Sebelumnya...
Salwa sangat marah ketika mendengar berita terbunuh- nya Sisupala oleh Krishna pada waktu upacara besar rajasuya yang diadakan Yudhistira di Indraprastha. Salwa, sahabat Sisupala, tahu benar bahwa Krishna dan Sisupala memang bermusuhan walaupun mereka saudara sepupu karena Basudewa, ayah Krishna, kakak-beradik dengan Srutadewi, ibu Sisupala. Pangkal permusuhan itu adalah Dewi Rukmini, kekasih Sisupala yang dilarikan dan diper-istri oleh Krishna.
Sebagai teman sejati yang ingin membalas dendam atas kematian Sisupala, Salwa dan pasukannya menyerang Dwaraka, ibukota kerajaan Krishna. Ketika itu Krishna masih berada di Indraprastha dan semua urusan sehari- hari kerajaan dilaksanakan oleh Ugrasena. Walaupun sudah lanjut usia, dengan sekuat tenaga Ugrasena mem- pertahankan ibukota Dwaraka dari serangan Salwa.
Ibukota Dwaraka dikelilingi benteng yang sangat kuat dan didirikan di sebuah pulau yang dilengkapi persenja- taan luar biasa. Di dalam benteng didirikan kemah-kemah untuk menyimpan persenjataan dan persediaan makanan dalam jumlah sangat besar. Balatentara Dwaraka yang sangat banyak jumlahnya dipimpin oleh perwira-perwira yang cakap. Ugrasena mengumumkan keadaan perang. Pada malam hari rakyat dianjurkan untuk tidak pergi ke tempat-tempat hiburan. Semua jembatan dan pantai dijaga ketat. Kapal-kapal dilarang berlabuh. Semua jalan keluar-
masuk ibukota dipasangi rintangan berupa batang-batang pohon berduri. Penjagaan diperketat. Setiap orang yang keluar atau masuk ibukota diperiksa, tanpa kecuali. Sing- katnya, segala sesuatu diterapkan dengan keras dan tegas agar ibukota bisa dipertahankan. Balatentara Dwaraka diperbanyak dengan memanggil pemuda-pemuda yang sudah teruji kebugaran dan ketangkasannya berolah senjata.
Tetapi... pertahanan sekokoh itu tak mampu menahan serangan balatentara Salwa yang perkasa dan bersenjata lengkap. Serangan mereka begitu hebat sehingga ibukota Dwaraka rusak berat. Ketika kembali, Krishna sangat kaget dan marah melihat ibukota Dwaraka telah dihan- curkan balatentara Salwa. Ia lalu mengerahkan kekuatan yang ada untuk membalas serangan Salwa.
Setelah bertempur dengan sengit, balatentara Dwaraka berhasil mengalahkan balatentara Salwa. Ketika itulah Krishna mendengar berita tentang kekalahan Pandawa dalam permainan dadu di Hastinapura. Segera ia bersiap untuk menemui Pandawa di hutan tempat pengasingan mereka. Banyak yang ikut bersamanya, antara lain orang- orang terkemuka dari Bhoja, Wrishni dan Kekaya, dan Raja Dristaketu dari Kerajaan Chedi. Dristaketu adalah anak Sisupala, tetapi ia sangat kecewa mendengar tentang kebu- sukan hati Duryodhana. Ia meramalkan bahwa bumi ini akan menghisap darah manusia-manusia jahat seperti putra Dritarastra itu.
Draupadi mendekati Krishna dan menceritakan penghi- naan yang dialaminya dengan suara terputus-putus dan air mata berlinang-linang. “Aku diseret ke depan persi- dangan. Anak-anak Dritarastra menghinaku dengan sa- ngat keji. Mereka menelanjangi aku dan mengira aku akan sudi menjadi budak mereka. Mereka perlakukan aku seperti perlakuan mereka terhadap dayang-dayang di Hastinapura. Lebih menyakitkan hati adalah sikap Bhisma dan Dritarastra yang seolah-olah lupa akan asal kela- hiranku dan hubunganku dengan mereka.
