Sebelumnya...
Dia tiba di rumah Gumara bagaikan harimau yang sedang cemas. Begitu dia masuk, didapatinya Gumara menjulurkan lidah, Bengong. Macam binatang berkaki empat. Melihat kejadian itu, teteslah airmata Ketua Harimau Yang Enam di Kumayan itu, dan menyergap Gumara dengan pelukan erat “O, Peto Alam . . . Kenapa kau jadi menderita begini, nak?”
“He-he-he . . . . “
“Peto Alam!” bentak Ki Lebai Karat sembari terpaksa menampar Gumara agar segera
sadar. Tapi Gumara tersenyum lebar, seperti orang teler yang kesenangan disakiti;
“He-he-he . . . tuan Ki Karat ya?”
“O, Peto, bangkit dan berdirilah! Lawan musuhmu dengan kepala tegak!”, dan
didekapnya kepala Gumara. Diangkatnya untuk berdiri, tapi Gumara menjatuhkan
dirinya lagi ke lantai bagai binatang berkaki empat; “He, he . . . . “
Tampaklah kecemasan luarbiasa di wajah Ki Lebai Karat. Dibiarkannya Gumara
begitu saja. Orangtua itu lalu duduk di kursi, terperangah. Dia sedang memilih cara
terbaik Menghancur-luluhkan Ki Putih Kelabu . . . atau . . . mengobati Gumara lebih
dulu. Untuk keduanya diperlukan tindakan sportip. Lalu dilihatnya lagi Gumara. Hati
Ki Karat hancur luluh tak tahan melihat Peto Alam lebih gila dari orang gila, lebih
pikun dari orang pikun, lebih teler dari orang mabuk.
“Gumara, sadarlah nak”” bentak Ki Lebai Karat. Bentakan dahsyat ini membuat
Harwati tak jadi masuk pintu. Dia, hanya mengintip lewat celah, memperhatikan apa
yang diperbuat ayahnya. Harwati melihat satu kejadian yang aneh. Dilihatnya
ayahnya memeluk kepala Gumara, membelainya dengan cucuran airmata, dan berkata
“O, Peto Alam . , , sekiranya aku boleh kembali pada ilmu kasar, aku mampu
mengembalikan pikun kau ini pada pembuatnya.
Ah, kasihan aku melihat kau!”
Harwati bercucuran airmata babagia mendengarnya. Dia masuk tetapi kaget ketika
ayahnya mendadak berubah sikap menghapus airmata dengan cepat dan segera
menjadi gugup namun gagah.
Mendadak saja ayah itu meninggalkan Harwati dan Gumara. Dia kemudian menuju
rumah Ki Putih Kelabu, hal yang tak pernah diperbuatnya sebelumnya!
Kesombongannya Karena dialah ketua Harimau Kumayan ditanggalkannya. Dia
sangat hormat ketika bertanya pada Ki Putih Kelabu “Bolehkah hamba masuk?”
“O, tuan Ketua . . . kenapa tidak?”
Hati-hati ia duduk. Hati-hati ia berkata “Aku mohon pertolonganmu. Dengan segala
kerendahan hati, dengan sepuluh jari tanganku disertai satu kepalaku, kumohon kau
obati si Peto Alam”.
Ki Putih Kelabu jadi terheran-heran melihat Sang Ketua begitu merendah. Dia jadi
kebingungan. Dan dengan nafas tersengal-sengal dia berkata menyerah “Mungkin tuan Ketua tidak percaya, bahwa bukan saya membuatnya”.
“Kalau begitu aku mohon petunjuk”, ujar Ki Karat. Ki Putih Kelabu berada di
persimpangan pikiran. Jika diberinya petunjuk, Pita Loka puterinya tercinta akan
menanggung akibatnya. Jika ditolak, penolakan ini tidak sesuai dengan sifatnya yang
dia punyai. Kalau berdalih, pasti Ki Karat akan tahu alasannya dibuat-buat. Lalu dia
Cuma bertanya “Kenapa tuan Ketua begitu bersemangat membela nasib seorang yang
tak ada kaitan darahnya dengan tuan?”
