Sebelumnya...
Tekad Pita Loka semakin berkobar, ketika suatu pagi dia pergoki Harwati barusan saja ke luar dari rumah Guru Gumara. Kobaran itu tak lain dan tak bukan adalah tujuan untuk berguru kepada Harimau Tunggal yang tempat pertapaannya adalah di BukitTunggal. Pita Loka merasa pedih hatinya karena dia telah dipotong kompas oleh Harwati secara kurang jujur. Hatinya berkata “Suatu ketika, aku akan membalas dendam.”
Karena cemburu butanya itu, setiba Harwati di sekolah, Pita Loka mencegatnya.
Matanya bemyala, nafasnya sesak. Dia tidak lagi menggunakan akal sehat yang dia
agungkan selama ini. Dia langsung main todong tanya “Hai, sejak subuh atau sejak
semalam kamu di rumah Guru Gumara ?”
Harwati tahu apa maksud pertanyaan itu. Karena itu dia cuma berkilah, sekedar
memanaskan hati Pita Loka, dengan jawaban; “Itu rahasia pribadi.”
“Kau sudah melakukan persaingan tak jujur, Wati”, ujar Pita Loka.
“Itu wajar saja,kan ? Kurasa, aku sah yang pertama jatuh cinta dengan pandangan
pertamaku. Jadi aku berhak menghalangi siapapun untuk mencintai dia, dengan cara
apapun. Kejujuran dalam bercinta hanya bagi dua insan yang bercinta saja, kepada
siapapun di luar yang berdua, boleh saja kita berdusta. Dusta itu halal demi eratnya
pertalian hidup.”
“O, begitu falsafahmu ya?” Pita Loka mulai panas.
“Kau jangan coba adu tenaga denganku. Injak dulu olehmu bara panas dengan telapak
kaki telanjang, nanti baru kau berhak melawanku”, ujar Harwati.
Ucapan Harwati semakin memperteguh tekad Pita Loka untuk mendapatkan gelar
Harimau. Gumara tak berhak untuk mendapatkan gelar Harimau Yang Ketujuh, sebab
dia bukan orang aseli Kumayan, fikirnya. Aku akan mendahului dia sebelum penduduk Kumayan menobatkannya sebagai harimau terakhir di negeri ini.
“Berani kamu menginjak bara api?” tanya Harwati menantang.
Pertengkaran itu dekat pagar. Kebetulan ada orang merokok di warung. Harwati
meminjam rokok orang itu dan mendemonstrasikan ilmunya. Te!apak kakinya yang bersih kemerahan itu, disundutnya dengan api di ujung rokok. Perlahan, perlahan, dan
dengan perlahan api itu padam. Harwati langsung berkata “Lihat, api padam, tapi tak
ada bekas melepuh atau memar di permukaan telapak kakiku. Kau mau coba seperti
yang kulakukan tadi?”
Pita Loka jadi malu, kuatir dia akan gagal.
Dengan sedih tanpa sepatah kata pun, dia masuk kelas. Dalam kelas, pelajaran guru-guru lain, diperhatikan dengan tekun. Terutama ketika ibu Wamiri mengajar mata
pelajaran Sejarah. Pita Loka bertanya “Apakah ibu pernah mendengar nama Harimau
Tungga!?”
“Siapa itu, Pita ?”
“Dia seorang pahlawan besar. Apa tercatat dalam sejarah, Bu?”
“Kita kurang mengenalnya. Mungkin dia pahlawan kecil, pahlawan lokal”.
“Memang seorang Pahlawan, tidak selalu mesti terkenal. Ketika patroli Belanda akan menyerbu desa Kumayan, pahlawan tak dikenal Harimau Tunggal membiarkan tank-
tank musuh itu lewat, Lalu dirubahnya pandangan mata Belanda itu, sehingga semuanya Jatuh masuk tebing. Ketika itu orang berfikir cuma suatu kecelakaan, Bu Guru. Dan Harimau Tunggal tidak menceritakan kisah kepahlawanan itu kecuali pada ayah saya. Maka ia tak dikenal, dia dianggap sebagai pahlawan lokal. Padahal 20 tank musuh yang masuk jurang, Bu!”
“Terimakasih atas keteranganmu, Pita. Tapi ada pertanyaan lain sejalan dengan mata pelajaran yang barusan ibu berikan pada kalian?”
“Adalagi, Bu”, ujar Pita Loka.
“Silahkan, Pita!”
