Sebelumnya...
Di saat ajal sudah di depan mata, disaat maut hendak merenggut
maka tiada terduga, disaat itu pula dari bawah panggung sebelah barat
melesat sebuah benda yang mengeluarkan cahaya berkilau. Benda ini
melesat ke arah kaki kanan Pendekar Pemetik Bunga yang mencari maut di
perut Rana Wulung!
Tentu saja Pendekar Pemetik Bunga menjadi terkejut dan terpaksa
menarik pulang serangannya. Benda yang berkilau itu lewat dan
menghantam taron sehingga alat bunyi-bunyian ini terbalik dan hancur
berantakan! Benda apakah yang sehebat itu dan siapa gerangan yang
melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung dari kematian?!
“Pembokong licik! Cepat unjukkan diri,” teriak Pendekar Pemetik
Bunga marah sekali. Sepasang matanya yang buas menyapu ke arah barang
panggung.
Di bagian barat panggung berdiri beberapa orang. Mata Pendekar
Pemetik Bunga yang tajam tidak berhasil kali ini menduga siapa gerangan
manuasia yang telah melemparkan senjata rahasia tadi.
Dengan marah Pendekar Pemetik Bunga mengangkat tangan
kanannya ke udara dan berteriak, “Kalau tidak ada yang mengunjuk diri,
semua yang ada di panggung barat pasti kubikin mampus!”
Seorang laki-laki tua yang berdiri di belakang sebuah kursi di bagian
barat panggung berbatuk-batuk beberapa kali. Laki-laki ini berpakaian
bagus dan bertopi tinggi yang dihiasi manik-manik. Jelas ini menunjukkan
bahwa dia adalah seorang bangsawan atau hartawan. Dia mengangkat kursi
yang di depannya ke samping dan melangkah ke muka panggung, berhenti
sejarak dua tombak dari panggung.
“Cepat beri tahu siapa kau!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tangan
kanannya masih belum diturunkan dan kini telapaknya yang terbuka
diarahkan pada orang tua berpakaian bogus.
“Aku hanya seorang tamu yang mengunjungi pesta perkawinan
ini, orang muda....”
“Hem... cuma seorang tamu saja berani campur tangan! ilmu
melemparkan senjata rahasia pengecut tadikah yang kau andalkan?!”
Orang tua itu berbatuk-batuk lagi.
“Meski cuma tamu buruk begini,” katanya, “Aku juga adalah
sahabat baik dari tuan rumah dan besannya. Sungguh tidak enak
sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang nahas tanpa bersedia turun
tangan!”
“Oo begitu? Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga pula.
“Sanggupkah kau menerima pukulan tangan kananku?!” Orang tua
berpakaian bagus itu tertawa dingin.
“Orang muda, nyalimu memang besar sekali. Sayang
kejahatanmu dan kebuasanmu jauh lebih besar lagi sehingga aku yang
tua ini terpaksa tak bisa berpangku tangan...”
“Orang gendeng yang tak tahu gunung Semeru di depan hidung!
Terima pukulan Tapak Jagat ini!”
Si orang tua cepat menyingkir ke samping waktu Pendekar
Pemetik Bunga menghantamkan telapak tangan kanannya kedepan.
Semua orang terkejutnya bukan olah-olah sewaktu melihat bagaimana
tanah bekas tempat si orang tua berpakaian bogus tadi menjadi
berlubang besar di landa ilmu pukulan 'Tapak Jagat’ si pemuda jubah
hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi jungkir balik berpatahan
sedang bumi bergetar! Kalau saja si orang tua tidak cepat menyingkir
tak dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya! Namun
disaat itu semua orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri sama
memaklumi bahwa si orang tua bukanlah orang tua sembarangan!
Tidak sembarang orang yang sanggup mengelak dari pukulan 'Tapak
Jagat” itu!
“Orang tua, apakah kau masih tetap berlaku pengecut tak mau
kasih tahu nama?!”
“Ah, namaku atau siapa aku kau tak perlu tahu. Aku tanya,
apakah kau sudi angkat kaki dari sini atau tidak?!”
