Sebelumnya...
"Kurang ajar betul!" teriak pemuda berjubah hitam. Dia gerakkan tangan kanannya. Lihai sekali golok maut itu berhasil ditangkapnya lalu dilemparkannya ke arah kereta.
Laki-laki yang menjadi kusir kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada si pemuda dengan serta merta melompat dari kereta yang sudah angsrok itu dan bergulingan di tanah. Golok menancap di bangku kayu
pada bagian depan kereta!
Kusir kereta yang menyadari bahwa dirinya kini tinggal sendirian,melihat serangannya tidak mengenai sasaran jadi lumer nyalinya. Tanpa banyak cerita kusir ini segera ambil langkah seribu seraya berteriak.
"Den Ayu Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu!"
"Kunyuk tengik!" teriak pemuda berjubah hitam sambil keluarkan dengusan.
"Kalau mau lari, larilah sendiri ke neraka!"
Sekali pemuda ini lambaikan tangan kanannya, kusir kereta itu mental menghantam pohon dilanda angin dahsyat yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!
Di saat itu pintu kereta sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh ramping, berkulit hitam manis yang memiliki wajah mempesona ke luar dengan paras pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya
merinding melihat sosok-sosok mayat pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan!
Gadis itu menyurut beberapa langkah sewaktu pemuda berjubah hitam melangkah mendekatinya.
"Ah, dewiku, kenapa takut padaku?" ujar si pemuda dengan mengulum senyum.
"Namamu Galuh Warsih bukan? Dan kau anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betuL?"
Galuh Warsih menyurut lagi beberapa langkah. Pada tampang yang gagah dari si pemuda, pada sunggingan senyumnya nyata kelihatan sifat kebuasan, sifat kejalangan!
Gadis ini terpekik sewaktu sekali lompat saja si pemuda sudah berada dihadapannya.
"Saudara, kau siapa? Mengapa membunuh pengawal-pengawalku?!"
Meski takutnya bukan main namun Galuh Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan itu.
Yang ditanya tertawa.
"Ah.., itu satu pertanyaan yang pantas dijawab" katanya.
Tangan kirinya ditopangkannya ke sanding belakang kereta. "Namaku tak seberapa perlu dewiku sayang. Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga."
Paras Galuh Warsih laksana kain kafan, putih seperti tiada berdarah. Sebaliknya pemuda yang mengaku bergelar Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak.
"Dan kalau dewiku bertanyakan mengapa aku membunuh pengawal-pengawalmu itu adalah karena mereka sedeng semua! Disuruh angkat kaki dari sini agar selamat malah minta mati!"
"Ayahku Bupati Kaliurang pasti akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan inil"
Pendekar Pemetik Bungs tertawa mengekeh. "Sudahlah," katanya,
"di tempat bangkai-bangkai berserakan ini kita tak usah banyak bicara. Kau ikut aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit sebelah sana"
"Tidak!"
"Di bukit sana ada sebuah pondok!"
'Tidak, aku tidak mau! Aku tidak sudi ikut sama kau manusia biadab!" teriak Galuh Warsih.
"Di situ, di pondok itu nanti kau akan merasakan sorga dunia yang tiada taranya dewiku manis...."
Dengan tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua tangannya menghantamkan kayu itu ke kepala Pendekar Pemetik Bunga, Pemuda berhati bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus
dia sudah merangkul pinggang Galuh Warsih.
Galuh Warsih menjerit melolong-lolong. Kedua tangannya tiada henti mendambuni punggung dan menjambaki rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu tiada perduli. Malah dengan tertawa dan bersiul-siul gembira laksana angin cepatnya tubuh Galuh Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur!
Hampir sepeminum teh kemudian maka pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh. Nafsu yang menghempas-hempas pembuluh darah dan menegangkan sekujur tubuh Pendekar Pemetik Bungs membuat
manusia terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya agar lekas-lekas sampai ke pondok itu dan agar lekas pula melampiaskan nafsu bejat terkutuknya!
Tapi betapa terkejutnya Pendekar Pemetik Bunga sewaktu makin dekat ke pondok itu sepasang telinganya menangkap suara nyanyian.
Yang lebih mengejutkan ialah karena suara nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok kayu dihadapannya itu!
Dua tahun dilepas pergi,
Dua tahun turun gunung,
Dua tahun berbuat keji,
Dua tahun tak tahu untung.
Lima tahun belajar percuma
Lima tahun dididik tiada guna
Kehancuran dimana-mana
Pembunuhan di mana-mana
Semua karena buta hati dan buta mata
Semua karena buta rasa
Percuma bagusnya gunung
Percuma tingginya gunung
Kalau meletus bencana di mana-mana
Anak manusia lupa daratan
Anak manusia membuat kebejatan
Apakah selusin nyawa di badan?
Apakah ilmu setinggi awan?
Pendekar Pemetik Bunga hentikan larinya. Galuh Warsih yang masih mendambun-dambun punggungnya, yang masih berteriak-teriak meskipun suaranya parau segera ditotoknya. Dipasangnya telinganya sedang kedua matanya memandang tajam-tajam ke arah pintu pondok yang terbuka. Tak satu sosok manusiapun yang dapat dilihatnya dari tempat dia berdiri.
Namun suara nyanyian tadi kembali terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok itu!
Dua tahun dilepas pergi,
Dua tahun turun gunung....