Di luar dugaan, itu membuat Ki Karat bukannya bersemangat, tapi mundur dan
berkata “Kalau begitu, baiklah aku akan atasi sendiri. Jika atap gagal diraih,
terpaksalah anak tangga terbawah yang kuperbuat. Kumaklumkan dari sekarang,
kucopot kedudukanku sebagai Ketua. Aku terpaksa menempuh anak tangga yang
terendah”.
Dengan cekatan beliau pulang. Mandi kembang dan berkata “Harimau Tunggal aku
terpaksa melepaskan ilmu yang kau berikan, demi nyawa Peto Alam!”
Pada detik itu juga, di sebuah guha di Bukit Tunggal di tempat pertapaan nya, lelaki tua keriput berambut putih tersentak dari duduk rapinya bersila.
Sebuah keris jatuh di hadapannya. Dibacanya huruf arab gundul pada gagang keris
itu, tertera nama Ki Putih Kelabu. Dan beliau cuma diam memegang keris itu.
Gagangnya terbuat dari kayu cendana mengering bagai areng pikulan. Dan batangan
logam keris berukir itu meleleh hancur berjatuhan di permukaan tanah.
Pada detik itu juga. Ki Lebai Karat dalam keadaan telanjang menebah dadanya
sendiri, “Aku kini Ki Gumilang yang dulu!”
Tindak-tanduknya jadi kasar. Dan ketika dia masuk ke rumah, dia dapati Harwati
tersenyum-senyum dan berkata “Dia sudah sembuh!”
“Apa kamu bilang?”
“Peto Alam yang ayah sayangi sudah sembuh. Saya kira dia sendiri yang
menyembuhkan dirinya, bukan saya dan bukan ayah”, ujar Harwati. Dan pada waktu
makan malam, Harwati berkata pada ayahnya, “Tahu ayah berita gembira yang perlu
saya sampaikan?”
“Katakan, anak tolol” bentak lelaki tua yang kini merasa Ki Gumilang.
“Hal pertama Hati saya luluh bahagia sewaktu ayah memeluk Gumara Dan hal kedua
yang membahagiakan hatiku Cinta saya berbalas!”
“Apa katamu, goblok!”
“Dia membalas ucapan cinta saya. Dia juga berkata, bahwa dia bersedia melamar
saya. Dan saya akan dengan segera menjadi garwa atau isterinya. Oh, ayah, betapa
bersyukurnya diriku sehabis musibah ini!”
Ki Gumilang Jalang tersenyum menyeringai. Dia geleng-geleng kepala, lalu tertawa
terkekeh-kekeh.
“Kalau kau bahagia dua kali, malam ini kumaklumkan padamu, bahwa aku benci dua
kali. Pertama benci pada diriku sendiri, kedua aku benci pada Gumara. Malu aku
kalau dia melamar kamu, Harwati!”
“Ayah, betapa takaburnya ayah!” seru Harwati.
Dan tiba-tiba lelaki tua yang amat dihormati itu membuat Harwati jadi ngeri. Sorot
matanya jalang. Biarpun dalam jarak jauh, seakan-akan mata ayahnya berkobar nafsu
sampai Harwati berteriak, “Ayah! Ayah akan jadi gila! Itu bukan sorot mata Ki Lebai
Karat yang mulia! Sorot mata ayah adalah sorot mata lelaki pejantan yang suka
melacur!”
Ki Gumilang bukannya jadi malu karena ucapan puterinya. Dia malah mendekat ingin
meraih rambut Harwati, tapi gadis itu segera melakukan tindakan cepat memutar
tubuh dan menyepak ke belakang sampai Ki Gumilang terjungkal setelah telapak Harwati mengenai dadanya.
“Baik, aku kalah”, kata lelaki tua itu.
“Nikahkan saya segera dengan Gumara!”
“Oh, itu boleh saja”, ujar Ki Gumilang.
Dan dengan nada terharu, Harwati berkata, “Terimakasih untuk ayah. Terimakasih
untuk Ketua Harimau Yang Enam atas dikabulkannya permohonan ini. Tapi kapan
ayah menerima Guru Gumara Peto Alam untuk melamar saya?”
