Sebelumnya...
Pemuda berambut gondrong membentak gusar. “Manusia tolol! Geblek sedeng! Orang datang baik-baik. Malah disambut dengan ujung senjata! Gila betul!” Makian ini tentu saja membuat Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak bisa tidak pemuda asing itulah yang telah membunuh dan merusak kehormatan Galuh Warsih!
Tujuh belas senjata berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur
si pemuda. Pemuda itu dalam setengah jurus saja sudah terkurung rapat!
“Manusia-manusia tolol! Apakah kalian tidak mau hentikan
serangan dan beri kesempatan aku kasih keterangan?!”
“Anjing kurap, mampuslah!” damprat Sentot Sastra dan sepasang
pedangnya membacok dari dua jurus yang berlawanan sedang lima belas
golok anak buahnya saling berlomba mencari sasaran di tubuh si pemuda!
“Manusia-manusia tak tahu diri! Jika kalian tidak mau hentikan
kegilaan ini, jangan menyesal!”
Si pemuda membentak laksana geledek, keluarkan satu siulan aneh
yang menusuk dan menyakitkan liang telinga. Dalam kejap itu pula
tubuhnyapun lenyap dari pemandangan. Sepasang pedang Sentot Sastra
dan lima belas golok anak buahnya membabat angin kosong, saling
bentrokan satu sama lain dan menimbulkan suara nyaring, bunga-bunga
api bergemerlapan!
Mendengar suara ributnya bentakan-bentakan, mendengar suara
berkecamuknya senjata di halaman rumah, Karsih Wardah, istri Bupati
Sentot Sastra terkesiap, dia hentikan tangisnya dan dengan senggak-
sengguk lari ke langkan. Betapa terkejutnya sewaktu menyaksikan
suaminya dan lima belas orang pembantu Kadipaten tengah mengeroyok
seorang pemuda berambut gondrong tak dikenal yang hahya bertangan
kosong dan terpaksa berkelebat kian kemari guna mengelakkan serangan-
serangan yang sangat ganas itu!
Belum habis herannya Karsih Wardah melihat pertempuran yang
berkecamuk itu, maka dua matanya yang telah sembab karena menangis
membentur pada sebuah peti besar yang terletak di tanah. Sementara itu
lobang hidungnya dirambas oleh bau busuk yang tak dapat dipastikan
dari mana asalnya!
Sentot Sastra dan anak-anak buahnya mana mau ambil perduli
peringatan si rambut gondrong malah dia memerintahkan agar
menggempur pemuda rambut gondrong itu lebih hebat lagi!
“Dasar bodoh, dasar geblek buta mata!” maki si pemuda. Sambil
berguling di tanah disambarnya papan besar penutup peti. “Ayo manusia-
manusia keblinger, majulah!” Dan ketika Sentot Saatra bersama
pembantu-pembantunya masih juga kalap menyerang maka si pemuda
lemparkan penutup peti itu ke arah mereka. Sentot Sastra cepat
melompat ke samping tapi tiga orang pembantunya yang tak sempat
mengelak terjerongkang di tanah sewaktu dada mereka dilabrak penutup
peti.
Dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa si pemuda
rambut gondrong berkata mengejek.
“Masih buta mata gelap pikiran, silahkan maju lagi!” Rahang Sentot
Sastra bergemeletakan. Mulutnya mengeluarkan suara menggeram.
Bupati Kaliurang ini berteriak keras, “Bentuk barisan roda maut!”
Maka kedua belas orang anak buahnya segera bergerak cepat
membentuk lingkaran. Sekali Bupati itu berteriak memberi isyarat maka
kedua belas orang itupun bergeraklah berlari lari cepat dalam lingkaran
yang makin lama makin menciut sedang senjata masing-masing
membabat dari dua beias jurus, diseling dengan tikaman atau tusukan
dan diperhebat oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot Sastra.
Pakaian putih dan rambut gondrong si pemuda berkibar-kibar oleh
sambaran senjata. Debu dan pasir beterbangan ke udara sedang barisan
roda maut semakin menciut juga!