Ada suatu rasa aneh menyelinapi hati Pendekar Pemetik Bunga. Rasa aneh ini bukan saja hanya sekedar menyelinap, tapi juga membuat hatinya menciut-ciut dan dadanya berdebar. Dia melangkah kembali, pelahan kini.
Mata memandang tajam, ke pintu pondok yang terbuka, sikap penuh waspada.
Lima tombak dari hadapan pondok, untuk kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga hentikan langkah. Bayangan seseorang dapat dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan mata kemudiannya maka terbenturlah pandangannya pada tubuh seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering berselempang kain putlh. Janggut dan rambutnya yang hitam menjelang panjang sampai ke pinggang.
"Guru!" seru Pendekar Pemetik Bunga.
Tubuh Galuh Warsih segera diturunkannya dari pundak, didudukkannya di bawah sebatang pohon lalu dia sendiri berlari dan berlutut dihadapan orang tua yang berdiri di ambang pintu pondok.
Si orang tua, yang bukan lain dari Begawan Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya dengan pandangan mata sedingin salju setajam pisau!
"Betulkah kau ini si Wirapati?"
Masih berlutut, Pendekar Pemetik Bunga angkat kepalanya.
"Betul guru. Masakan guru lupa sama murid sendiri!"
Diam-diam Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati merasa bergidik jugs melihat cara
memandang gurunya.
"Guru...!"
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan seruan kaget muridnya melainkan meneruskan, "Mataku masih belum kabur, telingaku masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul! Wirapati yang pernah kegembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di atas bumi ini..."
"Guru!" seru si murid sekali lagi.
Begawan Citrakarsa tetap tak ambil perduli seorang pemuda terkutuk yang didelapan penjuru angin dikenal sebagai Pendekar Pemetik Bunga!
Berubahlah paras Pendekar Pemetik Bunga alias Wirapati. Dia membathin, rupanya apa yang telah dilakukannya sejak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada Begawan itu.
"Selama ini aku dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang mengutamakan ilmu untuk kebaikan, dan welas asih. Dunia persilatan menyegani dan menghormatiku! Tapi kini dari delapan penjuru angin umpat dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku! Keningku dicoreng cemoreng oleh rasa malu yang tiada terkira! Semua itu adalah akibat perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu!"
"Guru," kata Pendekar Pemetik Bunga dengan cepat. Akal busuk sudah didapatnya saat itu "Rupanya guru telah tertiup oleh segata fitnah yang dilontarkan manusia-manusia biang racun! Lima tahun murid dididik
dan digembleng oleh guru masakan sesudahnya turun gunung murid mau membuat kekotoran yang mencemarkan nama guru itu?! Semua fitnah belaka, guru! Percayalah! Justru murid malang melintang di dunia
persilatan untuk membasmi kaum penjahat dan golongan hitam...!"
Begawan Citrakarsa tertawa tawar. "Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah, Wirapati? Gadis yang kau sandarkan di pohon itu cukup menjadi bukti! Kalau kau mau menipu aku, tunggulah sampai
mataku buta!"
Pendekar Pemetik Bunga tidak kehabisan akal. Dia segera buka mulut pula, "Guru salah duga. Gadis itu adalah anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan murid tolong dan lepaskan dari tangan penculik-penculik dan perampok-perampok!"
Lagi-lagi Begawan Citrakarsa tertawa tawar.
"Lidah tidak bertulang memang biaa diputar balik!" katanya. "Tapi mataku tidak bisa diputar baiik, Wirapati! Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan jalan tadi! Masihkah kau mau berdusta di dalam kebejatanmu?!"
Kini Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya terkatup rapat-rapat
"Tak perlu kau berlutut dihadapanku Wirapati! Sejak arang cemar kau corengkan ke mukaku, sejak itu pula aku tak mengakuimu lagi sebagai murid!"
Rahang Pendekar Pemetik Bunga menonjol bergemeletak.
"Kejahatanmu laksana laut tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang berdirilah! Dan katakan cepat, cara mati bagaimana yang kau inginkan?!"
Kaget Pendekar Pemetik Bunga bukan alang kepalang!
Dipandangnya paras Begawan Citrakarsa. Mimik dan sorotan mata si orang tua jelas menyatakan bahwa apa yang diucapkannya itu bukan main-main!
"Guru...."
"Aku bukan gurumu!" bentak Begawan Citrakarsa.
Perlahan-lahan Pendekar Pemetik Bunga berdiri.
"Guru, kau betul-betul hendak membunuhku?" tanya pemuda itu,
"atau cuma main-main saja ... ?"
"Bicara soal kematian bukan bicara main-main budak terkutuk!" hardik Begawan Citrakarsa.
"Bersiaplah untuk mampus!" Begawan itu angkat tangan kanannya. Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka!
"Wuss!" Asap putih mengepul dahsyat melanda ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat gurunya mengeluarkan ilmu dahsyat yang tak pemah dikenalnya atau diajarkan kepadanya sebelumnya, yakinlah Pendekar Pemetik Bunga bahwa si orang tua betul-betul bertekat hendak menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih yang mengandung hawa sangat panas itu, si pemuda segera melompat ke samping sampai dua tombak!
"Bagus! Kau masih bisa mengelak! Tapi nyawamu tetap harus minggat ke neraka murid laknat!" gertak Begawan Cirakarsa. Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya yang kurus memukul bersama-sama. Sinar putih berbuntal-buntal menyambar Pendekar Pemetik Bunga!
Bersambung...