Padahal ada pemuda tampan dan gagah, yang dulu begitu baik, yang mencintaimu, koq kamu tolak cintanya? Apakah kau mencintai Gumara?” “Tidak, saya membencinya”, sahut Pita Loka. “Kalau kau sudah membencinya, apa tindakanmu selanjutnya?” “Aku akan memohon suatu permintaan”, ujar Pita Loka seraya merangkul sang ayah.
Dan Ki Putih Kelabu merasa amat terharu karena belum pernah menyaksikan puterinya tersayang begini sedih dan pilu.
“Katakan, akan ayah kabulkan, Pita”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Aku mohon, malam ini juga, supaya ayah mewariskan satu saja ilmu mantera untuk
saya,” ujar Pita Loka.
“Baiklah. Mantera apa yang kau minta?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Mantera untuk membikin pikiran seseorang menjadi kacau” ujar Pita Loka.
“Ha? Wah, itu tak baik, aku tak mau!” Ki Putih Kelabu menolak tegas.
Pita Loka menangis sejadi-jadinya. Dia peluk ayahnya erat, lalu berkata “Belum
pernah saya meminta pada ayah. Saya telah dibuatnya malu. Kali ini saya ingin membalas malu itu.”
“Tidak bisa, Pita”, ujar sang ayah berat.
Dia tetap merasa berat, sekalipun sudah tiga jam Pita Loka menangis sampai larut
malam, sampai bengkak matanya. Ki Putih Kelabu, demi cintanya pada anak gadis
tunggalnya, akhirnya menyerah, “Kendati berat, terpaksa kuberikan. Tapi selesai
membaca mantera itu, kau harus meninggalkan Kumayan, sekalipun tebusannya
adalah mati bagimu.”
Airmata Ki Putih Kelabu tertahan lalu bercucuran melihat Pita Loka begitu teguh
ampuh berkonsentrasi membaca mantera itu, dengan telunjuk bergerak di atas sebuah
piring sebagai syaratnya. Ketika telunjuk itu berhenti, Ki Putih Kelabu terdongak
kaget, dan, berseru, “Cepatlah pergi dari sini”,
Rupanya Pita Loka sudah slap untuk pergi. Begitu cepat langkahnya ke luar masuk
hutan rimba, menjelang matahari terbit dia sudah melewati Bukit Anggun dan tanpa
istirahat dia mulai mendaki Bukit kedua, Bukit Kerambil.
Gumara resah seharian. Biasanya, sepulang dari mengajar dia masih sempat
membaca beberapa buku-buku atau catatan. Hari ini, sehabis makan siang dia langsung mengantuk dan tidur. Dan sewaktu bangun dari tidur, dia kembali resah tanpa tahu sebab-sebab keresahan.
Keresahan itu tampak ketika dia mengajar matematika atau fisika di depan kelas. Hal ini diketahui hanya oleh seseorang yang memperhatikannya dengan cara saksama.
Dan yang memperhatikan hal itu adalah Harwati. Maka pada jam istirahat terakhir,
Harwati sengaja mendekati Guru Gumara yang tidak berada di ruang Dewan Guru melainkan di bawah pohon flamboyan di pekarangan sekolah. Pak Guru sedang memegang dahan flamboyan yang merendah.
“Wah, kali ini koq Bapak ada di sini?” tanya Harwati. Gumara diam saja.
“Kalau pulang jalan kaki, boleh Wati menemani Bapak?” tanya Harwati. Juga Gumara diam saja.
Dan sewaktu guru itu pulang sehabis bubaran sekolah, dengan lngkah yang dipercepat seperti di”kejar”nya Guru Gumara. Setelah seiring, Harwati bertanya “Sudah tahukah Bapak, setelah dipecat si Pita Loka melarikan diri dari Kumayan?”
“Dia minggat?” tanya Gumara.
“Mungkin minggat. Hai ini diberitahukan sendiri oleh tuan guru Ki Putih Kelabu pada ayahku, Sebagai laporan bahwa puterinya pergi entah ke mana.”
Langkah Gumara dan Harwati terus menyelusuri jalan kampung yang kecil itu. Dan
Gumara tak memberikan komentar apa-apa.
“Saya duga Bapak sedih atas kepergian Pita Loka”, tuding Harwati.
Karena Gumara diam saja, Harwati mengepungnya dengan pertanyaan, “Apa Bapak
jadi risau begini karena mencintainya ?”
“Mencintai Pita Loka? Ah. itu cuma tuduhanmu”, kata sang guru.
“Kalau begitu apa yang membuat Bapak kelihatan murung ?”
“Entah, saya tak tahu.”
Harwati lebih mengepungnya “Jadi kemurungan Bapak bukan karena kepergian Pita
Loka dari Kumayan?”
“Sama sekali bukan,” sahut Gumara.
Alangkah senangnya hati Harwati mendengar jawaban itu. Hal itulah yang dia
harapkan, Tetapi anehnya, malam itu Gumara bermimpi! Dia bermimpi melihat Pita Loka sedang dikerubungi kera-kera besar di sebuah hutan. Ia menganggap mimpi ini ada takwilnya. Begitu terbangun, Gumara memikirkan takwil mimpi itu untuk mencari tafsirannya.
