Sebelumnya...
Serangan ganas ini membuat Pendekar Pemetik Bunga melompat
sampai tiga tombak ke atas dan berseru nyaring, "Orang tua aku masih
menaruh hormat pada kau! Hentikan seranganmu!"
"Hormat nenek moyangmu!" maki Begawan Citrakarsa beringas.
Kedua tangannya kembali melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar
Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri.
Wirapati atau Pendekar Pemetik Bunga jadi beringas pula kini.
"Begawan!" serunya lantang, "jika kau tak hentikan senuigan, terpaksa
aku mengadu jiwa dengan kau! Harap jangan menyesal!"
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan ucapan bekas muridnya.
Tubuhnya berkelebat cepat. Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap
rumbia pondok di atas bukit itu terbang bertaburan akibat keras
dahsyatnya angin serangan sang Begawan!
Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah
tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam hati. Kalau saja dia tidak memiliki
tenaga datam dan ilmu mengentengi tubuh yang tinggi sempurna, pastilah
dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena digebuk salah satu
lengan sang Begawan atau tersambar asap putih yang panas beracun itu!
Dalam tempo yang singkat, murid dan guru itu sudah bertempur
delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai.
Namun memasuki jurus kedua belas walau bagaimanapun Pendekar
Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda
jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya mencelat mental membobolkan
dinding kajang dan melingkar di tantai tanah dalam pondok!
Begawan Citrakarsa tidak menunggu sampai di situ saja. Mulutnya
berkomat kamit. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan itu
berwarna merah kini.
Dan sewaktu tangan itu dipukulkan ke muka, lidah api yang
dahsyat menyambar laksana topan prahara! Dalam sekejapan mata saja
pondok itu tenggelam dalam kobaran api!
"Tamatlah riwayatmu murid
terkutuk!," Begitu Begawan Citrakarsa membatin.
Tapi si orang tua
menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok tubuh bekas
muridnya itu berdiri tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka
Pendekar Pemetik Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan
Citrakarsa tadi telah menyebabkan luka yang cukup parah dibagian
dalam tubuhnya!
Begawan Citrakarsa sendiri diam-diam merasa heran melihat
pemuda itu masih sanggup berdiri meski dengan muka pucat pasi.
Jotosan yang dilancarkan tadi mempergunakan hampir setengah bagian
tenaga dalamnya, namun pemuda itu tidak menemui ajalnya! Apakah
selama turun gunung malang melintang berbuat kejahatan bekas
muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan Citrakarsa tidak mau menunggu lebih lama. Tidak mau
memberi kesempatan. Makin lekas dia berhasil membunuh muridnya itu,
berarti makin cepat dia mencuci tangan dan membersihkan diri dari rasa
malu yang melekat selama ini! Karenanya sang Begawan segera melompat
ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa jalang yang kelaparan!
Dari jarak beberapa meter sebelum tubuhnya sampai kehadapan si
pemuda, Begawan Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan dua
tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar Pemetik Bunga saat itu tengah alirkan tenaga dalam
kebagian dada yang terluka dan atur jalan darah serta nafas. Melihat
datangnya serangan ini dia terpaksa menghindar cepat sambil melepaskan
pukulan "Tapak Jagat".
Begawan Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu pukulan 'Tapak Jagat'
itu dialah yang menciptakan dan mewariskan kepada Wirapati, masakan
kini mempan dipakai untuk melawan penciptanya sendiri. Namun tawa
mengejek si orang tua berubah dengan keterkejutan!
Begawan Citrakarsa sampai mengeluarkan seruan tertahan. Angin
pukulan yang ditimbulkan oleh pukulan 'Tapak Jagat" itu dahsyatnya bukan
main, lebih dahsyat daripada jika dia sendiri yang melepaskannya!
Padahal
Wirapati saat itu diketahuinya sedang terluka akibat jotosannya tadi!
Jelaslah si pemuda benar-benar telah menuntut ilmu kesaktian pada se-
orang tokoh utama dunia persilatan selama dia malang melintang dua tahun
belakangan ini!
Si orang tua kini tidak mau memberi ampun lagi dan tak mau
memperpanjang waktu!
Lengking yang menggidikkan ke luar dari
tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu. Telinga Pendekar Pemetik
Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing! Lengkingan yang
ke luar dari mulut Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti sedang tubuh
orang tua ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi ujudnya,
hanya bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung me-
nyelimuti tubuh Pendekar Pemetik Bunga.
Dan di antara angin serangan
yang bergulung-gulung itu serangan kaki tangan datang laksana hujan
membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan "Seribu
Angin Seribu Badai" Hebatnya memang bukan alang kepalang!
Tapi sang Begawan jadi komat kamit beringas sewaktu dua jurus
berlalu dan tak satu jotosan atau hantaman lengan ataupun tendangan
kakinya yang berhasil mengenai tubuh lawan.
