Sebelumnya...
Kelabang itu terjengkang menelentang seketika.Malahan dia diinjak-injak oleh Ki Lebai Karat. Dan rupanya Harwati tersadar dari pingaannya karena bentakan ayahnya pada kelabang hitam tadi. Dia kemudian duduk. Dia belum tahu ada ayahnya di kamar pertapaan itu. Dia mencari-cari kelabang hitam yang menyengat keningnya tadi. Ketika dilihatnya kelabang itu sudah remuk, barulah Harwati sadar tentu ada seseorang yang menginjaknya.
Barulah dia menoleh sekeliling. Tolehannya terhenti pada wujud ayahnya yang duduk tenang di korsi goyang. Dan Ki Karat pun berkata “Terpaksa kubunuh si penjaga itu hanya karena kelakuan kau. Memang kitab itu, Kitab Pikat itu, aku sengaja
sembunyikan. Sudah kuterka sekali waktu kau akan mencarinya. Tapi dengan menggembognya, itu berarti termasuk kamu dilarang membacanya.”
“Kenapa ayah?”
“Kitab Pikat itu penemuanku sendiri setelah selesai berguru pada Ki Macan Tunggal.
Sesungguhnya dia sebuah kitab yang buruk dan merusak. Jadi kuharap, jangan sekali-kali kau baca kitab itu, sekalipun si kelabang penjaga sudah mampus. Aku tahu, kau amat cinta pada Peto Alam. Tapi masih banyak pria yang mungkin lebih baik sebagai
dampinganmu. Cinta itu berbuah perkawinan. Kau bukan sakedar dampingan suami, tetapi isteri itu harus menjadi garwa suaminya . Tahukah kau arti garwa ?”
“Tahu, ayah, ketika Wati berusia 12 dan mulai menstruasi, ayah menerangkan arti
garwa itu. Saya mohon maaf dan ampunan ayah atas kelancangan saya”, lalu dia meraung dengan suara ratapan yang menghibakan hati.
Hati Ki Lebai Karat memang hiba. Tetapi dia tidak ingin mewarisi pada Harwati ilmu memikat yang dangkal. Dan batinnya tetap tidak rela apabila Harwati justru akan
menjadi garwa bagi Gumara Peto Alam.
Kemurungan Ki Lebai Karat itu membuat kawanan empat sekawan Harimau Kumayan yang dipimpin Ki Lading Ganda, adalah termasuk yang ditolak oleh ayah Harwati. Empat lelaki tua itu pulang dengan kecewa, juga orang-orang yang akan berdukun kecuali yang sakit keras.
Dan sejak larangan ayahnya itu dimaklumkan, Harwati tetap saja mengukuhkan
perasaan cintanya pada Gumara. Tapi memasuki pekarangan Gumara, dia tak berani.
Dan takkan pernah berani, sebab dia tahu jika ayah mengutuk seseorang. Akibatnya
akan selalu negatif.
Dan di sekolah, pada hari Kamis itu, seluruh murid tercengang ketika melihat Guru Gumara jatuh pingsan sewaktu mengajar, Guru itu digotong murid lelaki, namun
Harwati ikut memegangi kepala Gumara sambil berdesih-desih membaca mantera bagi seseorang yang pingsan. Harwati gembira, manteranya kabul dan Guru Gumara sadarkan diri di ruang Dewan Guru.
Tak ada desas-desus, Tapi hari berikutnya, ketika Guru Gumara mengajar !agi di
kelas IPA itu, ucapannya tiba-tiba aneh Saya sering pusing, siapa di antara kalian
yang sering bawa obat pening kepala?”. Semuanya heran membisu.
Hari demi hari, pribadi Guru Gumara berubah. Anak-anak SMP Kumayan membicarakan hal ini. Tetapi, yang paling cemas adalah Harwati. Dan pada suatu hari Harwati berkata pada ayahnya “Ayah, jika saya melaporkan hal ini pada ayah, jangan ayah mengira karena saya mencintainya, dan saya kepingin jadi garwa-nya. Ini adalah soal Prikemanusiaan”.
“Mengenai nasib Gumara?” tanya Ki Karat.
“Ya”.
“Aku sudah lebih dulu mendapat berita”.
“Dari mana?”
“Dari Harimau Yang Empat, dipimpin oleh Ki Lading .Ganda. Semua laporannya masuk akal.”
“Tentang pergunjingan orang mengenai Guru Gumara?”
“Ya, tentang si Peto Alam itu. Mulanya kukira karena Lading Ganda merasa iri tak
habis-habis kepada Ki Putih Kelabu,”
“Nah, itulah yang akan saya laporkan”, ujar Harwati gembira, “Yaitu terlibatnya Ki Putih Kelabu dalam penyakit aneh Guru kami itu, Pak. Seakan dia diperbuat malu di
hadapan murid-murid. Tapi kami murid-murid tidak terpengaruh oleh kegugupan, mudah lupa kadangkala ketololan Pak Guru kami itu. Saya sudah mempengaruhi teman sejak awal, bahwa pasti Pak Gumara dikerjain orang. Pendeknya, wibawa Pak Gumara tidak menurun.
Soalnya, Ayah . . . kasihan kita pada dia. Kita harus selidiki siapa yang bikin gara-gara . Saya cenderung untuk menduga ini semua perbuatan halus dan licik Ki Putih Kelabu. Dia membalas penghinaan terhadap Pita Loka.
