Sebelumnya...
Mereka membelok ke kanan bersama. Jalan kecil ini kelak akan sampai di rumah Pita
Loka. Namun Harwati harus melewatinya sebelum dia menuju jalan pintas ke rumahnya. “Berdasarkan akal sehat, Pak Guru datang ke Kumayan demi karirnya sebagai guru. Karir itu memerlukan menjaga nama baik agar terhindar dari fitnah. Tapi kau dan saya cukup sehat pula tergila-gila pada Pak Gumara. itu hal yang wajar. Namun setelah saya fikir secara sehat, kita berdua bukan tergila-giia. Kita berdua sebenarnya gila. Mencintai pak guru itukan gila? Sedangkan tadi kita berdua tidak diajaknya mampir”.
“Itu karena kau muncul. Jika tadi kau tidak muncul sebagai orang ketiga, secara sehat Pak Guru akan mengajak saya untuk mampir. Itu wajar saja, sebab saya telah
menolong dia dari jebakan Lading Ganda. Kini jelas olehmu bahwa kau salah duga.
Kau menganggap saya ini saingan kamu. Padahal saya tidak punya saingan seorang
gadis pun dalam merebut hati Pak Guru”.
“Kau ingin mampir ke rumahku?” tanya Pita Loka setiba di depan rumah.
“Terimakasih. Dan renungi ucapan terakhirku tadi” ujar Harwati.
Setiba di rumah, Pita Loka benar-benar merenungi ucapan Harwati. Namun dia
akhirnya berkata sendiri “Tolol dia mengira menanam budi itu sebagai perbuatan
konkrit. cuma perbuatan abstrak, dan Pak Guru tidak kagum pada hal-hal abstrak”.
Ki Putih Kelabu yang mendengar Pita Loka bicara sendirian lalu nyeleluk “Kau bisa
jadi gila, anakku!”
Pita Loka tersadar dan merasa malu. Namun dia cepat menjawab “Saya bisa jadi gila? Saya rasa tidak”,
“Barusan saja aku duduk di warung. Orang-orang mengagumi Harwati, karena dia
barusan saja membela Gumara Peto Alam sebelum si Peto Alam terjebak dengan
pancingan yang dibuat Lading Ganda”.
“Lalu ayah kira itu budi baik?”
“Budi baik! Budi baik mengatasi harta kekayaan. Budi baik mengatasi orang-orang
pintar berotak encer sepertimu. Kau sudah ketinggalan dua langkah dari Harwati,
kendati kau mengira kamu cantik!”
Pita Loka merasa dilukai ayahnya.
“Lalu ayah gembira jika saya gagal memikat Gumara Peto Alam yang hebat itu? Lalu
ayah gembira jika Harwati yang lebih berhasil dari saya?”
“Aku malah jadi sedih!” Ki Putih Kelabu menghentakkan kaki ke lantai papan
rumahnya,” Selain sedih aku malu! Malu kalau semua orang tahu bahwa puteri Ki
Putih Kelabu kalah bersaing dengan puteri Ki Lebai Karat, Malu ini bagiku hanya
dapat ditebus dengan nyawa”.
“Saya juga malu jika ada orang yang tahu bahwa ayah beradu kekuatan dengan Ki
Lebai Karat demi supaya saya menang dalam persaingan. Saya juga malu pada bekas
luka cakaran di jidat ayah, dicakar oleh Ketua Harimau yang tak bisa ayah tandingi”.
“Hei dengar, Pita Loka!” ujar Ki Putih Kelabu dengan nada sedih, Dia duduk di kursi goyang, dan suaranya pun luruh “Jangan kaget, apabila bekas cakaran ini bukannya
bekas kuku Ki Karat. Ini bekas cakaran Gumara!”
“Ayah! Jangan memfitnah!” seru Pita Loka.
“Aku tak menggemari fitnah. Harap saja kau rahasiakan hal ini. Demi cintaku
padamu, harus kuceritakan hal ini kepadamu. Demi cintaku padamu, justru akulah
yang menginginkan Gumara jadi suamimu. Demi keturunan darah keluarga kita akan
berkembangbiak, beranak pinak. Tengah malam aku datangi dia. Aku secara jantan
meminta kepadanya, agar dia sudi memperisterimu. Tapi harap kau jangan sedih, dia
menolak saranku itu!”
Pita Loka terdongak kaget.
“Aku sedih, demi cintaku padamu, Aku malu, demi kehormatanku sebagai ayah,
Lalu aku keluarkan semua ilmuku. Kami berkelahi. Namun dia menang. Jadi, aku
telah kalah dua kali, anakku!” Pita Loka melihat ayahnya meneteskan airmata. Tanpa
dia sadari, betapa pun dia coba bertahan, airmatanya pun ikut berhamburan,
“Ayah salah langkah”, ujar Pita Loka dengan pilu.
“Memang aku salah langkah”.
“Tanpa sadar, ayah telah menjegal saya”, kata Pita Loka.
“Yah, ini terpaksa kau ketahui. Aku harus mengajarmu jujur, terus terang dan hal ini kupupuk dalam jiwamu sejak kecil. Kini kau dan ayahmu sama sedih dan sama malu!”
Pita Loka melompat menyambar tubuh ayahnya, memeluknya “Jangan berkecil hati,
ayah. Memang saya pun jadi sedih dan malu karena tindakan ayah yang tergesa-gesa.
