Sebelumnya...
Sejak kemarin senja sampai siang hari itu Kadipaten Kaliurang
tampak sibuk sekali. Senja kemarin lima orang pembantu Bupati Sentot
Sastra telah dikirim ke Kaliprogo wetan untuk menyelidiki kenapa Galuh
Warsih sampai sesenja itu tidak kunjung muncul di Kaliurang.
Pada tengah
malam kelima pembantu Bupati yang menunggangi kuda itu berhenti di satu
tikungan di lamping bukit. Di bawah penerangan bintang-bintang dan bulan
sabit mereka menyaksikan tebaran mayat pengawal-pengawal Bupati yang
adalah juga kawan-kawan mereka.
Semuanya mati dalam cara yang
mengenaskan dan menggidikkan. Sebagian besar hancur kepalanya atau
bobol dada serta perutnya. Kereta yang menjadi tumpangan anak gadis
Bupati Sentot Sastra angsrok di tengah jalan sedang dua ekor kuda penarik
kereta hancur keempat kaki masing-masing! Ketika seorang diantara yang
lima itu meloncat turun dan memeriksa kereta, ternyata kereta itu kosong.
"Aku tidak melihat Tegal Ireng!" kata salah seorang dari mereka.
"Aku juga! Di mana kusir kereta itu?"
"Mungkin dia satu-satunya yang selamat... "
Tapi ketika menyelidik ke tikungan yang menurun di sebelah sana
mereka kemudian menemui mayat kusir kereta itu menggeletak
menelungkup di tanah tanpa nyawa!
"Aku tak dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi di sini! Kalau
rombongan Den Ayu Galuh Warsih dihadang perampok, mengapa kawan-
kawan kita mati dalam keadaan demikian rupa? Dan kaki-kaki kuda yang
hancur itu?!"
"Aku sendiri tak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan Den
Ayu Galuh Warsih," menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yarg lain,
"Dia diculik, itu pasti sudah!"
"Diculik dan dirusak kehormatannya?!" menambahkan yang lain.
"Kalau begitu kita harus cari jejak-jejak si penculik!"
"Di malam buta begini bukan pekerjaan mudah mencari jejak-jejak
manusia!
Lagi pula siapapun manusia-manusianya yang melakukan
perbuatan biadab ini pastilah dia berilmu Tinggi! Orang berilmu tinggi tidak
terlalu bodoh untuk mau tinggalkan jejak!"
"Lantas kita bikin apa kalau sudah begini?!"
"Kembali saja ke Kaliurang dan beri keterangan pada Bupati Sentot?"
"Kalau kau mau disemprot, kembalilah sendiri!"
Sepi beberapa lamanya. Kesepian yang membuat bulu kuduk kelima
orang itu menggerinding, ditambah lagi dengan tiupan angin bukit di
malam buta yang dingin itu.
"Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ke Kaliprogo wetan,"
mengusulkan seseorang.
Tapi tak ada seorangpun yang menerima dan menyetujui usul itu.
Kelimanya kemudian mencari tempat yang baik, agak jauh dari tikungan
jalan, menyalakan api unggun, berkemah di situ menunggu sampai pagi.
Esok paginya, dengan sedapat-dapatnya kelima orang itu
memperbaiki kereta yang rusak. Mayat kawan-kawan mereka yang
berjumlah dua belas ditumpuk sebisa-bisanya di dalam dan di atas atap
kereta. Dua diantara lima pembantu Bupati itu duduk di depan kereta,
satu memegang kendali. Kuda keduanya dipakai sebagai kuda-kuda
penarik kereta karena kuda-kuda milik kawan-kawan mereka yang
menemui ajal itu tak seekorpun yang hidup dan ada sekitar situ!
Kedatangan kelima orang itu dengan membawa kereta yang
ditumpuki dua belas mayat yang mengerikan tentu saja menggemparkan
seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan seluruh Kaliurang!
Wajah Bupati Sentot Sastra membeku mengelam. Kedua tangannya
mengepal. Dia melangkah mundar mandir. Kepanikan yaan amat sangat
membuat dia tak sanggup membuka mulut! Sebaliknya di dalam kamar
istrinya terdengar menangis meraung-raung.
"Mana anakku! Mana anakku!" pekik ratap perempuan itu.
"Galuh!
Galuh Warsih, di mana kau anak? Oh Galuh! Tuhan! Di mana anakku
Tuhan"
Tenggorokan Bupati Sentot Sastra turun naik. Dadanya menggelora.
