Sebelumnya...
Tapi Harwati tidak menceritakan kejadian yang sesungguhnya. “Kalau begitu aku perlu menemui beliau”” ujar Gumara. “Maka pagi ini aku ke sini agak kepagian. Sebab selain hari ini hari Minggu, juga ayah sudah meminta aku tadi pagi bahwa beliau tidak lagi melayani pengobatan”.
“Wah, kalau begitu sekarang sajalah kita ke rumahmu”, ujar Gumara.
Tak ada hal yang lebih menyenangkan bagi Harwati kecuali sikap Gumara Minggu
pagi ini! Dia memang tidak ingin terlambat, takut keduluan Pita Loka saja! Ya, siapa
tahu Pita Loka mendadak kembali dari perguruan sihir, lalu merebut hati Gumara
dengan caranya sendiri?
Dan kedua pasangan insan itu melangkah. Jalan sunyi. Kesunyian itu bertambah lagi sunyinya karena udara berkabut berhubung tibanya musim panas dl kawasan
Kumayan. Harwati tiba-tiba merasa perasaannya tak enak. Dia berbisik sembari
memegangi lengan Gumara “Aku tiba-tiba ngeri”.
Barulah saat ini Gumara menemukan pertanyaan yang selalu mengganggunya. Sejak
tiba di Kumayan yang dia teruji oleh beberapa orang lawan. Tapi semua bisa diatasi.
Yang mengherankannya ketika dihajar oleh Hura Gatali tempohari, dalam keadaan
seperti teler dan mabuk, dan masih bereaksi, cuma lamban. Tapi serangan Hura Gatali
yang mengenai tubuhnya tidak sakit. Seperti tidak lukanya dia dibacok golok sakti
Lading Ganda di Bukit Menyan.
“Kaulah orang yang memberi jawaban dari pertanyaanku sejak kanak. Kenapa aku
pandai mengelak jika diserang. Yah, mungkin saja ini warisan dari ayahku”.
“Siapa ayahmu?” tanya Harwati.
“Aku cuma kagum cerita ibuku mengenai ayahku. Tapi tentu dia orang sakti.
Ilmunya Pasti tinggi, sedemikian tingginya dia warisi pada diriku, kemungkinan ketika aku masih dalam kandungan ibuku”, suaranya gembira, dan tanpa mereka sadari telah sampailah mereka ke padepokan Ki Lebai Karat.
Begitu masuk ke rumah memberi salam, Gumara mempunyai perasaan bahwa rumah
ini seperti sedang mengalami perubahan. Entah apanya yang berubah. Dan dia
terkejut melihat ayah Harwati terbaring. Lalu disapanya ramah orangtua yang
badannya mati sebelah itu.
“Jangan kalian berdua kuatir. Aku akan sembuh dan kuat perkasa lagi seperti masa
mudaku. Apa maksud kedatangan kau ke sini Peto Alam?”
“Pertama saya ingin menjenguk tuan yang sakit”, kata Gunnara.
“Lalu apa lagi, Peto Alam?” tanya ayah Harwati.
“Dia ingin melamar saya pada ayah”, potong Harwati yang tak sabaran. Sang ayah
menatap berang pada Harwati “Kau sebaiknya tak mendengar kata-kata lamaran Gumara. Jika kau tak ngeri kesakitan kau tidak akan luntur, ikuti nasehat ayahmu Kau keluar.
Tinggalkan kami berdua. Dan jangan sekali-sekali mengintip atau nguping apa yang kami bicarakan, mengerti?!”
“Mengerti, ayah”, ujar Harwati.
Dia sungguh-sungguh menepati janji. Dia malahan pergi ke sebuah kebun jeruk dan
menikmati keharuman limau-limau ranum itu.
“Aku hargai kau, Peto Alam, sebagai pria bujangan, bicara langsung melamar
puteriku. Tapi aku pun ingin menjawabuya secara jantanAKU MENOLAK LAMARANMU DAN TAK KURIDOI JIKA KALIAN BERDUA KAWIN LARI”
Gumara terperangah. Airmatanya berlinang. Tapi anehnya, jiwanya tenteram dan
langkah mereka berdua makin hati-hati. Derak suara dahan yang terpijak seakan
menimbulkan gema. Kadangkala keduanya berhenti karena keraguan akan sesat.
Mendadak Gumara merinding. Dan berbisik; “Bau apa yang kau rasakan?”
“Bau bangkai”, ujar Harwati.
“Tentu ada salah seorang tua di sekitar sini”, ujar Gumara.
Harwati mendadak merinding lagi. Dipegang eratnya lengan Gumara, lalu dia berbisik “Kau rasakan bau menyan?”
“Ya, bau setanggi”, ucap Gumara.
“Kita berhenti dahulu”, ucap Harwati gemetaran.
Dia belum pernah segemetar pagi berkabut begini. Tadi pun sudah ada kabut ketika
dia ke rumah Gumara, lewat jalan ini juga. Tapi kini tambah tebal. Dan itu
mempertebal kengeriannya kini !
“Ada bayang sosok mendekat”, bisik Harwati.
Gumara berdiam diri. Mendadak angin kencang berhembus ketika bayangan sosok
manusia mendekat itu semakin dekat. Kabut terusir oleh derasnya angin. Dan makin
nyatalah siapa yang mendekat itu.
