Sebelumnya...
“Saya sudah pergi berobat pada dokter Kadir, pak. Sudah disuntik”, kata Pita Loka. “Kenapa tidak berobat pada ayahmu sendiri?” tanya Parlindungan. “Ayahku bukan seorang dokter”, sahut Pita Loka yang. membuat seluruh kelas heboh tertawa.
Tetapi, seharian mengajar itu, Guru Gumara risau. Dia kuatir apabila dia obati Pita Loka, akan muncul dua macam isyu. Isyu pertama adalah, dia akan dianggap dukun
sakti. Isyu kedua, mungkin dia dianggap mencintai Pita Loka.
Ketika Pita Loka pulang ke rumah, ayahnya tak didapatinya. Tapi jelas, ayah
tampaknya sudah makan siang,Ada bekas tanda-tanda sudah makan siangnya ayah.
Tapi kemana pula ayah pergi? Pita Loka menduga, ayah akan menempuh jalan
sendiri, demi cintanya padaku, mencoba mengembalikan sakit teluh ini kepada
pengirimnya.
Sehabis makan siang, Harwati muncul. Dia berkata ramah Ayoh ikut aku ke rumahku.
“Aku tahu kau risau melihat keadaanku. Dan kau akan minta bantuan ayahmu, sebab
dia Ketua Harimau Kumayan. Terimakasih atas simpatimu. Aku dapat sembuh
sendiri”. Harwati pamit pada Pita Loka. Setiba di rumahnya, kejadian yang dialami
Pita Loka diceritakannya pada ayahnya.
Ki Lebai Karat menjawab singkat “Kalau memang Pita Loka itu turunan syah Ki Putih Kelabu, dia akan sembuh sendiri”.
“Apa sikap ayah jika terjadi pertarungan antara dua harimau?”
“Maksudmu pertarungan Ki Putih Kelabu dan Ki Lading Ganda?” tanya Ki Karat.
“Jadi ayah mengetahui, teluh itu dibuat oleh Lading Ganda?”
“Ya, jika pun terjadi pertarungan, itu biasa di antara kami”.
Matahari mulai menggelincir. Tetapi dua lelaki tua itu masih saja bertarung sejak waktu asyar tadi. Jadi sudah dua jam lebih dua jagoan itu beradu tenaga. Tubuh
mereka sudah bercampur tanah lumpur. Sebagian lagi menyelip daun-daunan.
Memang, Bukit Anggun konon tempat berkelahinya harimau-harimau Kumayan.
Sebagian sisi bukit itu berlumpur tempat turunnya bangau-bangau. Kini, menjelang
magrib, Ki Putih Kelabu dan Ki Lading Ganda masih saja bertarung. Pertarungan itu
mungkin jadi lama karena tanpa senjata. Juga mereka sudah berjanji secara satria,
bahwa mereka satu sama lain tidak akan menjelma menjadi harimau.
Kini, nafas kedua lelaki tua itu mulai sama sesak.
Tanaman liar berupa pohonan kecil setinggi badan umumnya sudah rusak, Biarpun
lelah, kedua jagoan itu tak seorangpun yang mau mengusulkan dihentikannya perkelahian itu. Dengan sempoyongan, Ki Putih Kelabu maju lagi menuju Ki Lading Ganda yang juga melangkah sempoyongan.
Ki Putih Kelabu mengambil napas dalam-dalam, lalu menghantamkan tinjunya ke
dada Ki Lading Ganda. Lading Ganda terlambat mengelak. Dia terpelanting jungkir
balik sampai ke lumpur. Lain Ki Putth Kelabu menghampirinya. Ketika Ki Lading
Ganda merasa sulit untuk ke luar dari lumpur, waktu itulah Ki Putih Kelabu
menghantam leher Ki Lading Ganda dengan ujung kakinya, Namun dia sendiri berteriak kesakitan dan jatuh terhempas di tepi lumpur.
Ki Putih Kelabu berusaha bangkit. Hampir tegak, dia jatuh lagi.
Ki Lading Ganda pun berusaha untuk bangkit sekeluarnya dari lumpur. Tapi dia tidak berdaya, lalu jatuh pula.
Kini kedua jagoan itu sama menelentang dalam jarak dekat dalam lelah dan sesak
napas. Mata mereka menatap langit. Ki Putih Kelabu berkata dengan napas sepotong
sepotong “Kau belum juga mau menyerah?”
“Belum”.
“Bangsat kau!”teriak Ki Putih Kelabu.