“Orang tolol memang susah dikasih pelajaran kalau tidak digebuk!”
“Berbacotlah sepuasmu manusia laknat! Sebentar lagi tubuhmu
akan berkeping cerai berai!” teriak Sentot Sastra.
Baru saja ia habis berkata begitu si pemuda bersiut nyaring.
Tubuhnya berkelebat dua kali. Suara seperti orang tercekik terdengar
susul menyusul! Dan sewaktu Sentot Sastra merasa bahwa cuma dirinya
saja kini yang sendirian mencak-mencak mengirimkan serangan maka
laki-laki ini segera melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
Kemudian bila dilayangkannya pandangannya berkeliling maka tiada
terkirakan kagetnya!
Kedua belas pembantunya berdiri laksana patung tak bergerak-
gerak karena masing-masing mereka sudah kena ditotok oleh pemuda
yang sangat lihai itu!
Nyatalah bagi Sentot Sastra bahwa pemuda itu tinggi sekali ilmunya
dan bukan tandingannya. Kalau saja dia ingin mencelakai diri dan orang-
orangnya pastilah tidak sukar bagi pemuda itu untuk melaksanakannya!
Namun gelap mata karena menyangka keras bahwa pemuda itulah
yang menjadi pembunuh anak kandungnya serta menamatkan pembantu-
pembantunya di tikungan jalan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan,
ditambah lagi saat itu istrinya Karsih Wardah dilihatnya lari menghambur
den menubruk peti di mana mayat Galuh Warsih terbujur dan berteriak-
teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas anak buahnya
ditotok tak bergerak, meski tiga lainnya menggeletak pingsan, namun
Sentot Sastra tetap membara dadanya, tetap berkobar nyalinya untuk
dapat membunuh menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya disaat
pemuda itu berdiri tolak pinggang, dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera
menyerbu kembali dengan sepasang pedang ungunya.
Permainan sepasang pedang Bupati Kaliurang itu memang patut
dipuji. Apalagi kini dia mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang sangat
diandalkannya. Dua gulung sinar ungu yang laksana sepasang naga
membungkus sekujur tubuh pemuda rambut gondrong dari atas ke
bawah!
Namun agaknya, walau bagaimanapun kehebatan ilmu pedang sang
Bupati, walau bagaimanapun lihai dan sukar diduga tipu-tipu ilmu
silatnya tetap saja dia tak dapat menghajar si pemuda! Jangankan
menebas atau membacok tubuh lawannya, menggores atau merobek
bajunya sajapun Sentot Sastra tidak sanggup!
“Bupati Sentot Sastra!” seru si pemuda. “Apakah kau masih gelap
mata mau meneruskan pertempuran ini?!”
“Iblis neraka tutup mulut! Sebelum kutebas kau punya batang
leher, sebelum kucungkil kau punya jantung dan hati, pertempuran ini
sampai kiamatpun tak akan kuhentikan!”
“Hebat sekali nyalimu!” memuji si pemuda sejujurnya namun
mimiknya melontarkan senyum sinis! “Tapi aku dan kau tiada
permusuhan, mengapa musti bertempur begini rupa?!”
“Tidak ada permusuhan bapak moyang setanmu!” bentak Sentot
Sastra penuh beringas!
“Anakku kau rusak kehormatannya, kau bunuh!”
“Tobat... tobat!” Si pemuda pukul-pukul keningnya dengan telapak tangan kiri.
“Justru aku datang ke sini untuk mengantar mayat anakmu yang kutemui
di bukit! Eh, malah-malah aku yang dituduh jadi pembunuh! Dituduh
tukang perkosa! tobat!”
“Tak usah membual atau jual mulut!”
“Siapa membual, siapa jual mulut?!”
“Sesudah melakukan perbuatan terkutuk, kau pura-pura berbuat
baik dan cuci tangan huh?!”
“Buset!” Si pemuda garuk-garuk kepata dan mengomel. “Kalau tahu
bakal ketiban pulung begini, tidak nanti aku mau susah-susah bawa
mayat kau punya anak ke mari, Bupati!”