“Guru tidak pernah disebut oleh sejarah, Karena itu bisa saja seorang Hitler yang tak bermoral diejek-ejek oleh sejarah. Tapi guru yang tak bermoral tak pernah diejek oleh Sejarahkan Bu?”
“Siapa guru yang tak bermoral, Pita?” tanya Bu Wamiri.
“Yaitu guru yang bermain cinta dengan murid perempuan”, ujar Pita Loka.
Seisi kelas tertawa berderai, dikira Pita Loka melucu. Padahal wajah Pita Loka tetap saja geram. Dan dia tetap saja berwajah geram sewaktu Guru Gumara memasuki
kelas. Seperti biasa, dia mengembalikan buku-buku PR yang sudah beliau periksa.
Pita Loka menerima buku PR-nya, dan tentu dapat angka 10. Kemudian, seperti biasa,Gumara berkata, “Kalian akan bapak berikan rumus baru.”
“Lagi-lagi rumus”, Pita Loka menggerutu.
“Siapa yang menggerutu itu?” tanya Gumara ramah.
Ketika dia menoleh mau melihat yang mengacungkan tangan, Gumara kaget. Sebab
selama ini Pita Loka paling getol dengan urusan rumus.
“Hai, koq kamu tiba-tiba seperti anti matematika?” tanya Gumara.
“Karena matematika tunduk pada rumus, maka matematika tidak mengenal moral.
Jadi saya berpendapat, matematika adalah musuh manusia”, ujar Pita Loka. Gumara
tenang, lalu berkata “Kalau tak suka, silahkan ke luar.”
Pita Loka bukannya sedih diusir dari dalam kelas. Malahan dia santai ke luar kelas.
Dan Gumara dengan tenang melanjutkan mengajar.
Tapi lebih dulu dia memberi komentar “Saya kagum pada orang pintar. Tapi saya
tidak suka pada orang kebelinger. Orang pinter sering kebelinger. Tahu kamu apa arti
kebelinger? Inilah rumusnya.”
Lalu Guru Gunnara menulis rumus matematikanya di papan tulis;
0 = 0
Barulah beliau mengajar rumus yang dia janjikan tadi. Hal ini tidak dibicarakannya kepada Dewan Guru yang biasanya duduk ngobrol pada jam istirahat. Tetapi keesokan harinya, ketika Guru Gumara memasuki kelas, dia melihat ada tulisan di
papan tulis
MATEMATIKA = TANPA MORAL
TANPA MORAL = MUSUH MANUSIA
MATEMATIKA = MUSUH MANUSIA
MUSUH MANUSIA = NOL (0)
MATEMATIKA = NOL (0)
NOL = NOL
0 = 0
Belum pernah Gumara marah dengan wajah merah padam. Kali ini wajahnya merah
padam. Dia langsung menuding PitaLoka “Kamu yang membuat rumus konyol itu?”
“Betul, pak. Apa hukumannya kali ini?” tanya Pita Loka.
“Saya akan mengusulkan pada Dewan Guru supaya kamu dipecat. Ini kelas, bukan
ruang sidang DPR, mengerti ?”
“Saya tidak mengerti”, ujar Pita Loka, “Kalau matematika saya mengerti Pak. Tapi
mengerti bukan berarti setuju.”
“Kalau kamu tidak setuju dengan kurikulum, silahkan minta berhenti.” kata Gumara.
“Saya tak akan minta berhenti. Saya lebih suka dipecat”, ujar Pita Loka.
Gumara menahan geram. Lalu dengan tenang beliau berkata “Keluar kamu.”
Tapi dengan tenang pula Pita Loka ke luar kelas. Juga dengan tenang ketika dia
menerimasurat pemecatan dari Kepala Sekolah yang disepakati oleh Dewan Guru.Surat itu diserahkannya pada ayahnya. Ki Putih Kelabu hanya menggeleng-gelengkan kepala “Aku tahu. yang kau benci bukan ilmu matematikanya. Tapi Gumara, guru matematikanya.
“Kenapa kau berubah picik?” Pita Loka tahu ayahnya marah, sekalipun berkata
lembut. Tapi semula dia kira, pemecatannya itu membuat ayahnya berpihak padanya.
Bukan pada Gumara, Maka dengan hati yang luluh, Pita Loka lari ke kamar, dan
membanting diri ke kasur.
“Yang membuat kau merasa begini, adalah soal jodoh. Soal yang ghaib, yang cuma
Tuhan Maha Tahu. Ayah tidak menyangka, kamu begini gila mencintai Gumara.
Bersambung...