Malah tiba-tiba dirasakannya
dia laksana menyerang gunung batu yang menjungkir balikkan kembali
setiap serangannya sedang sambaran angin aneh terasa memengapkan liang
hidung serta tenggorokannya!
Orang tua ini terpaksa tutup jalan nafas dan
melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri
kanan tiada hentinya mengebut-ngebutkan tepi jubah hitamnya. Dari tepi
jubah hitam itulah ke luar angin pengap yang ganas, membuat sang
Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat!
Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu "Asap Putih Pencari Raga" yang
dimilikinya serta diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat dia
melentingkan kedua telapak tangan ke muka.
Didahului oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yarg
menyilaukan melesat ke muka. Setengah jalan dua larikan asap itu
berpencar menjadi dua lusin dan kedua lusinnya menyerang ke arah dua
puluh empat jalan darah kematian di tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga kebutkan tepi jubahnya sekencang-
kencangnya dan cepat bergulingan di tanah.
Untung sekali dia telah
berguling menjauh begitu rupa karena angin pengap yang dilepaskannya
tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan "Asap Putih Pencari Raga"
yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika pemuda itu berdiri lalu
menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia berada waktu diserang tadi, mau
tak mau keringat dingin memercik dikuduknya!
Betapakah tidak! Di tanah
mata kepalanya sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah
jengkal akibat serangan bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan
tertawa mengekeh. "Kematianmu sudah hampir dekat murid terkutuk!," katanya.
"Setan
neraka mungkin sudah tak sabar menunggumu. Cacing-cacing kuburan
tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu...!"
"Orang tua gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali aku
bilang mengadu nyawa padamu, jangan harap kau bisa membunuhku tanpa
kau punya nyawa anjing juga turut minggat ke neraka jahanam!"
Habis
berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut bunga kuning yang terbuat
dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya!
"Ooo... bunga kertas buruk itukah yang kau andalkan untuk
membunuhku?!" ejek Begawan Citrakarsa dengan memencongkan hidung.
"Kau boleh mengejek kunyuk keriput!" serapah Wirapati alias
Pendekar Pemetik Bunga.
"Sebentar lagi roh busukmu akan terbang
dibawa bunga maut ini!"
"Cuma bunga kertas mainan bocah-bocah siapa takutkan?!" ejek
Begawan Citrakarsa dan dengan serta merta dia kiblatkan kedua
tangannya, kembali memancarkan serangan "Asap Putih Pencari Raga."
Kali ini Pendekar Pemetik Bunga tidak menghindar. Dia berdiri
menunggu. Pada saat asap putih hendak memancar seperti tadi, dengan
cepat pemuda itu menekan tangkai bunga kertas yang dipegangnya. Serta
merta bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila asap putih dan sinar
kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum yang
amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning
berpalun-palun, gelung menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa
yang tengah berkelahi gigit menggigit!
Asap putih lambat laun lenyap
dirambas dan ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang
Begawan Citrakarsa. Kejut orang tua sakti ini bukan alang kepalang. Dia
melompat ke samping tapi agak terlambat karena sebagian lengan kirinya
kena tersambar sinar kuning itu! Dengan serta merta lengan sang
Begawan menjadi kuning pekat!
Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. "Sinar kuning itu mengandung racun dahsyat! Dalam tempo satu
jam nyawamu pasti konyol!"
Begawan Citrakarsa mengambil sebutir pil dan menelannya dengan
cepat.
"Ha... ha, jangankan pil tahi kambing itu! Obat dari kayanganpun
tak bakal sanggup memunah racun dilenganmu itu. Begawan goblok!"
Naik darah si orang tua meluap sampai ke kepala. Mukanya kelam
membesi. Racun kuning ditangan kirinya dirasakannya mulai merambas
mendekati pangkal bahu. Tak ayal lagi Begawan Citrakarsa pergunakan
tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu!
"Kraak!"
Sungguh menggidikkan sewaktu persendian bahu itu lepas dan
daging berserabutan, urat-urat berbusaian menyemburkan darah!
Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang bulu kuduknya melihat
perbuatan sang Begawan!
"Jangan kira meski aku cuma dengan satu tangan kini kau bisa
lepas dari kematian, Wirapati keparat!" kata Begawan Citrakarsa.
"Otakmu memang sudah miring, Begawan!" kata Wirapati pula.
"Tak
satu kekuatanpun yang sanggup menandingi bunga kertas kuning ini!"
Begawan Citrakarsa tidak menjawab apa-apa melainkan tangan
kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di pinggangnya.