“Sudah! tak perlu banyak rewel! Pokoknya kau harus serahkan
batang lehermu!” teriak Sentot Sastra dan serentak dengan itu kembali dia
menyerbu si pemuda.
Yang diserang geleng-gelengkan kepala.
Sewaktu pedang ungu itu dengan segala kehebatannya memapas dari
kiri kanan, siap membabat putus tubuh si pemuda menjadi tiga kutungan
maka si pemuda geser kakinya satu langkah. Serentak dengan itu kedua
tangannya bergerak cepat hampir tak kelihatan, memukul badan kedua
pedang Sentot Sastra berseru keras, ia merasa terkejut sewaktu
menyaksikan bagaimana sepasang pedangnya lepas dan mental dari
tangannya!
Sebaliknya si pemuda tertawa gelak-gelak.
“Kalau masih punya niat main amuk-amukan, silahkan ambil
kembali pedangmu, Bupati!”
Mengelam muka Sentot Sastra mendengar ejekan yang sekaligus
merupakan tantangan itu. Karena malu dia tidak ambil kedua senjata itu
melainkan kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke ujung-
ujung jari!
“Heemm... pukulan apakah yang kau hendak lancarkan?”
mencemooh si pemuda!
Sentot Sastra merutuk dalam hatinya.
“Meski kesaktianmu setinggi langit, jangan harap kau sanggup
menerima pukulan Genta Kematian-ku ini!” kata Bupati Kaliurang itu pula.
Dengan menyebutkan nama ilmu pukulan yang diyakininya selama tujuh
tahun itu dia berharap si pemuda akan kaget dan menciut nyalinya.
Tapi apa lacur! Malah si pemuda tertawa bekakakan ketika
mendengar nama ilmu pukulannya itu!
“Setahuku genta adalah semacam klenengan yang dikalungkan di
leher sapi atau kerbau! Itukah nama ilmu pukulanmu? Tentunya kau
berguru pada seekor sapi? Ha... ha... ha...!”
Kekalapan Sentot Sastra bukan alang kepalang. Bentakannya
mengguntur. Kedua lengannya bergetar dan terpentang. Sekejapan mata
kemudian tubuhnya lenyap dalam lompatan kilat setinggi tiga tombak.
Sewaktu melewati si pemuda dia kirimkan dua tendangan sekaligus! Si
pemuda merunduk dan pada waktu itulah gerakan lihai yang mengan-
dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, Sentot Sastra balikkan
tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala lawan!
Si pemuda yang merasakan angin pukulan sangat keras menerpa
belakang kepalanya bersuit nyaring, rundukkan kepala dan secepat kilat
putar tubuh!
Muka Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang itu mendadak sontak
menjadi pucat pasi sewaktu lima jari tangan kanan pemuda lawannya
laksana japitan baja, sekaligus mencekal kedua lengannya sehingga tak
sedikitpun dia bisa berkutik! Dan bukan itu saja, dari jari-jari tangan itu
dirasakannya aliran aneh yang sejuk dingin menjalar ke lengannya, terus
ke bahu dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah yang membakar dan
menggelorai darahnya kini menggendur. Pikiran jemih kini muncul
dibenaknya. Tubuhnya lemah lunglai, keringat dingin memercik
dikeningnya. Akhirnya Sentot Sastra jatuh duduk menjelepok di tanah
sewaktu pemuda itu lepaskan cekalan pada kedua lengannya!
“Orang muda, siapakah kau sebetulnya?” tanya Sentot Sastra. Nada
suaranya kini tidak keras dan tidak bernada marah lagi seperti tadi-tadi.
Si pemuda tertawa.
“Aku datang ke sini bukan untuk mengobral nama atau kasih
keterangan siapa aku, tapi untuk menolong mengantarkan mayat anakmu.”
Sentot Sastra memutar kepalanya ke arah peti. Istrinya dilihatnya
terkulai pingsan di tepi peti itu, sedang dua belas pembantu-pembantunya
sampai itu saat masih berdiri mematung dalam keadaan tertotok!
