Sebelumnya...
Balarama dan Krishna mengunjungi tempat penga- singan Pandawa di hutan rimba. Melihat penderitaan Rajadiraja Yudhistira dan saudara-saudaranya, Balarama berkata kepada Krishna, “Wahai Krishna, agaknya keba- jikan dan kejahatan membuahkan hasil berlawanan dalam hidup ini. Sebab, Duryodhana yang jahat dan durhaka kini memerintah kerajaan dan selalu mengenakan pakaian kebesaran bersulam emas; sementara Yudhistira yang suci dan bijaksana mengembara di tengah hutan, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Melihat lenyapnya kekayaan dan kemakmuran seorang suci dan berbudi luhur bisa mem- buat manusia kehilangan kepercayaan kepada Dewata. Pujaan-pujaan di hadapan kita berasal dari kejahatan dan kebajikan di dunia.
“Bagaimana kelak Dritarastra mempertanggungjawab- kan perbuatannya dan bagaimana ia bisa membela diri waktu berhadapan dengan Dewa Kematian? Padahal, seluruh lembah, gunung dan bumi menangis menyaksikan nasib Pandawa yang tidak berdosa, sementara Draupadi, dengan karunia Dewa Agni, sang Dewa Api, ditakdirkan untuk hidup terlunta-lunta di dalam hutan!”
Satyaki yang ada di situ berkata, “Wahai Balarama, kini bukan saatnya untuk bersedih hati. Apa kita harus me- nunggu sampai Yudhistira meminta kita untuk membantu Pandawa? Semasa engkau, Krishna dan para kerabat lain, masih menikmati kejayaan seperti sekarang, kenapa kita biarkan Pandawa hidup tersia-sia di hutan? Mari kita kerahkan prajurit kita dan kita gempur Duryodhana. Dengan bantuan balatentara Wrisni, kita pasti bisa meng- hancurkan Kaurawa. Kalau tidak, apa gunanya ada tentara? Krishna dan engkau pasti bisa melakukan ini dengan mudah. Aku ingin sekali melumpuhkan senjata Karna dan memancung lehernya. Mari kita hancurkan Duryodhana dan sekutu-sekutunya.
“Jika Pandawa ingin memegang teguh janji mereka, kita serahkan kerajaan kepada Abhimanyu dan mereka boleh tinggal dalam hutan. Hal itu baik bagi mereka dan pantas bagi kita sebagai kaum kesatria.”
Dengan saksama Krishna mendengarkan kata-kata Satyaki. Kemudian ia berkata, “Apa yang kaukatakan itu benar. Tetapi Pandawa takkan sudi menerima uluran tangan orang lain. Mereka lebih suka berusaha sendiri. Draupadi, yang terlahir berdarah pahlawan, pasti tak mau mendengarkan ini. Yudhistira pasti takkan mau mening- galkan jalan kebenaran hanya demi rasa cinta atau takut. Setelah masa pengasingan yang ditetapkan habis, para raja dari Panchala, Kekaya, Chedi dan kita semua bisa menya- tukan semua balatentara kita untuk membantu Pandawa menaklukkan musuh.”
Mendengar kata-kata Krishna, Yudhistira tersenyum tanda mengerti lalu berkata, “Krishna tahu pikiran dan perasaanku. Kebenaran lebih besar daripada kekuatan atau kemakmuran, dan harus dipertahankan dengan apa pun juga, bukan dengan harta benda atau kerajaan. Bila Krishna menghendaki kita bertempur, kita siap! Wahai para kesatria keturunan Wrisni, kiranya kalian boleh pulang dulu. Kelak, jika waktunya sudah matang, kita pasti akan bertemu lagi.” Demikianlah, mereka kemudian berpisah.
Sementara itu, Arjuna belum juga kembali dari Gunung Himalaya. Dengan harap-harap cemas, Bhima menantikan kedatangan Arjuna. Ia tidak mendapat dukungan untuk menggunakan jalan kekerasan. Karena itu ia berkata kepada Yudhistira, “Engkau tahu bahwa kita tergantung kepada Arjuna. Ia telah lama pergi, dan kita tidak men- dengar apa-apa tentang dia. Andaikata kita kehilangan dia, tidak seorang pun, tidak juga Raja dari Panchala, atau Satyaki atau Krishna, dapat menolong kita. Aku tak sang- gup membayangkan bagaimana kalau kita kehilangan dia. Akibat permainan dadu gila itu, kesedihan dan penderitaan menimpa kita... sebaliknya, kekuatan justru tumbuh dan berkembang subur di pihak lawan!”
Bhima melanjutkan kata-katanya, “Tinggal dan me- ngembara di dalam hutan seperti ini bukanlah jalan kaum kesatria. Kita harus segera memanggil Arjuna. Lalu...
dengan bantuan Krishna kita umumkan perang terhadap anak-anak Dritarastra. Aku akan puas, jika Sakuni, Karna dan Duryodhana yang jahat mati. Kalau tugas ini sudah selesai dan kalau engkau memang menghendaki, engkau bisa kembali ke hutan dan hidup sebagai pertapa. Membu- nuh musuh dengan menggunakan siasat bukanlah dosa. Lebih-lebih jika musuh juga menggunakan siasat.
