Sebelumnya...
Munculnya Pendekar Pemetik Bunga menyebar maut, darah dan
noda benar-benar menggemparkan dunia persilatan. Kekejaman dan
kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama malang melintang beberapa
bulan belakangan ini benar-benar merupakan satu tantangan bagi dunia
persilatan, terutama mereka dari golongan putih. Hal ini tak dapat
dibiarkan lama, dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat utama dari
golongan putih kabarnya telah turun tangan membuat perhitungan
dengan Pendekar Pemetik Bunga. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-
benar membuat dunia persilatan tambah geger!
Bagaimanakah tidak! Semua tokoh-tokoh silat yang berani bikin
perhitungan itu disikat mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik Bunga.
“Ilmu Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki pemuda terkutuk itu menjadi
biang momok mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi bagi orang-orang
yang tidak mengerti silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan
pelosok diselimuti rasa ketakutan dan cemas. Takut dan cemas kalau
Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak di daerah mereka,
menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak berdosa!
Kejahatan, kebejatan dan seribu satu macam perbuatan terkutuk
yang dilakukan oleh Pendekar Pemetik Bunga itu telah sampai pula ke
puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah hari tepat. Matahari berada dititik tertingginya.
Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi
halimun sejuk itu. Asap belerang dari kawah gunung bergulung-gulung ke
atas, bercampur jadi satu dengan halimun dan menutupi pemandangan.
Di satu bagian dari puncak gunung Merbabu, di dalam sebuah
ruangan batu, diterangi oleh sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang
laki-laki tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal kulit pembalut tulang.
Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain putih. Melihat
kepada air mukanya yang penuh dengan keriputan itu nyatalah bahwa
manusia ini umurnya sudah lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan
janggutnya yang panjang sampai ke pinggang itu masih berwarna hitam
legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita.
Orang tua ini adalah Begawan Citrakarsa. Saat itu dia tengah
bersemedi mengheningkan cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika
matahari menggelincir ke titik tenggelamnya, ketika sinar kuning emas
berpalun dengan sinar kemerahan menyaputi langit di ufuk barat barulah
Begawan itu menyelesaikan semedinya. Dibukanya kedua matanya,
dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini berdiri
dari duduknya dan melangkah ke pintu.
Dari pintu batu tempat dia berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan
puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah
diselimuti lagi oleh kabut belerang dan halimun. Di kaki gunung
menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan mengalir sebatang anak
sungai. Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam. Betapa indahnya bumi
buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu telah
dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala macam kemesuman,
kejahatan, kebejatan!
Begawan Citrakarsa masuk kembali ke dalam ruangan batu. Dari
dinding ruangan batu diambilnya sebilah keris lalu disisipkannya ke balik
selempangan kain putih di pinggangnya. Dengan sedikit lambaian tangan
Begawan Citrakarsa memadamkan pelita dalam ruangan batu itu. Dia
melangkah ke pintu kembali. Di luar puntu terdapat sebuah batu besar.
Dengan mempergunakan tangan kirinya Begawan ini menggeser batu itu
hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kati,
tapi sang Begawan hanya menggesernya dengan mempergunakan tangan
kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga dalam Begawan bertubuh kurus yang
hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak dapat dijajaki!
Bila angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola penerang jagat hanya
seperenam bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila
puncak gunung Merbabu hampir keseluruhannya terselimut halimun
maka Begawan itupun menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus
kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa berlari di
tepi kawah dengan seenaknya. Sekali-sekali melompati jurang batu yang
lebarnya sampai tiga – empat tombak. Bersamaan dengan lenyapnya sang
surya ke tempat peraduannya maka bayangan Begawan Citrakarsa pun
tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.
* * *
Tikungan jalan itu terletak di tempat yang ketinggian. Sinar
matahari panasnya seperti mau memanggang kulit. Burung-burung kecil
yang berlindung di balik daun-daun pepohonan berkicau tiada hentinya
seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari sehari itu.
Pemuda berambut gondrong di atas cabang pohon duduk dengan
sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah
satu jam hampir dia berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya
masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan
dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang diduduki
pemuda itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucingpun bila duduk
di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati
oleh tubuh pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak
sedikitpun cabang pohon itu tidak! Kalau si pemuda bukannya seorang
sakti mandraguna yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat,
pastilah hal itu tak bisa kejadian.
Sepeminuman tah berlalu. Si pemuda memandang lagi ke kaki bukit,
ke arah liku-liku jalan.
“Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan
be…”
Tiba-tiba pemuda itu hentikan makiannya. Bola matanya membesar
dan dibibirnya menggurat seringai tajam. Jauh di bawah bukit, diantara
pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh
dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang kuda. Debu
menggebu ke udara. Pemuda itu kini tertawa-tawa sendirian. Hatinya
gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan
melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu.
