Sebelumnya...
Hura Gatali geram. Dilihatnya tanah bumi itu. Di situ masih tersisa air ludah Pita
Loka. Niat jahat pun memperangkap batinnya. Dikoreknya tanah yang terkena ludah Pita Loka. Lalu dibungkusnya tanah itu dengan sapu-tangan, Dan dengan langkah dendam, Hura Gatali langsung menuju rumah Ki Lading Ganda.
“Saya menyerah sekarang, Ki Lading Ganda”, ujar Hura Gatali.
“O, saya faham. Kamu menyerah untuk belajar ilmu pada saya sebab kamu
membutuhkan sesuatu. Dulu, ketika jadi pahlawan Kumayan karena berhasil
membunuh ular sanca raksasa, saya sendiri menganjurkan padamu untuk
mempertinggi keberanianmu dengan belajar padaku. Kini kamu menyerah, tentu ada
sebabnya”.
“Ya, tentu ada sebabnya. Saya menyerah untuk belajar dengan tuan, tapi dengan
syarat agar tuan berikan bukti kepandaian tuan padaku lebih dulu”, ujar Hura Gatati
seraya mengeluarkan saputangan pembungkus tanah yang berisi bekas ludah Pita
Loka. Digelarkannya saputangan yang berisi tanah basah itu. Dan berkatalah pemuda
itu “Selagi ludahnya belum kering, saya minta anda kerjakan puteri Ki Putih Kelabu.
Namanya Pita Loka, dia hina saya dan dia ludahi bumi. Tak ada malu paling besar
selain penghinaan ini. Karena ludah ini datang dari mulut, dapatkah anda rusak
mulutnya yang cantik itu?”
Ki Lading Ganda tersenyum senang. Dia suruh Hura Gatali menghampirinya. Setelah
Hura Gatali mendekat, dibelainya kepala pemuda ganteng itu, Dia berbisik; “Sekarang aku senang. Karena semua anak harimau di desa Kumayan ini perempuan termasuk
semua anakku, kini ada yang akan mewarisi ilmuku. Aku yakin dapat merusak mulut
yang cantik itu menjadi buruk!”
Malam itu juga, Hura Gatali diminta untuk menyaksikan pekerjaan itu. Ki Lading
Ganda duduk bersila di kamar tempat dia selalu bersemedi. Hura Gatali di
sampingnya. Lalu Ki Lading Ganda mencabut dua goloknya sekaligus mengadu mata
golok itu sehingga terdengar bunyi disertai kilatan api. Dan golok itu seketika itu juga dari dua menjadi satu. Kalau tadi mata golok itu cuma satu, kini mata golok itu
menjadi berganda, muka dan belakang, tapi gagangnya pun menjadi kembar.
Golok dua yang menjadi satu itu pun ditaruh Lading Ganda di atas tikar. Lalu dia
berkata pada Hura Gatali “Taruh buah pepaya itu di depan golokku ini, Hura”.
Hura menaruh buah pepaya itu.
“Jika pepaya ini kepala si Pita Loka anak si Putih Kelabu anak si Mayang Saga anak si Peto Gaharu . . . coba kamu tunjuk saja di mana mulut Pita Loka!” Hura Gatali
menunjuk kira-kira tempat mulut Pita Loka.
“Rupanya dari mulut ini keluar ludah penghinaan Pita Loka kepada Hura Gatali”, ujar sang guru seraya memungut tanah bekas ludah Pita Loka dari saputangan, lalu
memolesnya pada buah pepaya yang ditunjuk Hura Gatali tadi.
Ujung golok lalu ditusuknya sedikit pada tepi bibir imajiner itu, dan getah pepaya itu mulai menyembul. Lalu keluar.
“Beginilah jadinya mulut Pita Loka yang menghinamu”, ujar sang guru. Hura Gatali
senang seketika.
“Itu semacam koreng bernanah ya tuan?” tanya Hura Gatali.
“Dan tidak akan sembuh”, ujar Ki Lading Ganda.
“Tapi jika ayahnya Ki Putih Kelabu lalu minta pertolongan Ki Lebai Karat,
bagaimana pak?” tanya Hura Gatali.
“Dia takkan mau, itu merusak gengsi. Mereka berdua merasa sama berilmu tinggi”,
ujar Ki Lading Ganda. Lalu, bahu Hura Gatali ditepuknya.
“Kapan saya bisa melihat buktinya, bahwa mulut Pita Loka berkoreng dan bernanah
ini, pak?” tanya pemuda ganteng itu.
“Besok pagi mampir saja ke rumahnya. Cari alasan untuk bertemu muka. Dan kau
berhak menghina mulutnya yang korengan dan bernanah itu”, ujar sang guru.
Ketika Hura Gatali tergesa hendak pergi, Ki Lading Ganda menyergap tangannya,
“Kapan kamu akan belajar padaku?”
“Jika ilmu bapak sudah saya saksikan”, sahut Hura Gatali.
“Memang kamu calon jagoan”, kata Ki Lading Ganda, “Sebab setiap jagoan
senantiasa punya kesan angkuh yang sebetulnya harga diri!”
Pada saat yang sama di tengah malam itu, Pita Loka merintih kesakitan. Dia merasa
mulutnya gatal. Ketika dirabanya mulutnya, terasa melendung bagai bisul. Cepat Pita Loka melompat menuju kaca hias antik. Dan dilihatnya wajahnya di kaca itu. Melihat
lendungan bisul di sekitar mulutnya, Pita Loka bukan menjerit. Dia hanya menahankan rasa gatal itu, dan seketika itu juga tahu siapa yang mengerjakan ini.
