Sebelumnya...
Gumara terpaksa jadi marah. Kemarahan inilah yang diharapkan Lading Ganda. Berdiri merentak, Gumara berkata merentak pula “Jangan lamar aku. Sebab aku ingin hidup membujang!”. Ki Lading Ganda bagai mencegatnya. Lalu orangtua itu berkata, “Penolakan berarti penghinaan. Kalau anda jantan, jangan dulu pergi. Layani dulu permintaanku.
Aku ingin mencoba ilmumu.”
Gumara tenang. Teramat tenang. Matahari sore agak menyilaukan Gumara yang sedang berdiri berhadapan dengan Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda menggertaknya “Jika kau tak menyerah, kau akan kuhabisi sekarang!”
Langsung saja lelaki tua itu dengan dua tangannya mencabut dua buah golok dari
pinggangnya. Dalam sekelebatan golok itu diadunya dan menciptakan kilatan api dan
bunyi nyaring, Golok itu seketika berubah menjadi satu golok yang bergagang kembar
dan bermata dua.
Gumara berdiam diri, namun tak mengucapkan kata-kata menyerah. Tetapi hatinya
menganggap ilmu si tua ini amat rendah. Sekelebatan tampak olehnya sinar yang melayang mau menebasnya, membuat Gumara merunduk menjatuhkan diri sebab sinar itulah sinar mata golok yang mau menebas lehernya. Begitu dia menjatuhkan diri, Ki Lading Ganda menyerang dari belakang, tetapi kaki kanan Gumara menuat menangkis dengan putaran. Tepat mengenai Ki Lading Ganda sampai ia terjengkang.
Gumara tidak mengambil sikap menyerang, melainkan bertahan. Terutama menyalurkan ketenangan nafas. Waktu dia hendak berdiri, satu kilatan menghantam bahunya. Golok itu tepat mengenai bahu kanan, tetapi golok itu membal, terpelanting lepas dari tangan Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda sudah menduga bahwa itu akan membuat tangan kanan Gumara copot. Kini dia terpelongo, terheran-heran. Dia tidak memungut goloknya. Tapi cepat menghatur sembah sungkem layaknya, berlutut dihadapan dengkul Gumara. Katanya, “Anda rupanya diam-diam punya ilmu kebal.”
Gumara berpekak-telinga seolah tak mendengar. Dia melangkah, dengan maksud
meninggalkan Ki Lading Ganda. Tetapi Ki Lading Ganda menungkai dengan kakinya sehingga Gumara jatuh tersungkur. Dia bangun lagi. Tapi lalu pergi setelah membersihkan tanah yang diciumnya oleh mukanya sewaktu tersungkur tadi.
Ki Lading Ganda masih duduk di puncak Bukit Kumayan itu bagai terpesona. Setelah
diambil goloknya yang tadi terpelanting itu, lalu golok itu ditetakannya ke keningnya.
Sebuah dari kembarannya meloncat ke udara, dan disanggep oleh tangan kiri Ki Lading Ganda. Dengan serempak kedua golok itu masuk ke sarung-sarungnya kiri kanan di pinggang lelaki tua itu.
Ketika Gumara tiba di rumahnya, ia kaget melihat sudah tersedia hidangan di meja
selain rantang kiriman Pak Yunus. Lalu muncul Harwati dari dapur„ Rupanya dia!ah yang telah memasak makanan siang ini.
“Jika ayahmu tahu, kurasa dia akan marah kau ada di rumahku”, kata Gumara. Dan
memang benarlah apa yang dikatakan Gumara senja itu. Setiba di rumah Harwati dipanggil oleh ayahnya.
Sebelum ayahnya bicara, Harwati berkata “Sudah banyak orang yang mau berobat pada ayah.”
“Katakan pada mereka, hari ini aku tidak melayani tamu, kecuali orang yang sakit
parah.”
“Tapi ada satu tamu, pejabat penting darikota , ingin minta perkukuh jabatan pada bapak, katanya. Malah dia ingin didahulukan”, ujar Harwati.
Dengan langkah geram Ki Lebai Karat keluar dari ruangannya menemui tamu itu.
Dan tamu itu memperkenalkan diri sebagai tamu darikota . Drs. Jamal Wangsadan
menyatakan hasratnya untuk diangkat sebagai walikota.
“Oh, itu mudah saja. Tuan tak usah mendatangi Ki Karat. Berbakti pada kepentingan
rakyat dengan baik, sampai Pak Gubernur tahu bahwa anda paling tepat untuk menjadi walikota. Itu saja. Saya kira tuan sakit atau berkelahi dengan isteri.”