Dan anehnya, apa yang ada dalam mimpi Guru Gumara itu, memang sedang dialami
Pita Loka. Pita Loka berputar di sekitar lorong-lorong-sesat yang diperbuat penduduk
Bukit Kerambil. Dua hari dua malam Pita Loka berjalan di sekitar tempat yang sama,
digiring o!eh monyet-monyet kecil, Karena letih, Pita Loka duduk pada sebuah batu.
Seingat dia, ayahnya tidak menceritakan lebih terperinci mengenai lorong sesat Bukit Kerambil ini. Namun dia usahakan agar dia tetap memenuhi puasa, sebab puasa 40
hari itu musti dia lakukan sampai dia tiba di Bukit Tunggal tujuan terakhirnya.
Mendadak melompat ke depannya seekor kera besar.
Jelas itu raja dari kera-kera yang menggiringnya. Waktu itu matahari telah terbit. Pita Loka meneliti kera besar itu. Agaknya dia bukan kera, tapi manusia berwujud kera.
Tampaknya kera itu menawarkan kelapa yang sudah berlubang. Kelapa muda! Ah,
tawaran yang ramah, Pita Loka menggelengkan kepala. Kera besar itu memberikan contoh bahwa kelapa hijau yang diberinya itu untuk minum. Kera itu minum dan tertawa. Pita Loka langsung berfirasat, bahwa ini jebakan.
“Saya puasa, tuan”, sahut Pita Loka ketika kera besar itu sepertinya memaksanya
untuk minum. Lalu kera itu membelah kelapa itu, dan mengambil daging kelapa.
Baunya harum seakan menguji daya tahan Pita Loka yang sudah 3 hari berpuasa siang malam. Kera itu menggodanya dengan unjuk cara, memakan daging kelapa itu. Pita
Loka mengulangi penolakannya “Saya puasa, tuan.”
Untuk mengelak, Pita Loka melanjutkan langkah. Namun dia kembali lagi ke tempat
semula, dengan bukti bekas belahan kelapa hijau tadi. Pita berkata “Aku tak sudi
terjebak dalam labyrinth. Lorong sesat ini sengaja menjebakku untuk menetap di
Bukit Kerambil.”
“Ya, menetaplah di sini”, lalu dengan cepat Pita membalik tubuhnya dan mendengar
seorang berkata, ternyata memang manusia, berwujud orangtua. Orangtua itu memegang rantai.
“Jika kamu menolak, kamu kami tawan”, ujar lelaki tua itu.
Pita Loka melihat dirinya dikepung oleh kera-kera. Tetapi dia seketika itu juga merasa yakin bahwa dia mampu mengalahkan si tua, Dia tidak menunggu sampai kena rantai.
Dia hentakkan kedua telapak kakinya ke dada si tua itu dengan sekuat tenaga dan
loncatan macan. Lelaki tua itu memang terjengkang jatuh, namun bangkit lagi dengan gerak gerik menyeramkan.
Pita Loka tidak menunggu waktu sampai lelaki tua itu berdiri teguh. Langsung saja dia lompati dengan sebuah tendangan sebagaimana pemain bola sayap kanan
menendang bola ke gol dengan tujuan membobolkan gawang lawan. Di luar dugaan
tendangan itu mengenai rusuk lelaki tua itu. Lelaki tua itu tersungkur. Tapi kera-kera
yang mengepungnya tampak hanya menontoni saja.
Aneh! Begitu lelaki tua itu tersungkur, tampak ada jalan ke luar. Tampak bukit di hadapannya. Itulah Bukit Cangang yang dikatakan ayah! Pita cepat melarikan diri
melewati jalan “ke luar” di hadapannya. Tetapi kalau dia tidak cekatan, tentulah dia
sudah masuk ke jurang. Jalan “keluar” itu rupanya jebakan bagi siapa yang mencoba
melarikan diri dari Bukit Kerambil ini.
Bagai rem yang pakem, Pita Loka menghentikan langkah, sementara suara batu-batu
bergelundungan ke bawah menciptakan gema di lembah bawah. Pita Loka mau segera berbalik, tapi lelaki tua yang tadi dia sungkurkan kini telah mencegatnya.
“Pilihan hanya dua, anak perawan. Kalau terus mati masuk jurang, atau menyerah dan belajar pada kami”, kata lelaki tua itu.
“Belajar apa, tuan?” tanya Pita Loka berpura-pura ramah.
“Belajar ilmu silat kera,” sahut lelaki tua itu.
“Berapa lama pelajarannya?”
“Tujuh tahun”, sahut lelaki tua itu, mengulurkan tangan.
Uluran tangan itulah yang membuat Pita Loka mendapatkan siasat. Diterimanya jabat tangan itu, tetapi kemudian dia remas telapak tangannya dengan tekukan kuat,
sehingga lelaki tua itu mendadak mencakar-cakar Pita Loka. Setika dia berteriak
kesakitan, dia berubah menjadi seekor kera besar. Ya kera besar yang pertama
menawarkan minum air kelapa dan menawarkan daging kelapa.
Bersambung...