“Sombong betul” tukas Pendekar Pemetik Bunga. “Jangan kira
aku jerih terhariapmu. Silahkan naik ke atas panggung!”
Si orang tua menghela nafas panjang dan menggosok-gosok
kedua tangannya. “Rupanya memang aku harus turun tangan tidak
tanggung-tanggung,” katanya pelahan tapi cukup terdengar oleh
semua orang.
“Betul! Memang dalam dunia persilatan tidak boleh tanggung-
tanggung!” menimpali Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau kau berani cari
perkara, kau tak boleh tanggung-tanggung untuk pasrahkan jiwa!”
Dan sekejap kemudian kedua orang itupun sudah berhariap-
hariapan di atas panggung, disaksikan puluhan pasang mata,
disaksikan oleh Rana Wulung yang saat itu menyingkir ke sudut
panggung. Rana tiada kenal siapa si orang tua. Namun dia maklum
kalau orang tua ini berilmu tinggi dan Rana Wulung berharap moga-
moga si orang tua benar-benar bisa meniadi tuan penolongnya.
“Apakah kau masih punya simpanan senjata rahasia tadi, orang
tua?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
Si orang tua tertawa dan balas mengejek. “Kalau kau punya
senjata keluarkalah, biar kuhariapi dengan tangan kosong!”
“Sombong betul!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tanpa
beranjak dari tempatnya dia lepaskan dua pukulan tangan kosong
yang dahsyat. Panggung itu tergetar keras. Si orang tua bersuit
nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari
posisi baru dan balas mengirimkan dua jotosan yang tak kalah
hebatnya. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam
pertempuran seru. Lima jurus berlalu cepat!
Pendekar Pemetik Bunga penasaran sekali melihat ketangguhan
lawan. Diriahului dengan bentakan nyaring dia mempercepat permainan
silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini dan dua jurus di
muka dia sudah berhasil mendesak lawannya.
“Terima jurus kematianmu, orang tua!” seru Pendekar Pemetik
Bunga. Dan kejapan itu pula pukulannya yang menyilang aneh membabat
ke pinggang si orang tua. Yang diserang cepat menyingkir sewaktu melihat
serangan ganas itu dan menusukkan dua jarinya ke muka, ke arah mata
Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus “Mencungkil Mata” yang ganas.
Pendekar Pemetik Bunga tentu saja tak mau kedua biji matanya
dimakan dua jari lawan. Di lain pihak dia juga tak mau tarik pulang
pukulannya yang ganas. Karenanya dengan cepat pemuda itu miringkan
tubuh ke kiri. Sekaligus gerakannya Itu mempercepat perbawa serangan
tengannya ke arah pinggang lawan.
Si orang tua sadar kalau tusukan jari tangannya tak bakal
mancelakai lawan sebaliknya dirinya terancam bahaya besar besar, lekas-
lekas menjejak panggung dan melompat ke atas. Begitu lolos dari gebukan
lengan maut, si orang tua laksana alap-alap menukik ke bawah dan
lepaskan satu tendangan dua pukulan.
Jurus “Menembus Kabut Mengintip Rembulan” yang dilancarkan si
orang tua dikenal baik oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa
mengejek dan menyebut jurus itu, si pemuda berkelit lincah lantas
kirimkan pukulan tangan kiri kanan yang mengarah empat jalan darah
berbahaya dari si orang tua!
Meski masih dalam terkejut karena lawan mengetahui jurus yang
dimainkannya namun si orang tua tiada ayal untuk lekas-lekas
menghindar dari serangan lawan!
“Orang tua, melihat jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu
tadi, ada hubungan apakah kau dengna Rah Kuntarbelong? Lekas jawab!
Apa kau muridnya, hah?!”
Si orang tua menindih rasa terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa
menduga nama gurunya!
Dan Pendekar Pemetik Bunga sesaat kemudian tertawa bergelak.
“Tidak menyahut berarti betul!” katanya. “Bagus sekali kalau begitu. Aku
memang punya urusan yang belum diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong!