Kira-kira dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kaki-
kaki kuda dan gemerataknya suara roda kereta mendekati tikungan jalan.
Karena tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang-
penunggang kuda agak memperlambat lari kuda masing-masing.
Pada saat itulah pemuda rambut gondrong yang duduk di cabang
pohon mengeluarkan suara memerintah yang menggeledek!
“Berhenti!”
Beberapa ekor kuda yang di muka sekali meringkik terkejut.
Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota
rombongan menghentikan kuda masing-masing. Dan melihat gelagat yang
tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada.
“Semua laki-laki yang ada di sini, termasuk pengemudi kereta
kuharap segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat!”
Begitu si pemuda memerintah. Dan dia masih juga duduk di cabang pohon
seenaknya.
Penunggangn kuda yang paling muka yang bertindak sebagai
pimpinan rombongan mendongak ke atas dan bertanya dengan
membentak.
“Orang asing! Kau siapa?!”
“Buset! Kau punya nyali membentak aku hah? Apa kau punya jiwa
rangkap!”
Si penunggang kuda mendengus. “Caramu memerintah nyatalah
bahwa kau mempunyai niat jahat!”
“Betul sekali sobat! Karenanya lekaslah tinggalkan tempat ini kalau
kalian semua tidak mau cilaka!”
Penunggang kuda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan
melihat sikap dan tempat di mana pemuda rambut gondrong itu duduk
sesungguhnya sudah sejak tadi mengetahui bahwa manusia asing itu
seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan jumlah
yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu
silat, nyalinya tidaklah menjadi kendor merghadapi si pemuda rambut
gondrong!
“Kalau kau seorang perampok, cari saja orang lain untuk dirampok!
Salah-salah riwayatmu bisa tamat sampai di sini, sobat”
Pemuda di atas cabang pohon tertawa gelak-gelak. Suara tertawaaya
menggetarkan tikungan jalan itu, juga menggetarkan hati dua belas
penunggang kuda! Bahkan suara tertawa itu telah membuat satu tangan
halus menyibakkan tirai kereta den memunculkan sebuah kepala
perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus.
“Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih ampun den kasih selamat
kalian punya jiwa tapi malah berlagak jago!” bentak orang di atas cabang
pohon! “Silahkan cabut senjata kalian agar kalian semua tidak mampus
percuma!”
Habis berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat
turun. Tubuhnya berkelebat cepat dan terdengadah jeritan yang
menggidikkan! Tiga penunggang kuda terpelanting dari punggung kuda
masing-masing. Kepala ketiganya hancur remuk dimakan tendangan kaki
kanan pemuda tadi!
Yang sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta
dengan serentak segera mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu
lebih lama yang sembilan
orang segera menyerbu sedang pengemudi kereta dengan golok
melintang di muka dada tetap berada di atas kereta.
Sebentar saja hujan golok menyelubungi si pemuda. Pemuda itu
berdiri di tengah-tengah siuran golok dengari bertolak pinggang dan sambil
tertawa-tawa. Sekali-sekali dia membuat sedikit gerakan. Meskipun sedikit
gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan sembilan serangan golok yang
menderu-deru.
Tiba-tiba pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya merunduk di
antara bacokan dan tebasan golok. Pekik lolong terdengar susul menyusul.
Empat pengeroyoknya berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di
tengah jalan. Yang lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-
olah.
'Tegal Ireng!” teriak pemimpin rombongan. “Larikan kereta dari sini
cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan bangsat ini!”
Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda
melonjak dan melompat ke muka. Sementara itu lima golok menyerbu
pemuda rambut gondrong dengan ganasnya. Tapi yang diserbu ganda
tertawa. Dia membuat lompatan setinggi tiga tombak. Dua orang
pengeroyoknya jungkir balik di makan tendangan. Bersamaan dengan Itu
tangan kanannya dihantamksn ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang
segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat
dahsyat Menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan
kereta angsrok kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari
dalam kereta melengking jeritan perempuan!
Pemimpin rombongan, dengan sangat penasaran cabut lagi sebatang
golok dari pinggangnya. Dengan sepassng golok, bersama dua orang
kawannya dia menyerbu kembali!
“Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi kalian
adalah manusia-manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka!”
Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum
angin pengap menyerang ke arah tenggorokan ketiga lawannya. Manusia-
manusia itu mengelusrkan suara seperti tercekik sewaktu tubuh mereka
mental dilanda angin dahsyat. Dari mulut masing-masing menyembur
darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan rubuhnya tubuh
mereka ke tanah!
Pemuda berambut gondrong yang mengenakan jubah hitam
berbunga-bunga kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dirasakannya
sambaran angin di belakangnya. Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat.
Sebatang golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!
Bersambung...