Sebelumnya...
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga hentikan gerakan tangannya
yang hendak menjamah tubuh Ning Leswani. Kepalanya di putar.
Sepasang matanya membentur sosok tubuh seorang laki-laki tua
berbadan bungkuk, berambut dan berjanggut putih. Orang tua yang
berselempang kain putih ini berdiri dengan sebatang tongkat bambu
kuning di tangan kanan.
“Siapa kau?” bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Yang ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan tongkat bambu
kuningnya ke tanah. Ketukan ini membuat semua orang merasa
bagaimana tanah yang mereka pijak menjadi bergetar. Bambu kuning di
tangan si orang tua pastiiah satu senjata yang sangat hebat. Dan orang-
orang yang masih ada di situ, yang membenci terhariap Pendekar Pemetik
Bunga merasa punya harapan kembali atas kemunculan si orang tua
berselempangan kain putih ini.
“Lekas jawab!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau tidak kau
akan mati percuma!”
Si janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke
arah tanah. Matanya yang kecil memandang tajam pada si pemuda jubah
hitam.
“Ratusan hari turun gunung, puluhan minggu mengarungi lembah
dan bukit, berbulan-bulan menyeberangi sungai memasuki hutan
belantara akhimya kau kutemui juga. Heh... he... he... he... he ...!”
“Kau masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan
menyesal!”
“Namaku tidak penting, manusia bejat. Yang penting ialah apa kau
masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di desa Srintil beberapa bulan
yang silam...?”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan kening. Sepasang alis
matanya menaik.
“Sembilan laki-laki tak berdosa kau bunuh. Dua diantaranya
adalah muridku. Empat orang perempuan di desa itu kau bawa kabur,
kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu semua...?!”
“Hem....” Pendekar Pemetik Bunga manggut-manggut beberapa
kali. “Tidak, aku tidak lupa,” katanya dengan terus terang.
“Bagus sekali kalau kau tidak lupa!” ujar si orang tua. Dan
bambu di tangan kanannya di ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali
bergetar. “Orang-orang desa telah datang kepadaku mengadukan
kebiadabanmu itu....”
“Berapa uang suap yang diberikan orang-orang desa padamu
untuk mencariku orang tua?!” ejek Pendekar Pemetik Bunga.
Wajah si orang tua kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin.
“Sekalipun mereka tidak datang ke puncak gunung Bromo, memang
sudah sejak lama aku berniat turun tangan membekuk batang
lehermu…!”
Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak, “Oh jadi kau
adalah Datuk Bambu Kuning dari gunung Bromo?!”
Si orang tua kini balas tertawa panjang-panjang sambil tangan
kirinya mengusap-usap janggut putihnya yang panjang menjela sampai
ke dada.
“Kalau sudah tahu siapa aku, mengapa tidak lekas-lekas
bertobat dan bunuh diri? Atau masih perlu aku memecahkan
kepalamu dengan bambu kuning ini?!”
“Kentut!” maki Pendekar Pemetik Bunga dengan muka membesi
penuh marah.
“Kalau aku kentut, kau tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula
dan tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga.
“Manusia tolol yang tidak tahu gunung Semeru berdiri di muka
hidung, terima kematianmu dalam tiga jurus!” teriak Pendekar Pemetik
Bunga sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi.
Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. “Eh, itu adalah
senjata Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong. Dari mana kau dapat,
manusia bejat?!”
“Tanya pada setan di neraka nanti!” sahut Pendekar Pemetik
Bunga seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah lawan. Angin laksana
gunung gelombang menerpa Datuk Bambu Kuning.
Datuk Bambu Kuning cepat menghindar. “Rupanya kau bukan
saja manusia bejat tukang bunuh dan tukang perkosa tapi juga
pencuri kesiangan huh!” Datuk Bambu Kuning kiblatkan tongkat
bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya
menyambar dan menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir
beterbangan akibat angin kedua senjata sakti itu!
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang kejutnya ketika
merasakan serangan sabuknya menjadi tak berarti sewaktu tongkat
bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya itu! Dengan
serta merta pemuda ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk
Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.
Namun sekali si orang tua memekik keras dan sekali dia putar
tongkat bambunya dalam jurus yang aneh maka keluarlah dia dari
kurungan serangan senjata lawan! Kini gempuran tongkat bambu
itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si pemuda tiada habisnya menggerutu dan memaki dalam hati
sewaktu mendapatkan dirinya terdesak hebat oleh gempuran lawan.