Sebagai permulaan kurasa ada gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian
dengan muridnya!”
“Jangan banyak mulut Pendekar terkutuk!” bentak si orang tua.
''Tahu pukulan apa yang bakal kulepaskan ini?!” Pendekar Pemetik Bunga
kerenyitkan kening dan memandang tajam ke muka. Si orang tua
dilihatnya berdiri dengan kaki merenggang. Lengan kiri lurus ke bawah,
tinju mengepal sedang tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Lengan kanan itu kelihatan berwarna biru.
“Ah cuma pukulan Kelabang Biru…” ejek Pendekar Pemetik Bunga
tapi diam-diam dia kerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke
tangan kanan karena dia sudah pernah tahu kehebatan pukulan Kelabang
Biru yang mengandung racun jahat itu yakni sewaktu berhariapan di
selatan tempo hari melawan Rah Kuntarbelong. “Lekaslah keluarkan
supaya kau sendiri melihat bahwa ilmu pukulanmu itu tak lebih dari
kentut belaka!”
Geraham si orang tua bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh
tenaga dalamnya sudah terpusat di lengan dan lengan sampai ke ujung-
ujung jari sudah berwarna sangat biru.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan yang seperti mau merobek gendang-
gendang telinga. Si orang tua kelihatan menghantamkan lengan kanannya
ke depan. Selarik sinar biru dengan ganas menggebu ke arah Pendekar
Pentetik Bunga. Di saat itu puia Pendekar Pemetik Bunga sudah
menggerakkan tangan kanan melepaskan pukulan “Tapak Jagat” yang
diandalkan dengan tiga perempat tenaga dalamnya!
Begitu dua angin pukulan bertemu terdengarlah suara berdentum
laksana gunung meletus! Tiang-tiang panggung patah, lantai dan
keseluruhan panggung ambruk! Alat bunyi-bunyian yarig ada di atas
panggung berhamburan, Rana Wulung mental ke luar panggung dan
roboh tak sadarkan diri sewaktu panggungnya menghantam batang
sebuah pohon!
Kedua orang yang bertempur, sewaktu panggung roboh cepat
mencelat meninggalkan panggung. Dan ketika mereka berdiri kembali
berhariap-hariapan kelihatanlah bagaimana pucatnya paras si orang
tua. Satu pertanda bahwa saat itu dia menderita luka di dalam yang
parah sekali. Sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga berdiri sambil
melontarkan senyum mengejek pada lawannya.
“Jika kau masih gila untuk menempuh jalan kekerasan, jangan
harap nyawamu akan tertolong!”
Si orang tua tahu, jika dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk
meneruskan pertempuran, pastilah akan mencelakai dirinya sendiri
yang saat itu sudah terluka parah dibagian dalam. Tapi untuk
menyerah atau meninggalkan tempat itu adalah bertentangan sekali
dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya mempertenang diri dan
mengatur jalan nafas serta aliran darah. Tapi dia tak berhasil. Nafas
dan aliran darahnya sudah tak karuan lagi!
“Budak, keluarkan kau punya senjata!” bentak si orang tua.
“Ah, kalau kau mau keluarkan senjata silahkan, tak usah
memancing segala!” sahut si pemuda dengan tertawa bergelak.
Mendengar ini si orang tua tak sungkan-sungkan lagi untuk
menanggalkan sabuk hitam yang ditaburi mutiara dari Pinggangnya.
“Lusinan tokoh-tokoh jahat sudah mampus dimakan sabuk
mutiana ini, budak terkutuk! Kini kau adalah korban selanjutnya!”
''Tak usah bicara panjang lebar! Lekas majuiah!” bentak si
pemuda dan dalam hati dia berpikir-pikir sampai di mana, kehebatan
sabuk mutiara itu.
Si orang tua menggeru. Dia maju dua langkah. Sabuk itu
dipegangnya di tangan kiri. Nyatalah dia seorang kidal. Dia menggeru
lagi untuk kedua kalinya. Dan pada kali yang ketiga sambil melompat
ke muka si orang iua sapukan sabuk mutiaranya.