Bayangkan halusnya teluh Ki Putih Kelabu. Sudah 21 hari Pita Loka melarikan diri, baru akhir-akhir inilah muncul penyakit aneh Pak Gumara”.
Ki Lebai Karat terdiam. Ia sebetulnya kagum pada puterinya. Masuk akal memang,
yang mengerjai Gumara adalah Ki Putih Kelabu. Memang teluh. Tapi lelaki tua ini
berkata yakin “Ki Putih Kelabu mungkin saja terluka hatinya. Tapi dia tidak sejahat
Lading Ganda”.
Harwati jadi tidak puas. Namun dia kembali lega ketika ayahnya berkata “Nanti akan kupilih hari memanggil dia. Kalau dia tak datang, itu suatu tanda bahwa dia perlu
dicurigai”.
Keesokan harinya, ketika melalui jalan yang melewati rumah Guru Gumara, Harwati
mampir. Mampirnya dia kebetulan terlihat oleh Hura Gatali. Hura Gatali menyelidiki
di bawah pohon randu depan rumah Gumara. Harwati mengabarkan usulnya kepada ayahnya, agar sang guru bersimpati padanya. Gumara berkata “Sebetulnya aku tak ingin melibatkan hal ini melalui ayahmu. Tapi nyeri di kepala ini menyebalkan sekali”.
“Yang semacam mimpi aneh, pernah Pak Guru alami ndak?” tanya Harwati, Gumara
hampir menceritakan mimpinya yang dua kali, yaitu ketika dia mimpi Pita Loka di Bukit Kerambil disergap kera dan mimpinya tentang Pita Loka yang terjebak dengan ahli-ahli sihir di Bukit Cangang.
“Yah, tak usahlah aku ceritakan”, ucap Gumara.
“Katakanlah, supaya ayahku dapat mempermudah pemecahannya”, kata Harwati.
“Mimpi itu mengerikan, semalam . . .. Ah, tak usah saya ceritakan. Mari kita
berangkat ke sekolah, sudah dekat setengah tujuh”, kata Gumara. Nah, ketika turun
tangga rumah di pekarangan, Hura Gatali yang penuh selidik itu pun mulai nguping.
Dia mendengar percakapan Gumara dan Harwati.
“Katakanlah mimpi Pak Guru itu”, ujar Harwati.
Saat itu Gumara kebetulan kurang kontrol. Penyakitnya kambuh. Dan dia bicara tanpa tahu akibatnya, padahal dia ingin merahasiakannya agar orang-orang Kumayan tidak
bertambah jengkel pada Pita Loka atau Putih Kelabu.
Gumara bercerita, didengar baik oleh Hura Gatali “Begini, Wati. Tadi malam itu saya menjadi yakin, bahwa Pita Loka sudah berguru pada ahli-ahli sihir dan teluh di Bukit Cangang!”
“Astagfir, ya Tuhan!”
“Dia berguru di sana, mungkin ilmunya kelak akan sejalan dengan Lading Ganda”
Mendengar ucapan ini, Hura Gatali yang sembunyi di balik pohon randu menjadi geram. Ditunggunya sampai Gumara lewat dua langkah, lalu dia hantam dengan tendangan ke sudut pinggang.
“Aduh, sakitnya!” teriak Gumara. Dia seperti orang mabuk. Geraknya lamban . Dia
hanya menangkis tidak pernah menyerang. ia seperti satria mabuk. Tiga sampai lima
kali tendangan Gatali ditangkisnya jatuh bangun. Harwati menjadi murka sekali, lalu
dia lepaskan tendangan giling-tebu hingga Hura Gatali jatuh jungkir balik kayak orang bersalto . Hura Gataili jadi ragu. Gumara seperti mabuk mendekatinya, dan menyodokkan kepalanya ke perut Hura dengan lamban.
Kepala itu dipelintir oleh Hura.
Pelintiran itu menyebabkan Harwati dengan buas melakukan tendangan berbalik
badan tepat mengenai dada Hura Gatali. Darah kental menyembur seketika dari mulut pemuda yang sempat dikenal sebagai Pahlawan Ular Sanca itu. Dia tersungkur. Lalu
Harwati menggunakan kesempatan itu menyeret tubuh gurunya sekuat tenaga, masuk kembali ke pekarangan rumah Gumara.
Gumara tersenyum, lalu meronta minta dilepas. Dia macam orang gila merangkak
memasuki pintu rumah. Harwati kehilangan akal. Dia mau melihat dulu keadaan di luar. Di luar, di tempat Hura jatuh muntah darah, dia pun tak ada lagi di situl Harwati kalang kabut kembali dia masuk rumah, dan didapatinya Gumara bukan duduk, tapi macam binatang berkaki empat layaknya. Telapak tangan di lantai papan, dan dengkul pun menekan lantai. Raut wajahnya macam orang bodo.
Harwati segera berlari kencang menuju rumah, Dengan nafas sesak, dia masuk rumah,
“Ayah! Ayah! Ayah!” Ki Lebai Karat tak di rumah. Ternyata beliau dengan lewat hutan kecil menempuh jalan pintas yang begitu kencang langkahnya sampai merobohkan sekian pohon pisang, pohon petai cina ataupun pohon akasia lainnya.
Bersambung...