“Pertama akan kujawab dulu soal yang sulit untuk dirahasiakan lagi. Kau tentu sudah melihat bahwa ayahmu sudah berubah”, kata lelaki tua itu.
“Memang hari ini saya lihat ayah halus, tapi kepadaku berubah kasar, Toh ayah
sayang pada Gumara, dan sayang pada saya. Buat apa lama-lama ditunda perkawinan
kami?” tanya Harwati.
“Perlu kau ketahui mengapa aku berubah watak?”
“Tidak perlu, yang perlu kawini kami segera”, ujar Harwati.
“Itu soal ringan. Tapi soal pelik yang menggoncang jiwaku sekarang ini mesti kau
ketahui. Dulu, ataupun malam ini, pada hakikatnya aku tak sudi kau mencintai
Gumara, begitu pun aku tak sudi Gumara mencintai kau, Apalagi Gumara kawin
dengan kau!”
Harwati terdongak mendengarnya. Dia cepat membalik dan menuding.
”Kenapa ayah tidak semulia dulu?”
“Karena aku tak patut dimuliakan lagi. Tanyalah pada Ki Putih Kelabu, bahwa aku
telah mencopot gelar Ketuaku di Kumayan ini. Hanya karena Gumara. Lalu, apa masuk akal kalau lamarannya kuterima?”
“Lidah ayah kini bercabang! Harimau yang aku segani, ayah yang aku hormati, kini
lidahnya tak dapat dipercaya lagi. Sebentar setuju, sebentar menolak. Di mana
pendirian ayah yang sebenarnya?”
Lelaki tua itu hanya diam. Hatinya sedang membeku, Lalu secara mendadak dia tarik kaki kursi kecil dan dia lempar kursi itu pada Harwati. Harwati kaget ketika ayahnya meloncat mau menerkam dia. Dia terpaksa mengeluarkan tangkisan dengan tendangan
melurus ke leher ayahnya sampai ayahnya tersungkur. Tapi, kali ini sang anak terheran-heran. Pencak silat itu, yang diajarkan ayah, sepertinya tak mampu ditangkis ayah, Kenapa? Jiwanya berubah, raganya pun tidak memperlihatkan kemampuan bersilat seorang Ketua. Apalagi Ketua Macan. Dan Harwati tambah kaget karena dilihatnya ayahnya pingsan! Jagoan pingsan?
Dan ternyata kemudian, sebelah badan ayahnya lumpuh. Harwati kuatir ilmu ayahnya
yang dulu itu sudah pudar. Mungkin sebagaimana ilmu itu rumah yang dikontrak penghuninya, penghuninya pergi karena kontraknya habis.
Pagi buta, Harwati mendatangi Gumara. Gumara senang dan mengulangi ucapannya
kemarin “Terimakasih karena kamu yang pertama ketika saya sadar dari kemabukan
aneh itu. Tapi tentu terimakasih pada ayahmu yang baik hati. Dan barusan saja pergi
Ki Putih Kelabu dari sini setelah menjenguk saya”.
“Apa perlunya Putih Kelabu ke sini?” tanya Harwati.
“Mulanya kedatangannya ingin mengobati saya. Namun setelah dilihatnya saya segar
bugar, dia malahan heran. Setelah mengucapkan selamat sembuh, dia pergi. Barusan saja dia pergi”, ujar Gumara.
“Hampir aku curiga atas kedatangannya”, kata Harwati.
“Apa lagi yang perlu kau curigai. Toh sebentar lagi aku menjadi suamimu dan kau
jadi isteriku”.
Harwati tersenyum senang, lalu bertanya “Apakah tidak sebaiknya segera melamar?”
“Tak usah terburu-buru”, kata Gumara.
“Tapi ada kabar sedih. Ayahku lumpuh. Badannya mati sebelah. Aku kuatir ayah
berlarut dan mati, kita kehilangan waktu perkawinan yang tepat”, kata Harwati.
Gumara tercengang mendengar ayah Harwati bisa menderita sakit badan mati sebelah.
Bersambung...