Sebelumnya...
Di tempat pengasingan di dalam hutan, Bhima dan Draupadi sering bercakap-cakap dengan Yudhistira. Mereka berkata bahwa amarah yang didasari kebenaran adalah benar sedangkan bersikap sabar menerima penghi- naan dan pasrah menerima penderitaan bukanlah sifat kesatria sejati. Mereka berdebat sengit sambil mengutip pendapat para arif bijaksana untuk membenarkan penda- pat masing-masing. Tetapi, dengan mantap Yudhistira ber- kata bahwa seorang kesatria haruslah teguh memegang janjinya, bahwa tahan uji adalah kebajikan paling mulia dari segala sifat manusia.
Bhima sudah tidak sabar ingin segera menyerang Dur- yodhana dan merebut kembali kerajaan mereka. Baginya tidak ada gunanya menjadi kesatria perkasa jika harus hidup mengembara di hutan, tanpa berperang, hanya ber- tapa bersama para resi dan pendita.
Bhima berkata kepada Yudhistira, “Engkau seperti mereka yang berulang-ulang melantunkan kidung suci Weda dengan suara merdu dan puas mendengar suaramu sendiri walaupun engkau tak mengerti artinya. Otakmu jadi kacau. Engkau dilahirkan sebagai kesatria, tetapi tidak berpikir dan bertindak seperti kesatria. Tingkah laku- mu seperti brahmana. Seharusnya kau tahu, dalam kitab- kitab suci tertulis bahwa teguh dalam kemauan dan ulet berusaha adalah ciri-ciri kaum kesatria. Kita tidak boleh membiarkan anak-anak Dritarastra berbuat curang se-enaknya. Sia-sialah kelahiran seseorang sebagai kesatria jika ia tak dapat menundukkan musuh yang licik. Inilah pendapatku.
“Bagiku, masuk neraka karena memusnahkan musuh yang jahat dan licik sama artinya dengan masuk surga. Hatimu yang lemah membuat kami panas hati. Aku dan Arjuna tidak terima. Hati kami bergejolak. Siang dan malam kami tak bisa tidur.”
Ia berhenti sebentar, menghela napas, lalu melanjutkan, “Mereka orang-orang laknat yang merampas kerajaan kita dengan licik. Kini mereka hidup bergelimang kekayaan dan pesta pora. Tapi... engkau? Lihatlah dirimu! Engkau tergo- lek pulas seperti ular kobra kekenyangan, tak bisa berge- rak. Katamu, kita harus setia pada janji kita. Bagaimana mungkin Arjuna yang masyhur bisa hidup dengan menya- mar? Mungkinkah Gunung Himalaya disembunyikan dalam segenggam rumput? Bagaimana bisa Arjuna, Nakula dan Sahadewa yang berhati singa hidup dengan sembunyi- sembunyi? Apa mungkin Draupadi yang termasyhur lewat tanpa dikenali orang? Apa pun usaha kita untuk menya- mar, Kaurawa pasti bisa menemukan kita melalui mata- mata mereka. Jadi, tidak mungkin kita bisa memenuhi janji ini. Semua ini hanya alasan untuk mengusir kita sela- ma tiga belas tahun. Kitab suci Sastra membenarkan kata- kataku, yaitu: janji berdasarkan kecurangan bukanlah janji. Engkau harus putuskan untuk menggempur musuh- musuh kita sekarang juga! Bagi kesatria, tak ada kewa- jiban yang lebih mulia daripada itu.”
Tak jemu-jemunya Bhima mendesak-desakkan penda- patnya. Draupadi juga sering mengingatkan Yudhistira betapa ia telah dijamah oleh tangan-tangan kotor Duryo- dhana, Karna dan Duhsasana. Ia juga sering mencoba memanas-manasi Yudhistira dengan mengutip nukilan- nukilan kitab-kitab suci.
Yudhistira menjawab dengan sabar bahwa ia harus memperhitungkan semua kekuatan lawan dengan cermat. Ia menambahkan, “Musuh-musuh kita mempunyai sekutu
terpercaya seperti Bhurisrawa, Bhisma, Drona, Karna dan Aswatthama. Mereka semua ahli perang dan olah senjata. Banyak raja yang kuat, besar atau kecil, kini ada di pihak mereka. Memang Bhisma dan Drona tidak senang pada watak Duryodhana, tetapi mereka tidak akan meninggal- kan dia. Mereka bersedia mengorbankan jiwa raga demi kemenangan Kaurawa.
“Perang tak dapat diramalkan, kemenangan tak dapat ditentukan. Tak ada gunanya tergesa-gesa!” Demikianlah, Yudhistira terus-menerus berusaha menenangkan sauda- ra-saudaranya yang lebih muda.
Atas nasihat Bhagawan Wyasa, Arjuna pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa, memohon agar dikaruniai senja- ta-senjata baru oleh para dewata. Ia minta diri kepada saudara-saudaranya dan Panchali.
Panchali berkata, “Wahai Dananjaya, semoga engkau berhasil menjalankan tugasmu. Semoga Dewata memberi- mu semua yang diidam-idamkan ibumu, Dewi Kunti, sejak dulu. Hidup, kebahagiaan, kehormatan dan kemakmuran kami semua tergantung padamu. Kembalilah engkau sete- lah memperoleh senjata-senjata baru.”
Setelah mendapat restu dari saudara-saudaranya, Arjuna memulai perjalanannya. Ia menuruni jurang yang dalam, menembus hutan belantara, mendaki tebing-tebing terjal, hingga sampai di puncak Gunung Indrakila.