“Wahai, Janardana*, suami-suamiku pun tidak melindu- ngi aku dari penghinaan manusia-manusia bejat itu. Keku- atan raga Bhima yang perkasa dan senjata Gandiwa Arjuna yang sakti tak ada artinya. Orang yang paling lemah sekali pun, jika mendapat penghinaan sekeji itu pasti akan bangkit melawan. Tetapi ... Pandawa yang terkenal sebagai pahlawan-pahlawan masyhur malah tidak melakukan apa- apa. Aku, putri raja dan menantu Raja Pandu, diseret ke depan persidangan dengan rambut dicengkeram. Aku, istri lima pahlawan besar merasa terhina sehina-hinanya. Wa- hai Madhusudana*, engkau pun telah meninggalkan aku.” Sambil berkata-kata demikian, sekujur tubuh Draupadi bergetar karena marah dan sakit hati yang tak tertang- gungkan.
Krishna sangat terharu dan mencoba menghibur Drau- padi yang menangis tersedu-sedu. Katanya, “Mereka yang telah menghinamu kelak akan binasa dalam perang besar yang penuh pertumpahan darah. Hapuslah air matamu! Aku berjanji, segala penghinaan yang menimpamu akan dibalas setimpal. Aku akan menolong Pandawa dalam segala hal. Engkau pasti akan menjadi permaisuri Raja- diraja Yang Agung. Langit boleh runtuh, Gunung Himalaya boleh terbelah, bumi boleh retak, lautan boleh kering, teta- pi kata-kataku ini akan kupegang teguh! Aku bersumpah di hadapanmu.”
Demikianlah Krishna bersumpah di hadapan Draupadi, seperti dinyatakan dalam kitab-kitab suci, “Demi melindu- ngi kebenaran, dimusnahkanlah kejahatan. Demi meme- gang teguh dharma, aku dilahirkan ke dunia dari abad ke abad.”
Dristadyumna menghibur Draupadi dengan berkata, “Hapuslah air matamu, adikku. Aku akan membunuh Drona, Srikandi akan menewaskan Bhisma, Bhima akan melenyapkan nyawa Duryodhana dan saudara-sauda- ranya, sedangkan Arjuna akan menamatkan Karna, anak
* Krishna juga dipanggil Janardana, artinya ‘kesayangan manusia’ dan Madhusudana, artinya ‘pembunuh raksasa bernama Madhu’.
sais kereta kuda itu.”
Krishna berkata lagi, “Ketika peristiwa sedih itu menim- pa dirimu, aku sedang berada di Dwaraka. Andaikata aku ada di Hastinapura, aku pasti takkan membiarkan kecura- ngan itu terjadi. Walaupun tidak diundang, kalau tahu aku pasti akan datang untuk mengingatkan Drona, Kripa, dan para kesatria tua lainnya akan tugas kewajiban mereka yang suci. Aku pasti akan mencegah permainan curang itu dengan jalan apa pun. Ketika Sakuni menipumu, aku sedang bertempur melawan Raja Salwa yang menyerang Dwaraka. Aku baru mendengar tentang ini setelah menga- lahkannya. Aku sangat sedih mendengarnya, lebih-lebih karena aku tak kuasa segera menghapus dukamu. Ibarat membetulkan bendungan rusak, tidak bisa langsung sele- sai dan untuk sementara air tetap merembes.” Setelah ber- kata demikian, Krishna minta diri untuk kembali ke Dwa- raka bersama Subadra, adiknya yang diperistri Arjuna dan Abimanyu, keponakannya.
Dristadyumna kembali ke Panchala, membawa anak- anak Draupadi dari kelima suaminya, yaitu: Pratiwindhya anak Yudhistira, Srutasoma anak Bhima, Srutakritti anak Arjuna, Satanika anak Nakula, dan Srutakarman anak Sahadewa.
Bersambung...