“Aku mendengar bahwa Atharwa Weda memuat mantra gaib yang dapat mengurangi dan mempersingkat waktu. Kalau bisa, dengan mantra itu kita peras tiga belas tahun menjadi tiga belas bulan. Cara ini pasti tidak dilarang dan engkau pasti mengijinkan aku membunuh Duryodhana pada bulan keempat belas.”
Mendengar kata-kata Bhima, Dharmaputra memeluk- nya dengan kasih sayang seorang saudara. Lalu..., untuk menahan ketidaksabaran Bhima, ia berkata, “Saudaraku tercinta, segera sesudah tiga belas tahun itu terlampaui, Arjuna dengan senjata Gandiwa dan engkau dengan gada- mu akan bertempur dan membunuh Duryodhana. Bersa- barlah sampai waktu itu tiba. Duryodhana dan pengikut- pengikutnya tidak mungkin akan terlepas dari semua ini, sebab mereka sudah terlanjur tenggelam dalam lumpur dosa dan khianat. Yakinlah engkau!”
Ketika mereka sedang bercakap-cakap demikian, mun- cullah seorang resi tua bernama Resi Brihadaswa. Sesuai tradisi, para kesatria itu menyambut sang Resi dengan penuh hormat. Setelah mempersilakan sang Resi duduk, Yudhistira bertanya, “Resi yang kuhormati, musuh kami berbuat curang dengan mengajak kami bermain dadu. Mereka membuat kami kalah dan menipu kami hingga kami kehilangan kerajaan dan kekayaan. Mereka mengusir saudara-saudaraku yang berjiwa kesatria. Panchali dan aku mengembara di hutan ini, sementara Arjuna mening- galkan kami untuk memohon karunia senjata sakti dari dewata. Tetapi, sampai kini Arjuna belum kembali dan itu membuat kami sangat khawatir. Apakah ia akan kembali dengan senjata sakti? Dan kapan kiranya saat itu tiba? Belum pernah rasanya ada kesedihan yang begitu menda- lam seperti kesedihan yang menimpa kami ini.”
Resi suci itu menjawab, “Jangan biarkan pikiranmu dili- puti kedukaan. Arjuna pasti kembali dengan membawa senjata sakti dan engkau akan menaklukkan musuh- musuhmu pada waktu yang tepat. Engkau pikir, di dunia ini tak ada orang yang semalang engkau. Tidak, itu tidak benar! Memang, setiap orang dengan cara dan perasa- annya sendiri menganggap kesedihannya yang paling berat di dunia, sebab segala sesuatu dirasakan lebih pahit daripada apa yang didengar dan dilihat. Apakah engkau pernah mendengar kisah Raja Nala dari Kerajaan Nishada? Ia ditipu oleh Pushkara dalam permainan dadu. Ia kehi- langan kerajaan, kekayaan, dan semua miliknya. Ia juga harus mengembara di hutan seperti engkau. Tetapi ia lebih menderita karena dalam pengembaraannya ia tidak disertai saudara-saudaranya. Ia bahkan tak boleh bertemu, apalagi bercakap-cakap, dengan kaum brahmana. Karena penga- ruh Batari Kali, Dewi Kegelapan, pikirannya terguncang dan ia tendang istrinya, Dewi Damayanti. Kemudian, dalam keadaan setengah gila, ia mengembara di hutan.
“Dan sekarang, bandingkan dengan keadaanmu. Eng- kau punya saudara-saudara yang gagah berani, istri yang setia dan dukungan dari kaum brahmana yang suci. Mereka semua setia menemanimu. Pikiranmu baik dan teguh. Memang, kasihan kepada diri sendiri adalah wajar, tetapi keadaanmu tidak seburuk penderitaan orang lain.”
Resi itu bercerita panjang lebar tentang nasib Raja Nala. Sebelum pergi, ia menutup ceritanya, “Wahai Pandawa, Nala telah menjalani cobaan yang jauh lebih berat dari apa yang kalian hadapi. Tetapi, akhirnya ia berhasil mengatasi cobaan itu dan kemudian hidup bahagia.
“Engkau memiliki kecerdasan yang kuat. Engkau selalu berada di lingkungan yang baik dan penuh limpahan kasih sayang dari kawan-kawanmu. Engkau telah menggunakan waktumu dengan sebaik-baiknya, untuk mempersembah- kan jiwa dan pikiranmu kepada Dharma. Jalan untuk itu adalah bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengan kaum brahmana ahli kitab-kitab suci Weda dan Wedanta. Pikul- lah segala cobaan dan derita dengan sabar dan tabah, sebab itu adalah karunia bagi manusia, dan itu bukan hanya demi kami saja.”
Bersambung...