Apalagi sewaktu jurus kedua berakhir dan sewaktu Datuk Bambu
Kuning tertawa mengejek dan berkata. “Jurus ketiga ini adalah jurus
kematianmu, manusia bejat! Bukan jurus kematianku!” Dan
permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin
dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!
“Setan alas keparat!” maki Pendekar Pemetik Bunga. Dengan
gerakan yang sulit sekali dia membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat
melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan untuk menjangkau tepi
jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah di tangan
kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga berdiri
kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan gelombang
angin yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam
menghamburkan angin pengap yang sanggup menyesakkan jalan
pernafasan yang menyendat tenggorokan serta liang hidung!
Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk
Bambu Kuning menjadi lamban. Orang tua itu berteriak keras dan
kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun sia-sia saja. Dirasakannya
dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya laksana tersumbat.
Sukar baginya untuk bernafas! Menanggapi hal ini si orang tua segera
atur jalan darah dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap sewaktu din
mempercepat gerakannya!
Namun kedahsyatan angin pengap yang menderu dari tepi jubah
memang tidak kepalang tanggung. Sebentar saja serangan-serangan
bambu kuning lawan sudah dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu
Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang tua itu tidak bisa
mempertahankan lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan sedang
sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus!
Pendekar Pemetik Bunga kembali keluarkan suara tertawa sewaktu
dia tahu bahwa dirinya telah berada di atas angin. “Ha…ha...! Kau
disuruh turun gunung oleh penduduk desa hanya untuk mencari
kematian saja Datuk Bambu Kuning!”
“Pendekar terkutuk jangan terlalu besar harapan!” kertak Datuk
Bambu Kuning. Diam-diam tiga perempat dari tenaga dalamnya
dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba, “Bluuss!”
Selarik asap kuning menyembur dari mulut si orang tua! Pendekar
Pemetik Bunga terkejut bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya.
Keterkejutan dan saat menutup jalan nafas tadi membuat gerakannya
mengendur. Sewaktu din menghindar ke samping sambil babatkan sabuk
mutiaranya memapasi semburan asap kuning, bambu di tangan kanan
lawan datang menderu!
Si pemuda kebutkan tepi jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak
sanggup dibikin buyar oleh angin pengap tepi jubah hitamnya!
Pendekar Pemetik Bunga menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap
dan sesaat kemudian dia berhasil ke luar dari serangan lawan yang bukan
kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu berdiri mengatur jalan darah dan
nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan keringat dingin juga!
“Kau kira kau bisa lari dari sini, manusia bejat?!” hardik Datuk
Bambu Kuning. Mulutnya membuka dan asap kuning rnenyembur lagi
kemuka lawan. Pendekar Pemetik Bunga kembali tutup jalan nafasnya
dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi jubah dan sambaran
sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah lawan. Si
orang tua melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali
menyemburkan asap kunign dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga
menjadi kewalahan kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu tak
habis heran kesaktian apakah yang dikandung oleh asap kuning yang
keluar dari mulut lawannya sehingga angin pengap jubah hitam dan angin
sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!
Tiba-tiba pemuda itu menggereng macam harimau. Tubuhnya
melesat kemuka. Angin pengap menyerang ketenggorokan Datuk Bambu
Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke bawah!
Si orang tua ganda tertawa menghardapi serangan ini Bambu
kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa
“Sreet!”
Sabuk mutiara di tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga kena
disambar den terlepas mental dari tangan pemuda itu! Si pemuda sendiri
dengan jungkir balik susah payah baru berhasil ke luar dari sambaran
tongkat bambu serta semburan asap kuning yang dilepaskan lawan!
Matanya membeliak, mulutnya kornat kamit. Mukanya mengelam sewaktu
si orang tua melangkah perlahan mendekatinya dengan tertawa sedingin
salju!
“Nyawa anjingmu hanya tinggal beberapa detik saja, pemuda
terkutuk!” kata Datuk Bambu Kuning. “Sejak hari ini dunia persilatan akan
bersih dari noda kekotoran manusia macam kau!”
“Aku masih belum menyerah keparat!” bentak Pendekar Pemetik
Bunga. Mulutnya masih komat-kamit. Matanya dengan waspada
memperhatikan setiap gerak yang dibuat Datuk Bambu Kuning.
“Aku memang tak suruh kau menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning
dengan tertawa sedingin tadi. “Aku cuma perlu nyawa anjingmu!”
“Soal nyawa soal mudah,” tukas Pendekar Terkutuk Pemetik Btmga.
Diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat kemudian ujung jari itu menjadi hitam legam dan mengeluarkan
sinar menggidikkan. “Orang tua edan, kau lihat jari ini?! “
Datuk Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada
jari telunjuk tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya tersirap,
mukanya berubah.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. “Kenapa mukamu
menjadi pucat, kunyuk tua?!”
Datuk Bambu Kuning tidak menyahut. Mukanya bertambah pucat
dan matanya melotot memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda.
Ketika jari telunjuk itu dan ibu jari si pemuda membuat lingkaran. Datuk
Bambu Kuning berseru kaget. “Ilmu Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta
merta Datuk Bambu Kuning bagi dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke
ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke dada!
“Makan jariku ini, Datuk keparat!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Dikejap itu juga dia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin
hitam menderu laksana topan prahara, menyereng ke arah Datuk Bambu
Kuning. Di saat yang sama Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan
kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk Bambu Kuning berteriak kaget ketika melihat angin pukulan
bambu kuning dan sambaran asap kuningnya buyar berantakan dilanda
angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke
arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip!
Orang tua itu mencelat beberapa tombak jauhnya ketika angina
hitam menyambar tubuhnya. Dan terdengarlah jeritnya melengking langit!
Datuk Bambu Kuning terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam
hangus! Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga!
Pendeker Pemetik Bunga mengatur jalan nafas dan aliran darahnya
kembali. Sewaktu dia menggerakkan kakinya baru disadariya bahwa kedua
kakinya itu telah tenggelam ke dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda
ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali terdengar makian gadis itu.
Makian yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang
berani menghalangi dan berbuat suatu apa ketika Ning Leswani dipanggul
oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai pagi, sampai ketika matahari muncul di utuk timur desa
masih diselimuti oleh kehebohan atas apa yang telah terjadi!
Ki Lurah Rantas Madan den Rana Wulung bersama kira-kira selusin
penduduk, dengan membawa berbagai senjata dan menunggangi kuda
coba mencari jejak Pendekar Pemetik Bunga. Namun ke mana manusia
durjana itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka sudah
berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui
Ning Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehor-
matannya! Dan seandainya pula mereka berhasil menyergap Pendekar
Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu bisa membekuk batang
lehernya!
Rantas Madan tahu suasana yang dirasakan anggota-anggota
rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan akhirnya diambil
keputusan untuk pulang saja.
Terik matahari membakar kulit di siang itu. Rana Wulung dengan
muka pucat menunggangi kudanya di samping Rantas Madan. Hati
pemuda ini hancur sudah! Dendam kesumatnya terhadap Pendekar
Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!
Ketika rombongan melalui lereng sebuah bukit dalam perjalanan
pulang itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia
berpaling pada Rantas Madan.
“Bapak, kau lihat burung-burung gagak yang beterbangan di
puncak bukit itu.”
Ki Lurah Rantas Madan terkejut lalu memandang ke puncak bukit
di atasnya. Beberapa burung gagak hitam dilihatnya terbang berputar-
putar naik turun di atas puncak sana. Berdebar hati laki-laki ini. Lalu
dihentikannya rombongan.
“Kita ke sana!” mengambil keputusan Rantas Madan. Masing-
masing kemudian memacu kuda mereka ke puncak bukit. Rana Wulung
di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini menghentikan kudanya dan
meneliti ke mana turunnya burung-burung gagak tadi. Diikuti oleh
anggota-anggota rombongan yang lain Rana Wulung bergerak ke arah
serumpunan semak belukar lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat
ekor burung gagak terbang ke udara.
Rana Wulung melompat dari kudanya dan lari ke balik semak
belukar lebat.
“Tuhanku!” seru pemuda itu. Lututnya goyah. Matanya membeliak.
Tiba-tiba laksana orang kalap dia melompat ke muka sambil berseru
nyaring . “Nining! Nining!”
Ning Leswani terhampar di atas rerumputan. Tak selembar
benangpun yang menutupi auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah
tiada nafas lagi dan sebagian sudah berlubang-lubang dipatuk gagak-
gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah yang dipeluk
Rana Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan
rombongan lainnya sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas Madan sendiri hampir-hampir tak kuat pula menyaksikan
pemandangan itu! Hampir tak sanggup melihat anak kandung yang
dikasihinya menemui kematian dalam cara yang mengenaskan begitu
rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
“Anakku....” desis laki-laki itu. Dia berlutut. Beberapa orang
menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat
membuka bajunya dan menutupi aurat anaknya dengan baju itu. Air
matanya berlinang. Dendam kesumat seperti mau memecahkan dadanya
saat itu!
Bersambung...