Sebelumnya...
Pita Loka tidak sedikitpun mengurangi remasan dan tekukannya, membiarkan kera besar itu menjerit-jerit. Pada saat yang sudah dianggapnya tepat, Pita Loka membungkuk sedikit untuk mengambil tenaga mengentakan tubuh untuk membanting kera besar itu. Bantingan itu sangat sempurna!
Kera besar itu menggelepar begitu terjengkang di tanah. Dan pita Loka cepat
melarikan diri ketika dia melihat adanya batu bersusun kayak tangga. Dia tidak
terjebak o!eh jalan lurus di depan, karena dia menduga dalam sedetik bahwa itu cuma
jalan “ke luar” jebakan lagi. Betullah. Setelah sekuat tenaga dia naik tangga itu
tampaklah rumpunan pohon-pohon kelapa dan dia lintasi pohon-pohon kelapa itu
mengarah ke Bukit nun jauh disana , yang tak lain tentulah Bukit Cangang. Dia tidak
tercengang menatapi Bukit Cangang itu, tetapi dengan meluncur dia terus turun ke
lembah di bawah, berbelok-belok di sela-sela pohon petai cina.
Dan pada tengah hari, Pita Loka sudah sampai pada lembah yang terbawah. Nafasnya
sesak, dan sungai yang mengalir itu membuat dirinya tambah sesak nafas. Lalu rasa
haus mulai menggodanya. Tapi dia ingin mempertahankan tekad bulat untuk tetap
berpuasa 40 hari siang malam dalam perjalanan ke Bukit Tunggal.
Tiba-tiba dia memutuskan untuk menyeberangi sungai itu. Ketika dia mencelupkan
kaki, dirasanya betapa nikmatnya air pada telapak kakinya. Menyegarkan tubuh
secara menyeluruh! Namun Pita Loka tak tergoda berlama-lama mencelupkan kaki.
Dia melangkah di air, dan terdengar bunyi kecipak air. Dia meloncat ke sebuah batu, Tapi ketika dia sudah meloncat pula ke batu yang kedua, mendadak muncul seperti
potongan kayu. Ternyata itu punggung seekor huaya. Adanya sungai yang berbuaya
itu pun tidak pernah dituturkan oleh ayahnya. Tapi satu hal yang membuat dia selalu
berani, karena ayah berpesan pada suatu malam dulu “Jika kau menemui halangan
menjelang tiba di Bukit Tunggal, kau mantapkan hati bahwa rintangan itu dapat kau
kalahkan.”
Kini Pita Loka bersikuat batin. Dia kumpulkan tenaga untuk meloncat ke batu besar yang dirintangi oleh punggung buaya itu. Punggung buaya itu hanya jebakan saja.
Lalu . .. .. setelah tenaga terkumpul dan batin membaja, Pita Loka meloncat ke batu
besar itu melangkahi dahan kayu jebakan punggung buaya itu. Satu pukulan keras
menampar tubuhnya sehingga Pita Loka jatuh terjerembab ke permukaan batu.
Dianggapnya saja punggungnya tak sakit.
Lalu dia berdiri tetapi di hadapannya dia melihat ada benda kayak gergaii yang mau menampar mulanya. Pita Loka tidak mengelak. Dia nanti beberapa detik menjelang
benda itu tepat untuk dipegang sebelum menampar. Seketika dia pegang saja ekor
buaya itu, yang licin, namun akhirnya terpegang erat, yang kemudian ternyata sebuah
kaki manusia.
Manusianya menggelepar dalam sungai, berkecipak-kecipak.
Pita Loka berusaha agar tidak kecebur. Dia terus bertahan dengan dua telapak kaki bagai dipakukan pada permukaan batu besar itu. Dia biarkan manusia yang
menggelepar itu mereguk air sampai pengap dalam usaha membebaskan diri dari
cengkeraman cekatan tangan Pita Loka. Setelah dia sesak nafas, Pita Loka menghela
ujud manusia itu. Yang ternyata lelaki tua berkaki satu. Pita Loka bersikuat hati untuk
tidak terbujuk oleh rasa kasihan padanya, karena kuatir rengek si tua hanya jebakan.
Malahan dia segera melompat ke sebuah batu dan kemudian ke batu-batu yang
menyembul di permukaan sungai, sampai dia mencapai tepi sungai di seberang itu.
Dia tidak tunggu waktu tergoda haus oleh wanginya bau sungai. Dia terus memanjati
tebing dengan berpegang pada akar-akar besar. Lalu memanjati Bukit Cangang.
Dikumayan, malam itu Gumara berteriak nyaring karena sebuah mimpi. Teriakan ini
membuat Talang Padu, jirannya di sebelah rumah yang dibatasi kebun sirih, terbangun dan segera menuju rumah Gumara. Diketuknya pintu rumah guru yang dikenalnya amat berbudi itu,
“Siapa?” tanya Gumara menghapus keringat.
“Saya, Pak Talang”, sahut Talang Padu.