Dia bersitenang sejenak. Rasa gatal dia lawan. Rasa takut dia singkirkan. Dan ketika sebuah koreng (bisul) itu pecah, nanah pun keluar. Pita Loka kembali ke kaca. Dia lihat nanah busuk itu menetes sedikit demi sedikit. Dan ketika pagi ayahnya bangun,
Pita Loka bukannya mengadu pada sang ayah. Dia tunggu sampai reaksi ayah muncul.
Betul. Ayahnya terpana sejenak melihat mulut anaknya yang dihiasi koreng bernanah.
“Aku tahu siapa yang membuatku. Tapi kuharap, jangan ayah membantuku”, ujar Pita
Loka.
“Bagaimana kamu ini, Pita? Aku sudah dapat menerka, bahwa ini diperbuat oleh si
Hura Gatali bin DangSamar bin Abdi Kumat bin Taja Gugu. Dan dia pasti minta
kepandaian si Lading Ganda, sebab Lading Ganda bersimpati pada anak muda itu
ketika berhasil membunuh ular sanca tempohari. Nah, masihkah kau keras kepala
tidak minta bantuanku?”
“Saya dapat mengatasinya sendiri”, ujar Pita Loka. Setelah melayani ayahnya sarapan pagi, Pita Loka pergi ke rumah dr. Kadir. Dokter itu belum bangun. Begitu dia bangun dan melihat mulut Pita Loka, sang dokter risau.
“Saya minta pak dokter menyuntikkan obat antibiotik”, kata Pita Loka.
“Ini bukan koreng biasa”, kata sang dokter.
“Persetan dengan ilmu setan, Pendeknya saya minta dokter menyuntik saya dengan
obat anti biotik beserta obatnya”, segera Pita Loka menaruhkan uang di atas meja.
Setelah Pita Loka disuntik, lalu dokter memberikan kapsul anti biotik pada Pita Loka seraya berkata “Semoga cepat sembuh”.
Pita Loka ketika keluar dari pekarangan rumah dokter menjadi tontonan tetangga.
Mereka saling berbisik, “Kenapa dia tidak berobat pada ayahnya saja? Bukankah itu
mudah disembuhkan?”
Setiba di rumah, Pita Loka kembali dibujuk ayahnya, Tapi Pita Loka menolak.
Pita Loka teramat tenang. Rasa gatal ditahannya. Dia mencoba penyakit ilmu teluh
ini dapat diatasi secara akal sehat saja. Namun tekadang dia tergoda untuk belajar
ilmu sakti pada seorang guru yang jauh melebihi enam harimau Kumayan tersohor.
Cuma ketika dia digoda untuk itu, hatinya bertanya “Tapi apa ilmu sakti begini di zaman moderen mampu melawan bom kimia?”
Lalu dia persiapkan buku-buku sekolahnya. Ketika akan berangkat, Ki Putih Kelabu
menegurnya, “Pita, coba kau menghadap pada ayah”.
Pita Loka berbalik dan menghadap. Sang ayah tampak begitu sedihnya melihat
puterinya yang cantik berubah jadi buruk.
“Kenapa kau masih akan ke sekolah, padahal mukamu . . . . “
“ . . . Mukaku jelek? Ah, kecantikan dan keburukan itu pun relatif. Seorang gadis cantik setelah usianya tua pun jadi jelek”, sahut Pita Loka, “Saya akan berangkat
sekolah sekarang!”
“Pita!”
“Ya ayah?”
“Apa nanti pembicaraan orang-orang mengenai kau?”
“Justru itu yang saya harapkan. Mereka membicarakan saya. Dan mereka tahu, saya
tidak minta bantuan ayah. Lalu berobat pada dokter Kadir”, kata Pita Loka.
“Itu akan membuatku jadi malu”. kata Ki Putih Kelabu “Setidaknya mereka
menganggap ilmuku lebih rendah dari ilmu si Lading Ganda, sehingga tidak mampu
mengobati teluhan dia”.
“Biarlah tiap orang Kumayan membicarakan itu, Agar mereka yakin, saya tidak
bersedia menerima warisan ilmu ayahku”, kata Pita Loka.
Susah bagi Ki Putih Kelabu untuk marah pada puterinya. Karena dia amat begitu
sayang.
Setiba di sekolah, Pita Loka jadi tontonan murid -murid. Dia santai saja. Tapi Harwati memegang kedua bahunya “Hai, kamu diteluh seseorang!”
“Ya”.
“Minta bantuanlah pada ayahmu!” ujar Harwati.
“Aku tidak membutuhkan bantuan siapa pun”.
“Atau kau sedia jika saya yang membantumu?” tanya Harwati.
Pita Loka tersenyum “Alangkah luhurnya budimu, Wati!”
“Kau bersedia kuobati,sekarang juga?” tanya Harwati.
“Aku menghormati kesucian hatimu, Tersentuh hati nuranimu melihat temanmu
menderita teluh musuh. Alangkah baiknya kau, Harwati”, ujar Pita Loka.
“Tapi kau menolak kuobati?” tanya Harwati.
“Ya”.
Ketika Pita Loka memasuki kelas, semua biji mata tertuju pada mulut Pita Loka. Dan hari itu tidak ada jam pelajaran matematika. Tapi ketika jam pelajaran ilmu Fisika dan Pak Guru Gumara memasuki kelas, murid-murid berkata “Pak, obatilah mulut Pita
Loka”.
Barulah Gumara sempat melihat gadis manis yang kini sekitar bibirnya ditumbuhi
koreng. Wajahnya tenang. Tanpa kelihatan satu reaksi mengasihani. Ia seakan-akan
sedang diuji seluruh kelas untuk bersikap.
Bersambung...