Langit semakin merah jingga, pertanda malam akan tiba. Ki Putih Kelabu berusaha
sekuat tenaga untuk berdiri. Begitu dia berdiri, setelah tiga langkah dia berjalan,
dilangkah keempat dia berteriak seraya mencuatkan tubuhnya ke udara, lalu kedua
kakinya menghentak ke perut Ki Lading Ganda.
“Adddduuuuuh!” teriak Lading Ganda menahankan nyeri perutnya.
“Mampus kau!” seru Ki Putih Kelabu.
Serentak dengan itu, setelah mengumpulkan tenaga, Lading Ganda bangkit yang
langsung mengejar dan menubruk tubuh Ki Putih Kelabu dengan sabetan gasingan. Ki
Putih Kelabu tegak teguh berdiri, lalu setelah itu dia jatuh tersungkur. Ketika dia
menelentang untuk bangkit, dari pandangan matanya di udara ada dua kaki yang mau
menghentak perutnya. Cepat dia berkelit berguling dan didengarnya suara teriakan,
“Aduh kakiku patah!”
Memang kaki Ki Lading Ganda patah seketika.
Ki Putih Kelabu hanya menatapnya saja dengan menyeringai, lalu dia berucap “Patah
kakimu sudah cukup bagiku.”
Lalu Ki Putih Kelabu pulang dengan hati yang sudah puas. Sewaktu dia melintasi
rumah Gumara, ia berfikir sejenak. Perlukah aku mampir? Dia merasa perlu.
Begitu dia mengetuk pintu dan terbuka, tampaklah olehnya Gumara tercengang,
Gumara bertanya “Kenapa bapak mandi lumpur dan darah ?”
“Aku ingin pulang dalam keadaan bersih,bolehkah aku numpang mandi di sini?”
“Tentu.”
“Boleh aku memetik daun sirih di pekaranganmu itu . .sementara itu aku minta tolong dengan sembah 10 jari agar kau sudi menjerang air panas?”
“Tentu, tuan Guru”, ujar Gumara dengan nada hormat. Gumara segera menjerang air
panas, sementara Ki Putih Kelabu memetik daun sirih. Setelah penuh dua kantong
baju Cina, sirih itu dibawa masuk. Dan langsung saja dimasukkan ke jerangan air. Dia
membuka pakaiannya, kecuali celana dalam. Gumara masuk ke kamar.
Tapi dia tak menyaksikan bagaimana Ki Putih Kelabu berbuat sesuatu di depan
tungku. Dia berkonsentrasi dengan mantera — Panas api panas matahari panas kau tungku panas kau tungku panas matahari —.
Jerangan air berisi daun sirih itu menggelegak mendidih. Lalu dia basuh luka-luka di tubuhnya dengan airpanas bercampur daun sirih yang jadi hancur macam bubur. Baru kemudian dia mandikan seluruh tubuhnya. Tiba-tiba Ki Putih Kelabu mendengar suara Gumara “Pak, ini pakaian untuk salin, pakaian Cina saya dan celana batik saya.
Semoga muat di tubuh bapak.”
Aduh betapa senangnya hati si tua dengan penghormatan itu. Apalagi baju Cina
maupun celana batik itu begitu pas. Dia ke luar dari kamar mandi dia berkata “Pita
Loka mengira aku barusan kembali dari pesta.”
Setiba Ki Putih Kelabu di rumahnya. dia mengharapkan dipuji oleh Pita Loka karena
berpakaian rapi. Tapi sekonyong yang muncul malah pertanyaan “Di mana ayah berkelahi dengan Ki Lading Ganda ?”
Sembari duduk menghempas, Ki Putih Kelabu terpaksa mengaku; “Kami bakuhantam
di Bukit Anggun”
“Ayah menang?”
“Dia patah kaki. Aku tentu menang.”
“Ayah menang, tapi ayah tidak menaklukkan dia. Dia tidak menyerah, bukan?”
“Betul.”
“Lalu . ,. .. baju Cina yang rapi ini tentulah ayah pinjam pada Guru Gumara”, ujar Pita Loka.
“Dari mana kau tahu, heh?”
“Dari huruf G di kantong”.
Ki Putih Kelabu langsung duduk bersila pada tikar permadaniBagdad , menyantap
makan malam.
“Masih gatal koreng teluh kamu itu?”
“Tidak lagi, ayah.”
“Besok akan sembuh. Percayalah. Biarpun dia tidak menyerah, patah kaki itu bukti
kekalahannya. Kami harimau yang berenam di Kumayan ini. seburuk-buruk laku kami, masih menghargai kelebihan lawan. Dengan patah kaki, kini pun dia mengakui kelebihanku daripadanya. Pengakuan itu mengurangi mantera-manteranya sewaktu dia menteluh kau.