“O, Kau, Hura Gutali”, ujar Gumara geram.
“Apa yang kau mau lakukan?”
“Aku, bersama seluruh murid yang setia ke Ki Cangan siap menghabisimu. Dan kau
harus tahu, bahwa Pita Loka sekarang sudah sealiran dengan kami. Kau berdua perlu
dihabisi”, kata Hura Gutali.
“Ingatlah kau Jagoan muda usia. Bahwa siapa pun manusianya, di Kumayan ini harus
mengenal pantangan. Disini pantang berdemdam,” ujar Gumara, yang mendadak dilihat Hura Gutali menjelma menjadi seekor harimau. Tapi Gumara sendiri tidak menyadari dirinya berubah bentuk. Geraknya bagai siap untuk menerkam. Dan Hura Gutali ingin mengalihkan perhatian Gumara dengan jalan seakan-akan hendak menerkam Harwati. Ketika Hura Gatali siap untuk melakukan, tendangan suara mengaum yang mengerikan Gumara sekaligus menerkam Hura Gutali. Hura Gutali berteriak kesakitan terkena cakaran, dan dengan meraung-raung kesakitan di melarikan diri. Sementara itu Harwati hanya berdiam diri bagai patung.
“Heran, ilmu apakah yang kau punyai sehingga dia meraung setelah kau serang”, kata Harwati.
“Ilmu rasional saja, tanpa mantera. Ada aksi, ada reaksi. Tindakanku tadi diluar
dugaanku, diluar kemauanku, datang saja secara mendadak”, kata Gumara. Cepat Harwati berkata, “kalau begitu ilmumu diwarisi ketika anda lahir. Jadi tanpa menuntut-nuntut!”
Lelaki tua itu batuk-batuk sejenak. Lalu, “Mari kulanjutkan alasanku menolak
lamaran, Pertama kedatanganmu menemuiku karena disuruh ibumu, bila ke Kumayan,
kau harus pertama kali menemuiku. Kau tahu, ibumu adalah wanita yang paling
cantik? Dia bukan isteriku. Dia isteri seseorang yang malah tidak aku kenal. Dan
ketika namaku termashur sampai jauh ke luar Kumayan, ibumu muncul ingin berobat
padaku karena katanya dia mandul. Ingat, namaku ketika itu Ki Dukun Gumilang.
Aku pada mulanya bukan berniat cabul pada ibumu. Tapi aku maupun dia, begitu
saling pandang pertama kali, sama-sama jatuh cinta. Demikianlah, tiap dia berobat
padaku, kami melakukan hubungan gelap. Harap kau jangan sedih, itu semua bukan
atas kemauanku. Lalu dia hamil. Sejak hamil tua dia tak ke sini lagi hingga hari ini.
Sempat aku pesan padanya, agar kalau dia melahirkan, berilah nama anaknya Peto
Alam. Tapi entah bagaimana dia menambah nama itu menjadi Gumara Peto Alam.
Dalam bahasa kami di sini, dalam kamus kuno, Peto artinya Putera . Jadi Gumara
adalah putera alam. Tapi kenapa kau tidak sedih?”
Gumara berdiam diri. Dia terus berdiam diri. Tapi dalam diam itu jantungnya
bergerak teratur, dan batinnya menyatakan ingin mengobati Ki Lebai Karat dan ingin
mengembalikan wibawanya. Lalu dia menoleh pada Ki Lebai Karat. Lelaki tua itu
terheran-heran, “Izinkan aku menyebut tuan dengan sebutan Ayah . Aku tak menolak
takdir ini. Kuterima takdir ini. Coba bangunlah ayah , semoga ayah telah
kusembuhkan”.
Ki Lebai Karat tercengang. Dia langsung bisa duduk. Dan tetap tegar berdiri.
“Bagaimana caranya melunakkan hati Harwati? Bukankah dia adikmu, biarpun adik
tirilah namanya namun dia sedarah denganmu, sama-sama titisanku!”, ucap Ki Lebai
Karat.
“Akan kurubah secara berangsur lewat kekuatan batin yang kini makin yakin aku,
bahwa ini kumiliki sebagai rahmat Maha Pencipta Alam, secara gaib. Ayah tak perlu
merisaukannya. Aku akan mencoba secara sabar dan berangsur-angsur agar cintanya
padaku pupus perlahan.” Gumara semakin tenang. Juga dia tenang tanpa haru ketika
Ki Lebai Karat, ayah kontannya, memeluknya erat. Dan ketika itulah Harwati masuk
lagi dan mendapatkan Gumara dan ayahnya sedang berpeluk erat. Dia tentu mengira,
lamaran Gumara diterima ayahnya. Padahal perkiraan itu meleset. Perkawman itu
tidak akan terjadi, tidak pernah akan dia alami, selama-lamanya.
Ketika Gumara pamitan, Harwati melepas kepergiannya dengan hati yang sangat-
sangat, sangat bahagia. Ki Lebai Karat pun lega saat itu, dan beliau pantas merasa
bahagia yang paling bahagia da!am hidupnya.
TAMAT
DI LANJUTKAN KE BUKU SERI KE 4 Dari CERITA TUJUH MANUSIA HARIMAU, UNTUK SERI KE 2 (GADIS SAKTI) dan SERI KE 3 ADMIN BELUM NEMU BUKUNYA :-)