Kematian kedua belas pengawal Kadipaten itu membuat kepalanya serasa
mau pecah oleh luapan darah! Di samping itu yang membuat dia tak bisa
diam dan seperti mau gila ialah karena tidak mengetahui di mana anak
gadisnya saat itu atau apa yang telah terjadi dengan Galuh Warsih!
Melihat
kepada kenyataan yang terjadi, pasti nasib Galuh Warsih tidak lebih baik
dari kedua belas anak buahnya itu! Kepada siapakah kemarahan yang
meluap itu hendak dilepaskannya? Hendak dilampiaskannya?!
Laki-laki ini melangkah terus mundar mandir! Setahunya sekitar
perjalanan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan tak ada gerombolan
rampok jahat!
Lantas siapakah yang telah me lakukan kebiadaban
terkutuk itu?!
Siapa yang menculik anak gadisnya? Anak tunggal satu-
satunya yang menjadi kesayangan tambatan hati?!
Dan sementara itu
telinganya tiada henti mendengar ratap tangis istrinya yang bukan saja
menyayat hati tapi juga membuat darah di dalam tubuhnya semakin
bergejolak mendidih!
Di langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat
masing-masing sebuah arca Batara Wisnu yang duduk di atas seekor
burung rajawali yang tengah mengembangkan sayapnya.
Mungkin karena
luapan amarah yang tak terkendalikan dan tak tentu kepada siapa
dilampiaskan, ditambah pula mendengar ratap tangis istrinya di dalam,
maka sewaktu melawati arca itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba Bupati
Sentot Sastra menghantamkan tinju kanannya!
"Braak!"
Arca Batara Wisnu hancur berkeping-keping! Itulah ilmu pukulan
"Genta Kematian." Kalau arca batu yang keras itu sekali pukul saja
sanggup dibikin hancur berkeping-keping, maka jika dipukulkan kepada
manusia tentulah tak dapat dibayangkan bagaimana akibatnya!
Sementara itu, para pembantu Sentot Sastra yang berdiri dilangkan
Kadipaten itu masing-masing sama merasa takut dan cemas.
Khawatir
mereka kalau-kalau dalam amarah gelap mata seperti itu, diri mereka
pula yang bakal ketiban pulung dihantam sang Bupati!
Tiba-tiba laksana halilintar di siang hari layaknya berteriaklah
Sentot Sastra. Semua pembantu-pembantunya yang berjumlah lima belas
orang diperintahkannya untuk bersiapsiap.
"Kita akan ulangi lagi penyelidikan!" teriaknya.
"Kau Darjakumara, bersama enam orang lainnya menyelidik
kejurusan Kaliprogo wetan den sekitarnya. Aku dan yang lain-lain ke
timur!
Kalian harus berhasil mencari jejak manusia yang telah melakukan
kebiadaban ini!
Harus berhasil membekuk batang lehernya!
Siapa yang
kembali sebelum dapatkan itu manusia durjana akan kubunuh! Sekarang
siapkan kudaku!"
Seorang pernbantu Sentot Sastra segera berlalu untuk menyiapkan
kuda sang Bupati sedang yang lain-lainnya segera pula meninggalkan
langkan Kadipaten guna mengambil kuda masing-masing dan
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan mencari
manusia biang penimbul malapetaka itu. Mereka masing-masing
menyadari bahwa pencarian itu tidak akan berhasil dalam tempo yang
singkat, tapi memakan waktu berhari-hari.
Selang beberapa ketika lima belas penunggang kuda ditambah
dengan Sentot Sastra sendiri sudah berkumpul di halaman Kadipaten.
Mereka siap menunggu perintah dan langkah-langkah terakhir yang harus
mereka lakukan.
Bupati Sentot Sastra menyapu paras kelima belas orang anak
buahnya itu lalu berkata, "Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian musti
temukan bangsat itu dan seret dia hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil
menemuinya, lebih baik tidak usah kembali! Kalian menger...."
Bupati Sentot Sastra tidak teruskan ucapannya. Sepasang matanya
kini tidak lagi menyaputi paras pembantu-pembantunya satu demi satu
melainkan dialihkan ke lereng bukit di sebelah selatan. Sentot Sastra
seorang yang berilmu cukup tinggi sehingga meskipun jarak bukit dengan
tempatnya berada saat itu terpisah hampir dua ratus tombak namun
sepasang telinganya lapat-lapat mendengar suara siulan aneh yang
menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu!
Lima belas pasang mata pembantu-pembantu Sentot Sastta sama
dialihkan pula ke lereng bukit di sebelah selatan itu. Dan dikejauhan
kelihatanlah sesosok tubuh laki-laki berlari sangat cepatnya laksana
angin!