Kurasa besok pagi ketika kau bangun, kau dapati wajahmu sudah
cantik kembali!”
Pita Loka terharu. Sewaktu dia menunggui ayahnya yang makan dengan lahap,
airmata gadis jelita itu pun berluruhan. Lalu airmata itu disaksikan Ki Putih Kelabu.
Tak ada bicara di antara keduanya. Tapi luruhnya airmata sang ayah, membuktikan,
jalinan kasih antara anak dan ayah maupun sebaliknya amat indah. Seindah angin yang menyanyi sembari mengipas keringat Ki Putih Kelabu yang akhirnya kekenyangan makan.
Malam itu Pita Loka menyukuri nikmat kehidupan
“Ya Tuhan, aku bersyukur punya ayah seperti Ki Putih Kelabu yang selalu sayang
padaku. Hanya padamu jua aku bersyukur dan memohon kesembuhan.”
Lalu dia memicingkan mata, tertidur pulas. Paginya ketika dia membuka mata,
pertama teringat kembali ucapan ayahnya bahwa wajahnya akan sembuh. Ketika dia
meraba mulut dan sekitarnya, dia tak merasa ada bentolan-bentolan koreng teluh.
Cepat dia melompat menuju kaca hias. Dan dia berucap lagi dengan berlinangan
airmata, “Terimakasih padaMu Tuhanku, aku kausembuhkan.”
Ketika sarapan pagi, sang ayah berkata “Kini sudah waktunya kau menyediakan diri
berguru pada ayahmu.”
“Usulan yang baik. Tapi lebih baik lagi jika ayah mengusulkan supaya saya berguru
pada Harimau Ke Sembilan Belas, bukan Harimau ke Dua ayahku sendiri.”
“Tapi si Wati berguru juga pada Ki Karat”, ujar sang ayah.
“Dia berbeda dengan saya”, kata Pita Loka.
Dan Harwati pun kaget ketika Pita Loka memasuki pekarangan sekolahnya dalam
keadaan cantik kembali.
“Ini hasil kerja keras ayahmu membela anak. Kudengar dia berbakuhantam selama
tiga jam di Bukit Anggun melawan Ki Lading Ganda”, ujar Harwati.
“Benar. Dan ayah menang.”
“Tadi pagi ketika kutemui di jalan, Ki Lading Ganda kakinya pincang,”
“Itu hasil pekelahian seru itu”, ujar Pita Loka, “Tapi tawaran ayah agar aku mewarisi ilmunya, aku tolak. Aku ingin jadi penerbang pesawat jet, bukan jadi harimau. Beda dengan kau, yang belajar mantap dari ayahmu, Sudah sejauh mana ilmu yang kau
dapat ?”
Harwati bangga menjawab, “Taruhlah tumpukan bara panas, aku akan berjalan di
atasnya dengan telapak telanjang.”
“Itu Ilmu Nabi Ibrahim”, kata Pita Loka.
“Adabaiknya kau belajar pada ayahmu”, anjur Harwati.
“Aku ingin belajar ilmu harimau pada Guru Gumara”, kata Pita Loka.
Seketika itu juga Harwati ternganga, lalu bertanya “Sudah kau kemukakan
maksudmu?”
“Tidak, aku hanya sekedar mengujimu saja, kau cemburu atau tidak pada ucapanku.”
“Aku cemburu”, kata Harwati.
“Apa alasan cemburumu padaku?”
“Kurasa dia lebih sayang kepadamu”, kata Harwati.
Pita Loka kaget “Jangan kau bohong.”
“Buktinya kemarin sore dia minta ayahku agar menyembuhkan sakit terkena teluh
yang kau derita. Dia sendiri meminta pada ayahku, apakah itu bukannya bukti bahwa dia lebih cinta padamu daripada pada saya?”
Pita Loka melongo.
Dan rupanya, ucapan Harwati itu telah melecut kembali semangat Pita Loka untuk
memenangkan persaingan. Ketika bubaran sekolah, Pita Loka menyamperi Guru Gumara dan berkata “Bapak tidak pulang naik sepedakan ?”
“Ya, betul.Ada apa?”
“Boleh saya berjalan pulang seiring dengan bapak?” tanya Pita Loka,
“Boleh saja”, sahut Gumara.
Harwati meneliti dari jarak jauh sewaktu Guru Gumara berjalan seiring dengan Pita Loka. Dia ingin melihat akhir perjalanan itu.