Kedahsyatan sabuk mutiara itu sangat mengejutkan Pendekar
Pemetik Bunga! Tubuhnya laksana dilanda bertubi-tubi oleh ombak
sebesar gunung. Dengan kerahkan tenaga dalam dan andalkan ilmu
mengentengi tubuhnya yang tinggi dia berhasil mengelak sebat.
Namun tak urung akhimya dia kena di desak.
“Setan alas!” maki pemuda itu. Untung saja lawannya sudah
terluka di dakam yang teramat parah sehingga gerakan-gerakannya
agak lamban.
Melihat bahwa lawannya agak jerih dan terdesak, si orang tua
mempercepat gerakannya. Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga
membungkuk dan kemudian berdiri lagi dengan memegang tepi jubah
hitamnya. Sekali dia mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa yang
sangat pengap menyambar dahsyat memapaki angin pukulan yang
keluar dari sabuk mutiara si orang tua! Si orang tua merasa
kepengapan menyambar hidungnya. Nafasnya yang memang sudah
tidak normal kini menjadi tambah tak teratur. Ternyata sabuk mutiara
yang sangat diandalkannya tiada sanggup menghariapi kehebatan
jubah hitam lawan! Semakin lama tubuhnya semakin lemah, dadanya
sesak dan pemandangannya mengabur!
“Pemuda keparat, lihat ini!” seru si orang tua. Tangan kananya
lenyap ke dalam saku baju dan ketika ke luar lagi maka selusin
senjata rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah si pemuda.
Pendekar Pemetik Bunga tarik jubahnya ke atas tinggi-tinggi lalu
mengebutkannya ke bawah dengan cepat. Angin pengap yang dahsyat
menyambar. Lima senjata rahasia lawan berpelantingan. Tujuh lainnya
di sapu dan membalik menyerang pemiliknya sendiri! Malangnya si
orang tua tak menyangka dan tak sempat mengelak, Tubuhnya tak
ampun lagi ditembusi ke tujuh senjata rahasia miliknya sendiri! Orang
tua itu mengeluarkan pekikan yang menyayat hati! Tubuhnya ter-
gelimpang di tanah. Dia mati dengan mata membeliak! Mati dengan sabuk
mutiara masih di tangannya.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Betapa menjijikkan dan
mengerikan. Dia melangkah ke hariapan mayat si orang tua dan
membungkuk, Sabuk mutiara direnggutkannya dari tangan kiri mayat
lalu dipakainya di pinggang.
Dibalikkannya badannya. Matanya memandang sekilas pada Ning
Leswani yang berdiri dengan tubuh gemeter dan muka pucat pasi.
Kemudian dia memandang berkeliling. Dan serunya . “Siapa lagi yang
inginkan mampus silahkan maju dengan cepat.”
Tak satu orangpun yang bergerak dari tempatnya.
Sambil tertawa panjang Pendekar Pemetik Bunga melangkah
mendekat Ning Leswani. Si gadis cepat menyurut mundur. “Gadis manis,
kau tak perlu takut padaku! Kau harus tahu, kunyuk yang bernama Rana
Wulung itu tidak pantas jadi suamimu. Lebih pantas jika kau ikut aku...”
“Manusia biadab! Pergi...!” teriak Ning Leswani. Pendekar Pemetik
Bunga menyeringai. Dia maju melangkah. Ibu Ning Leswani yang coba
menghalanginya sambil berteriak-teriak dengan sekali tepis saja
tersungkur ke tanah.
“Pergi!” teriak Ning Leswani lagi.
“Ya, kita pergi sama-sama manisku!” sahut Pendekar Pemetik Bunga
dengan mata yang memancarkan nafsu menggelora. Diulurkannya
tangannya untuk meraih pinggang gadis itu. Justru pada saat itulah
terdengar bentakan yang sangat nyaring.
“Pendekar terkutuk! Tarik tanganmu...!”
Bersambung...