Sebilah keris bereluk dua belas yang memancarkan sinar sangat merah
kini tergenggam di tangan Begawan itu.
lnilah keris "Pancasoka" yang
mempunyai keampuhan luar biasa! Jangankan daging manusia, batu
karang pun jika ditusuk pasti akan hancur lebur!
Sebagai bekas murid Begawan Citrakarsa dengan sendirinya
Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah kini bunga
kertas kuningnya akan sanggup menghadapi keris Pancasoka itu.
Karenanya untuk menjaga segala kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga
segera membuka ikatan sabuk mutiara milik Kidal Boga yang tempo hari
dibunuhnya.
"Kau lihat keris ini Wirapati?!"
"Ah" tak usah banyak omong! Majulah biar kau juga dapat
kehebatan sabuk mutiara ini!" tukas Wirapati!
Menggelegaklah kemarahan sang Begawan. Dia melompat ke muka.
Keris Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar merah laksana lidah api
menyerang ganas. Setiap serangan merupakan rangkaian yang sekaligus
menjurus ke arah dua belas bagian tubuh lawan! Inilah kehebatan senjata
itu!
Wirapati tidak pula tinggal diam. Sabuk mutiara diputar laksana
kitiran. Gelombang angin menderu-deru sedang bunga kertas ditangan
kanan tiada hentinya mengeluarkan sinar kuning yang mengandung
racun jahat! Namun dua senjata ditangan Wirapati hampir tiada daya
menghadapi keris bereluk dua belas di tangan kanan Begawan Citrakarsa.
Ditambah lagi dengan amukan si orang tua yang dahsyatnya bukan olah-
olah. Kalau saja satu tangannya tidak cedera buntung pastilah
amukannya itu tak akan tertahan-tahan oleh Wirapati.
Dengan keris ditangan kanan orang tua itu, pertempuran sudah
berkecamuk selama enam puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan
Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah terlalu parah memang patut
dikagumi! Dalam pada itu dia sudah berhasil pula mendesak dan
memepet lawannya sampai kedekat reruntuhan pondok yang terbakar!
Dengan kertakkan geraham kemudian membentak keras, Wirapati
percepat gerakannya dan keluarkan jurus-jurus dahsyat ysng
mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi Begawan Citrakarsa
yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan tahun
punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!
"Setan alas!" maki Pendekar Pemetik Bunga.
"Kunyuk tua haram
jadah," makinya lagi dalam hati.
Dengan mempergunakan jurus "Menyapu
Awan Menerjang Mega," pemuda ini akhirnya melompat ke luar dari
kalangan pertempuran!
"Pemuda terkutuk!" teriak Begawan Citrakarsa, "Kau mau lari ke
mana?!"
"Aku tidak lari iblis tua!" bentak Pendekar Pemetik Bunga. Dia
cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala,
sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga segala kemungkinan.
Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter.
"Begawan keparat! Mari kita buat perjanjian!" Tiba-tiba Pendekar
Pemetik Bunga ajukan usul.
"Heh, sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah
itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan lari...?!" ejek Citrakarsa.
"Sompret tua, aku berjanji! Jika kau sanggup terima pukulanku,
aku akan bunuh diri dihadapanmu!"
Begawan Citrakarsa tertawa mengekeh-ngekeh. "Bunuh diri terlalu
enak buatmu, Pendekar terkutuk!"
Si pemuda penasaran bukan main.
Tapi dia berkata lagi, "Kalau
begitu kau terpaksa mampus percuma orang tua! Dunia persilatan akan
gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat bernama Citrakarsa dibunuh
oleh muridnya sendiri...!"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga tertawa panjang dan
menggidikkan. Tangan kanannya diacungkan ke muka, mulut berkomat
kamit sedang ibu jari dan telunjuk mendadak dengan cepat berobah
menjadi hitam!
Teganglah paras Begawan Citrakarsa. Selama di puncak Gunung
Merbabu dia telah mendengar bahwa bekas muridnya yang murtad itu
telah memiliki sejenis ilmu yang sangat sakti dan berbahaya!
Apakah ini
agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya, hendak dipakai
menyerang?!
Jari tetunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati
semakin hitam legam dan mengeluarkan sinar mengerikan sedang paras
sang Begawan semakin tegang, sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga
tertawa terus tiada hentinya!
"Ilmu Jari Penghancur Sukma ini sudah menelan puluhan tokoh-
tokoh silat!" kata si pemuda yang tiba-tiba hentikan tertawanya, "tokoh-
tokoh silat yang tolol geblek sengaja mencari mampus!"
"Hah!" kejut Begawan Citrakarsa.
"Murid murtad, dari mana kau
dapat ilmu bejat itu?!"
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga tertawa lagi panjang-
panjang. Jari telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak membentuk
lingkaran siap untuk dijentikkan ke muka. Begawan Citrakarsa cepat-
cepat alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang ditangan kanan
sehingga senjata itu menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali
menyilaukan dari semula!