Ucapannya yang kedengaran angkuh itu membuat Drs. Jamal Wangsa pun mengimbanginya dengan keangkuhan.
Katanya “Saya kira, begitu saya dengar bapak adalah dukun sakti, bapak dapat
berbuat segala-galanya.”
“Oh, yang bisa berbuat Segala-Galanya itu, cuma Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam. Bukan saya. Saya rasa tuan salah alamat”, kata Ki Karat.
Lalu Ki Karat menyuruh masuk seorang ibu tua yang lumpuh, Setelah Ibu tua lumpuh
itu ke luar lagi sehabis diobati, ia tak lagi dibimbing. Ia malahan menolak untuk
dipegangi. Ia melangkah dengan sempurna. Sehabis seluruh pasien di obati oleh Ki Lebai Karat, kini Harwati mendengar namanya diteriaki oleh ayahnya. Dia merasa nada itu tinggi, terlalu tinggi, dan benarlah ramalan Pak Guru bahwa dia akan di marahi. Wajah ayahnya setelah berhadapan tampaknya begitu geram.
“Aku tidak setuju kau terlalu rapat dengan Peto Alam.
Gumara Peto Alam itu hanya tepat sebagai guru sekolahmu, saudaramu dan bukan
calon suamimu. Orang menyampaikan kau sibuk memasaki di rumahnya, padahal rumahnya tak pernah ada asap dapur sebab dia menerima kiriman rantangan dari guru Tarikh,”
Mendengar kata-kata ayahnya itu, Harwati berlinang airmata. Dan dia tampaknya
melawan dengan tudingan tuduhan “Pantas ayah begitu senang mendengar Pita Loka pergi berguru ke Bukit Tunggal. Jadi ayah lebih rela apabila kelak Pita Loka menjadi isteri Gumara Peto Alam ketimbang aku, ya?”
Ayah yang berbudi itu lalu membelai kepala Harwati setelah tak kuasa mendengar
isak tangis anaknya, Katanya; “Gumara itu bukan dampinganmu, nak!”
Dibelai dengan ucapan yang begitu, bukannya membuat Harwati lega, malahan
tambah terisak-isak. Semalannan dia tak dapat tidur. Menjelang subuh tiba, Harwati
menemukan keputusan sendiri. Dia secara rahasia memasuki kamar-pertapaan ayahnya. Dibongkamya semua buku yang berisi mantera-mantera yang bertulisan arab-gundul. Tanpa tanda baca. Tapi Harwati dapat membacanya karena tulisan arab-gundul itu bukan berbahasa Arab melainkan mantera-mantera berbahasa daerahnya sendiri. Karena kamar ini jarang dimasuki ayahnya, Harwati bertambah tekun mencari satu kitab yang berisi rumusan-rumusan pikat. Kitab Pikat yang dicarinya itu agaknya disembunyikan ayah, fikirnya. Lalu dia melihat ada sebuah gembok pada lantai papan.
Rupanya ayah membuat lantai itu berpintu, Gembok itu membuat dia penasaran.
Karena dia harus mencari kunci. Dia cari tempat kunci itu. Dan dia temui. Semua
kunci dicobakannya pada gembok itu. Seluruhnya tujuhpuluh buah kunci. Dan pada kunci bernomor arabgundul 49, Harwati lega karena kunci itu cocok.
Pintu rahasia itu kini dia buka. Jika saja dia tidak diwarisi keberanian, tentu dia menjerit melihat seekor kelabang hitam berkaki 33 yang muncul dari lemari bawah
tanah itu. Kelabang hitam itu menatapnya lama, tapi lama-kelamaan mengerikan sekali.
Tiba-tiba Harwati menjerit sewaktu kelabang hitam itu melompat ke arah kepalanya.
Ki Karat yang sedang makan siang segera bertindak cekatan menuju kamar pertapaan.
Dia dapati puterinya pingsan, Dia langsung menoleh ke lemari bawah tanah yang
pintunya terbuka. Dia membaca-baca mantera. Lalu merangkaklah kelabang-hitam berkaki 33 itu. Begitu patuh. Begitu ketakutan gayanya merangkak. Dia lalu merangkak ke kening Harwati. Tambah ada beberapa tetes seperti minyak yang dipoleskannya dengan sungutnya ke kening yang membundar biru itu. Makin lama kening itu berkurang birunya, tapi Harwati belum sadarkan diri. Tampaknya kelabang hitam itu sudah menyelesaikan tugasnya, lalu kembali menuju sarangnya, yakni lemari rahasia tadi. Ketika kelabang hitam itu hampir pada tepi pintu, Ki Karat membentak ke arahnya; “Mampus kau!”
Bersambung...