengar firasat buruk yang disampaikan Resi Narada, Aswapati segera menemui anaknya dan berkata, ‘Anakku Sawitri, anak muda itu akan menemui ajalnya dua belas bulan dari sekarang. Jika kau menikah dengan- nya, engkau akan segera menjadi janda. Pikirlah masak- masak! Batalkan pilihanmu, anakku sayang. Aku tidak tega melihat engkau menjadi janda dalam waktu begitu singkat.’
“Dengan hati mantap Sawitri menjawab, ‘Jangan Aya- handa risaukan hal itu. Jangan pula Ayahanda berharap aku mau kawin dengan orang lain dan mengorbankan pengabdian serta cintaku yang telah kuserahkan kepada Satyawan. Dialah pemuda pilihanku. Dalam hidup ini, se- orang perempuan hanya dipilih dan memilih sekali. Aku sudah menentukan pilihanku. Aku tidak akan mengingka- rinya.’
“Melihat kemantapan putrinya, sebagai ayah Raja Aswa- pati tak dapat berbuat apa-apa kecuali menikahkannya dengan pemuda pilihannya. Setelah upacara perkawinan usai, Sawitri mengikuti Satyawan masuk ke hutan untuk mengabdi pada mertuanya yang buta dan sudah tua.
“Sawitri tahu bahwa malapetaka akan menimpa suami- nya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa kepada Satyawan. Dengan tulus, ikhlas, dan rajin setiap hari Sawitri ikut suaminya menjelajahi hutan untuk mengumpulkan umbi- umbian, daun-daunan, dan buah-buahan untuk orangtua mereka. Demikianlah kehidupan mereka setiap hari.
“Menjelang hari yang telah diramalkan itu, Sawitri tekun berpuasa dan bersamadi. Ia melewatkan malam tanpa tidur. Sambil berurai air mata ia bersujud, memohon karunia kekuatan dari dewata. Pada hari terakhir hidup suaminya, sedikit pun Sawitri tidak bisa mengalihkan pandangannya dari suaminya.
“Hari itu, seperti biasa mereka pergi mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan, dan buah-buahan. Tiba-tiba Satyawan mengeluh dan berkata kepada Sawitri, ‘Kepalaku pening, panca indraku serasa berpusing, pandanganku kabur. Wahai Sawitri, kantuk yang luar biasa memberat- kan langkahku. Biarlah aku berhenti dan beristirahat sesaat.’
“Sawitri cemas, karena tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, ia terus berusaha menenangkan suaminya. Kata- nya, ‘Suamiku, jantung hatiku, baringkanlah kepalamu di pangkuanku.’
“Sesaat setelah Satyawan membaringkan kepalanya di pangkuan Sawitri, ia tertidur. Mula-mula badan dan kepa- lanya terasa bagai terbakar api, kemudian rasa panas itu berangsur reda dan berubah menjadi dingin. Sawitri me- meluk suaminya yang tak sadarkan diri sambil menangis tersedu-sedu.
“Di tengah hutan yang sunyi, Sawitri memeluk Satya- wan. Roh-roh kematian berdatangan, hendak mencabut nyawa Satyawan. Tetapi, berkat lingkaran api gaib yang mengelilingi Satyawan dan Sawitri, makhluk-makhluk pen- cabut nyawa itu tidak berani mendekat. Mereka berbalik dan pergi menghadap Batara Yama, Dewa Kematian, untuk melaporkan bahwa mereka gagal mencabut nyawa Satyawan.
“Batara Yama, Dewa Kematian, datang sendiri untuk mencabut nyawa Satyawan. Kepada Sawitri ia berkata, ‘Anakku, lepaskan raga yang telah mati itu. Ketahuilah, kematian pasti dialami semua makhluk hidup. Aku ini makhluk hidup yang mati pertama kali di dunia ini. Sejak itu setiap makhluk hidup harus mati. Mati adalah batas akhir hidup makhluk hidup.’
“Mendengar sabda sang Dewa Kematian, Sawitri rela melepaskan tubuh Satyawan yang sudah tidak bernyawa. Setelah mengambil nyawa Satyawan, Batara Yama pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi setiap kali melangkah maju, ia mendengar langkah orang mengikutinya dari bela- kang. Ia menoleh, dilihatnya Sawitri mengikutinya. Ia berkata, ‘Wahai anakku Sawitri, kenapa engkau mengikuti aku? Sudah ditakdirkan, setiap manusia pasti mati.’