Pendekar Pemetik Bunga memperlahan tertawanya. "Selusin keris
Pancasoka ditanganmu, tiada nanti kau sanggup menahan serangan
jariku ini, Begawan keriput!"
"Laknat terkutuk! Jiwamu atau nyawaku!" teriak Begawan
Citrakarsa.
Laksana anak panah tubuhnya melesat ke muka. Keris
Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang dahsyat! Pohon-pohon dan
daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga
raksasa menyambar dalam kecepatan luar biasa ke arah Pendekar
Pemetik Bunga!
Yang diserang mendengus mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun
bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser membuat langkah mengelak!
Sebaliknya hanya jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya saja yang
tiba-tiba menjentik ke muka. Maka pada detik itu juga didahului oleh
angin keras laksana topan prahara, menderulah gelombang sinar hitam,
menyapu dan menerjang lidah api keris Pancasoka!
Begawan Citrakarsa yang melihat gelombang apinya membalik
menyerang dirinya sendiri berteriak kaget dan melompat ke samping
sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar hitam melanda dengan
dahsyatnya! Orang tua ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya hangus
hitam dan mengepulkan bau daging yang terpanggang! Bahkan keris
Pancasoka yang saat itu masih tergenggam ditangan kanannya juga
hangus menjadi hitam!
Pendekar Pemetik Bunga meringkik macam kuda menjadi jalang
melihat dedemit! Kemudian dia tertawa gelak-gelak menyaksikan mayat
gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di hadapannya
itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad yang tiada tara
kekejamannya!
Tiba-tiba dia memutar tubuh dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu
melihat tubuh Galuh Warsih yang masih duduk bersandar di batang
pohon, tiada bergerak karena tadi telah ditotoknya.
Dia melangkah
mendekati gadis itu. "Dewiku," katanya seraya berlutut dihadapan Galuh Warsih, "kau
sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan?"
"Pemuda keparat, pergi! Jangan dekati aku!" teriak Galuh Warsih.
Meski dia ditotok dan tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun
pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa bicara.
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis.
Nafasnya panas memburu, diburu oleh nafsu yag menggejolak!
Diulurkannya tangannya membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih
memaki lagi, menjerit-jerit!
"Kulitmu halus sekali, Galuh."
"Pemuda setan! Pergi, jangan sentuh tubuhku!" teriak Galuh
Warsih.
"Ah... apakah tampangku betul-betul seperti setan?" tanya si
pemuda dengan cengar-cengir.
Dan dialusnya lagi pipi gadis itu. Galuh
Warsih yang karena tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, penuh
kegemasan diludahinya muka pemuda itu. Pendekar Pemetik Bunga
malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu
disekanya ludah yang membasahi mukanya. "Ludahmu seharum bunga semanis madu, kenapa musti disembur
ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam mulutku? Ha...
ha... ha...!"
"Kulit pipimu demikian halusnya, Galuh," kata si pemuda dan
dicuilnya dagu si gadis.
"Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi""
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga segera elus bahu
Galuh Warsih. Berdiri bulu kuduk si gadis sebaliknya semakin
menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang mengelus
bahu itu kini turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih. Dia
tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi perlakuan bejat
itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya.
Tak sanggup lagi dia
menjerit, tak kuasa lagi dia berteriak karena suaranya sudah habis ditelah
keparauan! "Gadis manis, kenapa musti menangis?" tanya Pendekar Pemetik
Bunga.
"Pemuda terkutuk...," suara Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, "aku rela dibunuh daripada diperlakukan begini rupa..."
"Heh...?!" Pendekar Pemetik Bunga hela nafas dan kerutkan kening
tanda heran. "Kau tahu manis, perempuan-perempuan yang mati gadis
kalau dia bisa bicara di liang kubur, pastilah dia minta dihidupkan kembali!
Hidup kembali untuk merasakan kenikmatan hidup antara laki-iaki dan
perempuan! Kau yang hidup kepingin mati...? Lucu.... Mari dewiku, kini ke
balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, biar kita bisa tidur bergulung
lebih nikmat...!"
"Pergi! Jangan sentuh aku!" suara Galuh Warsih mengandung
keputusasaan.
"Oh, kau tak mau ke balik semak-semak itu, Galuh? Tak apa" tak
apa... di sinipun aku tak keberatan!"
Pendekar Pemetik Bunga ulurkan
tangan kanannya kembali dan "breet!"
Kain penutup dada Galuh Warsih robek besar. Dadanya tersingkap
lebar. Sepuluh jari tangan Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya
laksana gila menggerayang menjamahi dada itu. meremas seakan-akan
hendak menghancur luluhkannya!
Bersambung...