Sang Bupati kembali palingkan kepala pada si pemuda. Lama dia
menatap paras pemuda itu. Dan pada paras yang masih muda belia itu
kini dapat dilihatnya sifat kesatria gagah perkasa dan kejujuran.
“Orang muda, kau betul-betul tidak melakukan perbuatan
terkutuk terhadap anakku?”
Si pemuda gelengkan kepata.
“Lantas siapa yang melakukannya?”
Si pemuda angkat bahu. “Akupun tengah mencarinya! Dunia
persilatan kini dihebohkan oleh munculnya seorang pendekar terkutuk
berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning. Nama aslinya aku tidak
tahu tapi dia digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga!”
“Pendekar Pemetik Bunga!” mengulang Sentot Sastra. “Yaaa...
aku pernah dengar tentang manusia durjana itui Tapi dulu dia cuma
malang melintang di barat, kini tahu-tahu muncul di sekitar sini...!”
“Kunyuk lapar perempuan begitu, di mana ada perempuan cantik
pasli di situ dia muncul unjuk tampang bikin kejahatan!” menyahuti si
pemuda.
Perlahan-lahan Sentot Sastra berdiri kembali. Kedua tangannya
mengepal.
“Aku akan cari bangsat itu sampai dapat dan habiskan
nyawanya!”
Pemuda rambut gondrong naikkan kedua alis matanya.
“Jangankan kau, gurunya sendiri yang jauh lebih sakti sanggup
dibunuhnya!”
“Lantas apakah aku akan berpangku tangan melihat anakku
dibunuh dan dirusak begini rupa?!” tanya Sentot Sastra hampir
berteriak.
“Aku hargai keberanianmu, Bupati,” memuji si pemuda. “Tapi
keberanian yang hanya mengendalikan nafsu besar kekuatan nihil,
adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-sia ditangannya!”
“Kematian bukan apa-apa bagiku! Semua manusia nantinya akan
mati juga...”
“Terserah padamu, Bupati. Aku cuma kasih nasihat! Mungkin
nasihatku tidak ada harganya.” Sentot Sastra termangu-mangu
beberapa lamanya.
Tiba-tiba dia berseru sewaktu dilihatnya pemuda di hadapannya
putar tubuh hendak berlalu.
“Orang muda, tunggu! kau mau ke mana?”
“Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa Bupati.”
“Kau masih belum terangkan namamu.”
Pemuda itu tertawa lagi. Begitu murah tertawa baginya. “Aku
sudah bilang namaku tidak penting.”
“Penting atau tidak penting itu bukan urusan. Tapi padaku kau
tetap harus kasih tahu. Dan pembantu-pembantuku ini kau harus
lepaskan totokannya kembali!”
“Pijit saja tengkuknya satu-satu, pasti totokannya lepas,”
memberi tahu si pemuda.
“Sudahlah, kalau kau penasaran lihat saja bagian kepala dari
peti kayu itu. Di situ tertulis namaku!” kata si pemuda pula. Cepat-
cepat Sentot Sastra melangkah ke bagian kepala peti di dalam mana
mayat anaknya terbujur. Yang ditemui Bupati ita di sana bukan
tulisan atau huruf yang membentuk nama, melainkan pada kayu di
kepala peti itu tertera tiga buah angka yaitu 212.
“Dua satu dua!” seru Sentot Sastra kaget. “Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”
Dipalingkannya kepalanya.
Kejutnya ttertambah-tambah. Pemuda tadi sudah tak ada lagi di
tempat itu! Sentot Sastra geleng-gelengkan kepalanya tiada henti.
Tidak sangka dia akan berhadapan dengan pendekar bersifat kocak
yang kadangkala seperti orang sinting, tapi bertampang keren dan
berhati jujur, penolong manusia-manusia yang tertindas, penghancur
kejahatan, momok tokoh-tokoh silat golongan hitam!
“Pantas, pantas... kiranya dia. Pantas mana aku sanggup
menghadapinya!” kata Sentot Sastra pula dan dia melangkah
mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.
Bersambung...