Talang Padu dikenal baik oleh Gumara setelah mendapat keterangan dan Harwati. Dia bernama Sariman, tapi setelah berilmu dia digelari Ta!ang Padu. Dia terima gelar itu setelah bertaubat dari ilmu hitam dan cuma bertani dan bersembahyang saja setelah
bertobat itu. Begitu Gumara membuka pintu, Talang Padu masuk.
“Sepertinya nak Gumara cuma bermimpi”, kata Talang Padu.
“Ya. Saya mimpi melihat seorang yang saya kenal sedang disihir oleh ahli telepati di satu bukit”, kata Gumara.
“Oh, saya tahu bukit itu, Bukit Cangang. Di situ berkumpul ahli sihir, dan bahkan
saya pun sebelum bertobat menuntut ilmu sihir disana . Yah, tak mungkin nak Gumara tak diceritakan orang mengenai masa silam saya. Saya punya masa silam yang buruk, yaitu gemar mengganggu rumah tangga orang yang sedang damai.
Caranya menaruhkan sebuah batu di talang air rumah orang yang damai suami isteri
itu. Setelah itu, batu yang sudah saya isi dengan sihir itu akan menciptakan
pertengkaran rumah tangga. Akhirnya Ki Putih Kelabu yang menaklukkan saya sampai saya digelari si Talang Padu.”
Setelah bicara tentang dirinya, kini dia bertanya “Boleh saya tahu siapa orang yang anda kenal dalam mimpi itu?” Gumara menggelengkan kepala. Dia memejamkan mata sambil mengingat mimpi yang barusan berlalu. Mimpi itu masih segar. Tampak olehnya Pita Loka dihadapkan pada duabelas orang tua. Karena tidak sudi menjadi murid, satu dari 12-tua itu mencekik leher Pita Loka. Ketika itulah karena kasihan menyaksikan, Gumara menjerit dengan teriakan ketakutan ........ lalu dia terbangun dalam keadaan mandi peluh.
Talang Padu lalu pamitan pulang. Dan Gumara tak dapat tidur hingga pagi. Paginya
setelah dia berkemas untuk menomon pertandingan olahraga volley, muncullah Harwati dalam pakaian celana panjang olahraga berwarna merah berstrip dua putih.
Dalam pakaian “training” itu, Harwati tampak lebih jelita dan gagah. Dia akan
memperkuat regu SMP melawan regu Muspida.
Lalu Harwati berjalan seiring dengan Guru Gumara.
“Saya tadi pagi dapat informasi dari ayah”, ujar Harwati.
“Informasi? Mengenai apa?”
“Adainfo mengenai Pita Loka. Dia rupanya bukan minggat. Tentu saja ayahnya
merahasiakan kepergiannya.
Ayah barusan kembali dari tempat pertapaan, dan menerima wangsit bahwa Pita Loka
sedang menuju Bukit Tunggal untuk menuntut ilmu ghaib pada Ki Harimau Tunggal.
Anehnya, ayah gembira!” Harwati menunggu reaksi Gumara. Tapi Gumara merahasiakan mimpinya semalam. Dia berdiam diri.
Juga sehabis pertandingan volley, Gumara berdiam diri. Dia menolak Harwati untuk
pulang bersama. Dan ingin jalan sendirian ke suatu tempat. Dia ingin duduk di puncak
Bukit Kumayan, bukit satu-satunya di sebelah kidul yang tidak ditumbuhi pohonan.
Anehnya, bukit itu bundar. Dan mungkin di situ ada kadar menyan yang banyak, atau bisa juga seluruh bukit bundar itu adalah bukit menyan. Menikmati bau menyan di
Bukit Kumayan itu, bukan menciptakan ketenangan. Malah dia gelisah. Lebih heran lagi muncul Lading Ganda. Lalu Ki Lading Ganda berkata “Hati-hati duduk di bukit yang seluruhnya berisi menyan raksasa ini. Kalau di sini terjadi perkelahian, maka yang mati akan masuk ke tanah tak ke luar lagi jadi tumbal dan jadi batu menyan.”
Gumara hanya melirik. Ki Lading Ganda lalu bersimpuh menghadap pada Gumara yang bersimpuh pula. Ki Lading Ganda berkata “Percuma tuan guru mengingat Pita Loka di sini. Karena aku mendapatkan ilmu peramal dari guruku, aku ingin menyatakan ramalanku!”
“Tak usahlah, Ki. Saya tak percaya ramalan”, ujar Gumara.
“Namun ingin saya nyatakan. Saya ramalkan Pita Loka bukan minggat sebab malu
dipecat, tapi melarikan diri ke satu tempat menuntut ilmu. Harimau yang enam termasuk Ki Putih Kelabu pasti sudah tahu ke mana perginya. Dia akan kembali ke Kumayan untuk jadi musuh tuan guru. Dan Harwati? Saya ramalkan takkan jadi isteri anda. Memang dia mencintai tuan dan tuanpun mencintainya. Tapi lebih tepat jika tuan mengawini Keni, puteriku, adik si Pina.”
Keni memang cantik, Tapi Gumara diam. Dan Ki Lading Ganda menjebaknya dengan
berkata “Kalau anda diam, berarti setuju.”
Bersambung...