Di sana ia bersua dengan seorang brahmana tua. Brah- mana itu tersenyum dan berkata kepadanya, “Wahai anak- ku, engkau mengenakan pakaian prajurit dan membawa senjata. Siapakah engkau? Di sini, senjata tidak pernah digunakan. Sebagai kesatria, apa yang kaucari di tempat ini, tempat pertapaan orang-orang suci dan para pendita yang telah menaklukkan amarah dan nafsu?” Sesungguh- nya brahmana tua itu adalah Batara Indra, raja semua dewata dan ayah Arjuna sendiri, yang sedang menyamar. Lega menemukan putranya dalam keadaan baik, ia mele- paskan samarannya dan menjelma kembali menjadi Batara Indra.
Arjuna menjawab, “Aku datang dengan maksud mencari senjata. Berilah aku senjata.”
Batara Indra berkata, “Oh, Dananjaya, apa gunanya senjata? Mintalah kesenangan atau carilah tempat yang lebih tinggi di dunia ini untuk bersenang-senang.”
Arjuna menjawab, “Wahai Raja segala dewata, aku tidak menginginkan kesenangan, atau dunia yang lebih tinggi. Aku datang ke sini meninggalkan Panchali dan saudara- saudaraku di hutan. Aku hanya menginginkan senjata.”
Kemudian Batara Indra menyarankan, “Pergilah berta- pa, memohon karunia Batara Shiwa, sang Dewata Bermata Tiga. Semoga engkau dikaruniai senjata mahasakti.”
Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang dan Arjuna meneruskan perjalanannya ke Gunung Himalaya. Ia bertapa di punggung gunung itu, memohon anugerah senjata sakti dari Batara Shiwa.
Ketika Arjuna sedang bertapa, datanglah Batara Shiwa dan Dewi Uma, sakti-nya, ke dalam hutan itu dengan me- nyamar sebagai pemburu. Mereka berburu dengan ribut. Seekor babi hutan lari kalang kabut menuju tempat Arjuna bertapa. Melihat babi liar itu lari mendekat, Arjuna mengangkat busurnya, membidikkan anak panahnya. Bersamaan dengan lepasnya anak panah dari busur Arju- na, meluncur pulalah panah Pinaka milik Batara Shiwa. Dua-duanya tepat mengenai sasaran.
Arjuna berteriak lantang, “Siapakah engkau? Mengapa engkau pergi berburu bersama istrimu? Kenapa engkau lancang memanah babi hutan yang kupanah?”
Pemburu itu menjawab dengan tenang, “Hutan ini kepu- nyaan kami yang hidup di sini dan sejak dulu ini memang hutan perburuan. Engkau kelihatan tak sesigap pemburu pada umumnya. Keseluruhan dirimu menunjukkan bahwa engkau biasa hidup nyaman di kota. Sesungguhnya, aku- lah yang lebih pantas bertanya, apa yang kaucari di sini. Lagi pula, akulah yang membunuh babi hutan itu.”
Mendengar itu Arjuna tersinggung. Ia menantang pemburu itu untuk bertarung. Si pemburu menerima
tantangannya.
Dengan tangkas Arjuna melompat, mengangkat busur lalu melepaskan anak-anak panah dengan cepat, susul- menyusul seperti ular menjulur mematuk pemburu itu. Tetapi alangkah kagetnya Arjuna, pemburu itu bisa mengelak dengan mudah. Ibarat air hujan jatuh di pasir, semua anak panahnya lenyap tak berbekas. Ketika anak panahnya habis, Arjuna menggunakan busurnya untuk menyerang, tetapi pemburu itu menepisnya sambil tertawa. Kini Arjuna tak punya panah dan busur lagi. Ia heran melihat pemburu sederhana yang sakti luar biasa itu. Arjuna menghunus pedangnya lalu menikam pemburu itu beberapa kali. Bukannya pemburu itu terluka, malahan pedang Arjuna yang patah berkeping-keping. Arjuna tak punya senjata lagi. Tetapi ia terus melawan. Tiba-tiba pemburu itu menyambarnya, memegangnya erat-erat dan mengikatnya dengan rantai besi hingga Arjuna lemas tak bisa berkutik lagi.
Dalam keadaan tak berdaya, Arjuna mengheningkan cipta dan memohon kepada Batara Shiwa. Seketika itu, muncul seleret cahaya berkilat dalam jiwanya dan ...
tampak olehnya sosok Batara Shiwa. Arjuna tersadar, pemburu itu adalah Batara Shiwa yang menyamar. Maka ia segera bersimpuh dan menyembahnya, memohon am- pun atas kesalahannya yang tak disengaja. Batara Shiwa mengampuninya dan mengembalikan Gandiwa dan pedang Arjuna.
Dalam perkelahian dengan Batara Shiwa, badan Arjuna berulang-ulang bersentuhan dengan Batara mahasakti bermata tiga itu. Karena itu, tanpa setahunya, ia menjadi lebih kuat dan cekatan seratus kali lipat.
Sebelum kembali ke kahyangan, Batara Shiwa mengha- diahkan Pasupata, senjata yang sangat ampuh, sambil ber- kata, “Pergilah ke kahyangan dan temui ayahmu, Batara Indra, untuk menyampaikan hormat dan baktimu kepa- danya.”
Setelah berkata demikian Batara Shiwa pun lenyap dari
pandangan. Sesaat kemudian Matali, pengemudi kereta Batara Indra, menjemput Arjuna untuk dibawa ke kerajaan para dewata.
Bersambung...