Saya akan berusaha untuk menjadi pemenang dalam persaingan merebut hati Pak
Gumara”.
“Tidak perlu lagi. Persaingan itu sudah tak ada lagi. Dengan perbuatanku yang salah langkah itu, persaingan itu musnah sudah, Dan kini, Harwati yang merupakan satu-
satunya pemenang”.
“Tidak, ayah”, bantah Pita Loka, “Jalan apa pun akan saya tempuh untuk menebus
sedih dan malu ini, Jalan apa pun!”
“Lalu apa rencanamu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Kini saya meyakini yang ghaib. Di atas segala yang konkrit dan nyata, ada
keghaiban yang tersembuyi, yang mesti dicari mata hati manusia. Saya akan meninggalkan cara konkrit, demi sedih dan malu ini”.
Alangkah gembiranya sang ayah.
“Kau akan mencari guru penakluk?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Ya”.
“Alangkah senangnya hatiku! Kucoba mengajarkan, demi mewarisi ilmuku padamu,
kau tolak selama ini! Kini kau sendiri menyatakan padaku akan berguru. Boleh ayah
tahu kepada siapa kau akan berguru?” “
“Yang terang bukan kepada Pak Gumara Peto Alam. Ayah bilang, Peto Alam adalah
harimau yang ketujuh di Kumayan. Tapi saya akan berguru kepada Harimau Yang ke -19”.
Mendengar angka yang aneh itu, Ki Putih Kelabu kuatir puterinya sudah menjadi gila. Sebaliknya, Gumara kini merasa dirinya lebih aman dari dulu. Kalau ibunya bercerita tentang desa Kumayan begitu mengerikan, kini Gumara tidak melihat kengerian itu.
Tapi dia pun sadar, bahwa dia sebenarnya dicintai oleh dua gadis cantik di Kumayan ini. Namun tujuan Gumara ke sini bukan untuk bercinta. Semata-mata memenuhi
khayalannya di masa kanak, lalu ingin bertemu dengan Ketua Para Harimau
Kumayan, dan kebetulan ditugaskan mengajar matematika ke sini.
Gumara mempunyai kesan,kota kecil kecamatan ini sesungguhnya memiliki bibit-
bibit manusia unggul dalam llmu Fisika dan llmu Matematika. Dia berharap, salah
seorang daripada bibit unggul itu dapat melanjutkan ilmu kekota agar dia menjadi
sarjana dan ilmuwan. Dia telah menguji ketajaman otak bibit unggul ini. Pendeknya
semua soal dapat dijawab tangkas oleh Pita Loka.
Dan suatu hari di depan kelas Gumara bertanya pada Pita Loka yang barusan
menyelesaikan soalan dalam waktulima menit dari waktu setengah jam yang disediakan.
“Setamat SMP, ke mana kamu akan melanjutan pelajaran?” tanya Gumara.
“Kawin”, ujar murid lelaki. Ini membuat seisi kelas ketawa terkakah. Pita Loka
biasanya tersipu-sipu malu tapi setuju. Kini dia berubah banyak. Dia yang gemar
bercanda dan suka mendebat, berubah menjadi pendiam. Hal itu pun diketahui oleh
Gumara.
“Kamu pendiam sekarang, Pita Loka”, ujar Gumara.
“Patah hati, Pak”, kata murid-murid lelaki. Seisi kelas tertawa terkakah-kakah lagi.
Segera saja Gumara ingat pada kedatangan Pak Putih Kelabu dulu, Yang menyuruhnya melamar puterinya itu. Yang ditolaknya. Yang menyebabkan uji adu tenaga. Yang mungkin saja hal itu diceritakannya pada Pita Loka, sehingga kelincahan Pita Loka yang dulu memikat, kini lenyap.
Hal ini pun diketahui oleh Hura Gatali, sekalipun hanya reka-rekaan saja. Hura Gatali yang bertubuh kekar itu, yang pernah dianggap pahlawan muda setelah berhasil
membunuh seekor ular sanca yang panjanguya 15 meter itu, sekarang mencoba mendekati Pita Loka. Dicegatnya Pita Loka sepulang dari sekolah.
“Boleh saya temani kau pulang?” tanya Hura Gatali.
“Tidak”.
“Wah, mentang-mentang kamu cantik ya, saya ini kau kira pengemis cinta!”
“Masa bodoh!” balas Pita Loka.
“Memang teman kecantikan adalah judes dan angkuh”, ujar Hura Gatali.
Pita Loka berhenti sejenak. Ingin saja diludahinya pemuda iseng itu. Lalu dia
melanjutkan melangkah. Dan Hura Gatali melanjutkan menggoda.
“Percuma kamu mengharapkan cinta Pak Gurumu. Semua orang tahu, bahwa Pak
Gurumu lebih suka pada Harwati. Jadi sebaiknya kamu dengan saya saja”, ujar Hura
Gatali menggoda.
Pita Loka menghentikan langkah. Dia menatap Hura Gatali. Kali ini bukan muka
Hura Gatali yang diludahinya. Tapi tanah bumi yang dia ludahi sembari memaki
“ Lelaki tak tahu sopan santun!”
Dan Pita Loka melangkah bergegas pergi. Dan Hura Gatali terdiam malu. Wajahnya
merah padam sampai Pita Loka hilang di simpang jalan.
Bersambung...