Yang anehnya ialah pada pundak kiri laki-laki ini terpanggul
sebuah peti yang melihat kepada besarnya pasti puluhan kati beratnya!
Sewaktu semua orang itu pertama kali melihat manusia yang berlari
cepat tersebut, jarak mereka demikian jauhnya namun dalam beberapa
kejapan mata kemudian tahu-tahu si manusia pemanggul peti sudah
berada di halaman Kadipaten dihadapan Bupati Sentot Sastra dan
pembantu-pembantunya!
Ternyata manusia pemanggul peti kayu itu seorang pemuda
berambut gondrong, bertampang keren dan punya pandangan mata yang
tajam menyorot. Peti yang dipundaknya beratnya puluhan kati tapi dia
berdiri seakan-akan peti itu sama sekali tidak ada di pundaknya!
Pemuda
tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti maka
dari celah-celah papan peti yang tidak begitu rapat menyebarkan bau
busuk yang seperti mau meranggas bulu hidung, membuat nafas sesak
dan mau muntah.
Lima belas pembantu Sentot Sastra yang tak tahan
segera menutup hidung sedang Sentot Sastra sendiri dengan ilmunya
yang sudah tinggi tutup jalan pernafasannya.
Si pemuda rambut gondrong yang tak dikenal menggaruk-garuk
kepalanya beberapa kali. Sikapnya ini membuat Bupati Sentot Sastra
kehilangan kesabarannya dan hendak mendamprat. Namun sebelum
mulutnya terbuka si pemuda asing sudah buka suara bertanya.
"Apakah aku berhadapan dengan Bupati Kaliurang yang bernama
Sentot Sastra?"
"Jawab dulu kau siapa?!" sentak sentot Sastra.
"Siapa aku tidak penting," katanya.
"Aku datang membawa peti ini
untukmu."
"Peti apa?! Apa isi peti itu!"
Si pemuda menghela nafas dalam dan rawan. "Peti ini membawa
berita buruk bagimu, Bupati."
"Jangan bicara berbelit-belit! Turunkan peti itu, aku mau lihat
isinya!"
Si pemuda garuk lagi kepalanya yang berambut gondrong lalu
dengan sikap acuh tak acuh turunkan peti kayu yang berat dari
pundaknya.
Bersamaan dengan itu Sentot Sastra melompat dari punggung kuda.
Dia maju mendekati peti. Sebelum melangkah lebih dekat dia tiba-tiba
ajukan satu pertenyaan,
"Apakah seseorang menyuruhmu mengirimkan
peti ini padaku?!"
Si pemuda tertawa aneh dan angkat bahunya.
Sentot Sastra penasaran dan gusar sekali melihat sikap pemuda tak
dikenal ini. Dia berpaling pada anak buahnya den memerintah,
"Buka peti
itu!"
Yang diperintah turun dari kudanya.
Dengan masih menutup
hidung karena tak tahan dilanda bau busuk yang amat sangat itu dia
melangkah mendekati peti kayu lalu dengan tangan kiri yang gemetaran
dibukanya kayu penutup peti! Begitu peti terbuka bau busuk yang lebih
dahsyat menyambar hidung. Ketika merhandang ke dalam peti kayu itu
semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan mata masing-masing me-
lotot besar laksana mau berlompatan dari rongganya!
Di dalam peti itu terbujur sesosok tubuh manusia bertelanjang
bulat. Kulitnya sudah membiru dan memar. Di beberapa bagian kelihatan
bekas penganiayaan. Dan manusia yang sudah menjadi mayat busuk ini
tiada lain adalah Galuh Warsih, anak kandung Bupati Sentot Sastra
sendiri!
Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra!
"Kurung dan cincang sampai lumat manusia ini!"
Begitu perintah terdengar begitu lima belas golok panjang yang
berkilauan ditimpa sinar matahari dicabut dari sarungnyai
Sentot Sastra
sendiri audah lebih dahulu melompat ke muka dengan senjatanya yaitu
sepasang pedang ungu!
Melihat dirinya diserang mendadak begitu rupa, pemuda rambut
gondrong segera berseru.
"Tunggu! Tahan dulu! Aku belum kasih keterangan!"
"Iblis bermuka manusia biadab terkutuk! Kasihlah keterangan pada
hantu kuburmu nanti!" teriak Sentot Sastra! Dan sesudah itu tujuh belas
senjatapun berkiblatlah menyerang kesatu sasaran yaitu tubuh pemuda
berambut gondrong!
Bersambung...