“‘Aku tidak mengikuti engkau, Dewata,’ jawab Sawitri.
“Memang sudah suratan bagi kaum wanita; ia akan ikut ke mana pun cintanya membawanya. Dan hukum alam yang abadi tidak akan memisahkan laki-laki dari istrinya yang mencintainya dengan setia.
“Batara Yama berkata lagi, ‘Anakku, mintalah anugerah apa saja, kecuali jiwa suamimu.’
“Sawitri menjawab, ‘Kalau demikian, aku mohon agar mertuaku yang buta dapat melihat lagi dan hidup bahagia.’ “‘Permohonanmu kukabulkan, Anakku yang patuh dan setia,’ kata Batara Yama lalu meneruskan perjalanan mem- bawa nyawa Satyawan. Tetapi, kembali ia mendengar lang- kah-langkah kaki mengikutinya. Ia menoleh dan melihat Sawitri. ‘Anakku Sawitri, mengapa engkau masih juga mengikuti aku?’ tanyanya.
“‘Ya Dewata, aku tidak bisa berbuat lain selain ini. Aku sudah mencoba untuk pulang, tetapi jiwa dan ragaku selalu mengikuti suamiku. Jiwa suamiku telah kauambil, tetapi jiwaku selalu mengikutinya. Oh, Batara Yama, cabutlah juga jiwa dari ragaku ini. Bawalah jiwaku bersama jiwa suamiku,’ demikian jawab Sawitri.
“‘Sawitri yang setia dan berbudi, peganglah kata-kataku. Mintalah anugerah lagi, tetapi jangan jiwa suamimu,’ kata Dewa Kematian.
“‘Kalau begitu, aku mohon agar kekayaan dan kerajaan mertuaku dikembalikan kepadanya,’ jawab Sawitri.
“‘Anakku yang penuh kasih dan cinta, permintaanmu kukabulkan. Pulanglah, sebab manusia yang hidup tidak mungkin terus mengikuti Dewa Kematian,’ kata Batara Yama lalu meneruskan perjalanannya.
“Tetapi Sawitri yang setia tetap mengikuti suaminya yang telah mati. Batara Yama menoleh lagi, dan berkata, ‘Sawitri yang berhati luhur, jangan ikuti cintamu yang sia- sia.’
“Sawitri menjawab, ‘Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali mengikuti Engkau yang telah mengambil jiwa sua- miku tercinta.’
“‘Baiklah, Sawitri! Andaikata suamimu orang terkutuk penuh dosa dan harus masuk neraka, apakah engkau akan mengikutinya ke neraka?’ tanya Dewa Kematian.
“‘Dengan senang hati akan kuikuti dia, hidup atau mati, ke surga atau ke neraka,’ demikian jawab Sawitri.
“‘Anakku, engkau kurestui. Peganglah kata-kataku ini. Mintalah anugerah sekali lagi, tetapi ingat, yang sudah mati tak bisa dihidupkan lagi,’ kata Batara Yama.
“‘Kalau demikian, aku mohon berilah mertuaku seorang putra yang akan meneruskan kelangsungan kerajaannya. Ijinkan kerajaannya diwarisi oleh anak Satyawan,’ kata Sawitri.
“Batara Yama tersenyum mendengar permintaan Sawi- tri. Ia berkata, ‘Anakku, engkau akan memperoleh segala keinginanmu. Terimalah jiwa suamimu, ia akan bidup kembali. Ia akan menjadi ayah dan anak-anakmu kelak akan memerintah kerajaan kakeknya. Telah terbukti, cinta dapat mengalahkan kematian. Tak ada perempuan yang mencintai suaminya seperti engkau mencintai suamimu. Cintamu yang tulus dan sangat besar telah mengalahkan maut. Bahkan aku, sang Dewa Kematian, tidak berdaya melawan kekuatan cinta sejati yang bertakhta dalam jiwamu.’”
Demikianlah, Resi Lomasa menceritakan riwayat Sawitri kepada Yudhistira dalam salah satu perjalanan ziarahnya di dalam hutan. Sang Resi menekankan bahwa cinta dan kesetiaan seorang istri adalah harta paling berharga yang bisa dimiliki seorang lelaki.
Bersambung...