Ketika membelok ke jalan kecil, Harwati juga ikut membuntut dari jarak jauh. Pita Loka dengan gugup berkata “Pak, besar terimakasihku pada Bapak, yang membuang
waktu meringankan langkah ke rumah Guru Lebai Karat agar saya yang terkena teluh
diobati beliau.”
“Saya?” Gumara terheran.
“Jadi bukannya kemarin sore bapak kesana ?”
“Saya ada di rumah memperbaiki sepedaku yang suka dicakar kuku”, kata Guru
Gumara.
“O,maafkan. Jadi bapak bukan kesana ”, kata Pita Loka.
“Untuk apa saya kesana . Saya tidak akan kedukun selagi ilmu kedokteran dapat
menolong diriku. Ketika saya muntah darah, saya ke dokter Kadir, murid ayahmu itu.” Pita Loka sulit untuk menyembunyikan malu mukanya. Dia tahu Harwati membuntuti dari belakang tadi. Rupanya dia ingin melihatku malumuka.
“Baiklah pak, kita pisah di sini”, ujar Pita Loka.
Pita Loka melangkah berbalik agar dia dapat bertemu dengan Harwati. Begitu dia
berpapasan, Pita Loka langsung menuding “Kamu . . . . si cantik busuk!”
Pada malam itu juga, mengingat betapa dongkolnya dia pada Harwati, Pita Loka ingin berbicara resmi dengan ayahnya.
“Ayah, katakan padaku, siapa Guru Ayah?” Ki Putih Kelabu tentu saja gembira.
“Kau ingin belajar?”
“Saya ingin belajar. Tapi tidak menuntut ilmu pada ayah, Katakan padaku Guru
Ayah.”
“Guruku Harimau Tunggal”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Guru dari enam harimau di Kumayan ini ?”
“Benar”.
“Tapi setelah mendapatkan ilmu dari Harimau Tunggal, lalu kalian yang berenam
mengembangkan ilmunya sendiri-sendiri.”
“Begitulah jalan yang kami tempuh”, kata Ki Putih Kelabu.
“Tunjukkan padaku di mana Harimau Tunggal berada”, kata Pita Loka.
“Kenapa?”
“Bukankah di Kumayan baru ada enam harimau? Aku akan menjadi Harimau Yang
Ketujuh ”, ujar Pita Loka.
Mendengar ucapan puterinya itu, Ki Putih Kelabu bukan bersemangat. Tetapi beliau
menyesali “Sayang kamu terlambat, nak. Harimau yang ke Tujuh itu sudah hadir dan hidup di Kumayan ini.”
“Siapa?”
“Kau sudah tahu”.
“Siapa, ayah?” Pita Loka agak memaksa.
“Guru matematikamu itu. Guru Gumara Peto Alam”, ujar sang ayah.
Pita Loka tertawa mencemooh “Tidak mungkin. Dia tak meyakini ilmu yang ghaib-
ghaib. Sama halnya dengan saya sebelum saya terperangkap dua tiga kali untuk membuktikan ilmu nyata lebih tinggi dari ilmu tak nyata.”
Putih Kelabu dalam kesulitan. Dia kenal benar puterinya ini keras kepala. Tapi sikap keras kepala ini cukup sebagai modal.
“Lewatilah Bukit Anggun. Jika tiba dibukit itu, kau pandang ke timur. Di situ ada satu bukit lagi, namanya Bukit Kerambil. Disana ada guru yang khusus mengajarkan silat kera. Lalu kau lewati lembah di bawahnya untuk sampai kepada Bukit Cangang, di
mana di situ kau akan menemukan ahli-ahli sihir yang membikin orang tercengang-cengang. Semua bukit itu ada anaknya, kecuali sebuah bukit terakhir, Bukit Tunggal.
Disana ada sebuah guha. Di situ ada seorang lelaki tua pertapa. Beliaulah Harimau
Tunggal. Tapi .....………. apakah kau sanggup, menempuh jarak itu dengan syarat berpuasa siang malam? Seluruhnya 40 hari baru kau akan tiba disana . Beliau tentu akan gembira apabila kau minta diajari ilmu harimau, untuk pelengkap Harimau Yang Enam di Kumayan. Beliau sudah lama berharap mempunyai murid wanita, tapi tak ada yang ke sini, Apakah kau berani sendirian ?”
“Berani”, ujar Pita Loka dengan mantap.
“Bagaimana dengan sekolahmu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Sekolah untuk mendidik orang jadi pandai, tapi bukan mendidik bagaimana
mengatasi dibikin malu orang.
Bersambung...