Sebelumnya...
Gumara hadir di Kumayan ini bukan untuk jadi guru sekolah. Tapi untuk menggenapi
kami yang enam menjadi tujuh. Harap kau ketahui, angka tujuh adalah angka
keramat, seperti semua angka ganjil 1, 3, 5, 7. Sedangkan 8, 9, 10 pun masih bisa
dibagi!” Otak matematika Pita Loka lantas menjabarkan angka itu. Senyumlah dia.
Di depan kelas, Guru Gumara sedang menerangkan pelajaran “Berdasarkan
penjabaran secara matematis, angka 19 merupakan yang tertinggi. Dan itu penemuan
saya, bukan Wagner dan bukan Einstein. Angka 19 adalah pilar tertinggi dari semua
angka!”
Pita Loka unjuk telunjuk “Bukannya angka 7 yang tertinggi, Pak?”
“Menurut saya, bukan angka 7. Menurut penelitian saya secara pribadi, angka 7 masih mengandung unsur relativitas. Tetapi angka 19 adalah angka konkrit yang benar-
benar tertinggi dan tak bisa dibagi. Kalau kamu tak percaya, Pita Loka, tanyakan saja
kepada ayahmu”.
Semua murid tertawa. Mereka mentertawakan Pita Loka, sebab selama ini Pita Loka
mampu menjawab, namun kali ini dia terbengong-bengong.
Dan dia pun tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang kagum dan jatuh cinta itu,
seketika dia memberi komentar “Pak Guru lebih pandai dan sarjana dunia mana pun”.
“Aku cuma menemukan teori matematika yang kusebut tadi itu berdasarkan ayat
Kitab Suci yang berbunyi Di atas itu, ada 19. Apa maksud ayat ini kecuali sebuah teori berdasarkan matematika? Ingatlah jika ayat itu berbunyi dalam Bahasa Inggerisnya Over it are nineteen. Di atas itu ada sembilanbelas. Nah, kini ada baiknya kita membuat soal”.
“Wuuuuu”, gerutu murid di kelas, sebab mereka kurang senang apabila soalan
matematika dibuat dalam kelas.
Ketika murid sibuk menjawab soal, muncul Lading Ganda ke dalam kelas. Beliau
dihormati ketika masuk oleh Gumara yang bertanya “Tuan guru ingin bertemu dengan
saya?”
“Ya. Saya ingin bicara sebentar, Peto Alam”, ujar Lading Ganda.
Mereka berdua menghindari kelas dan keluar. Lelaki tua itu berbisik “Maukah kau
menolong keluarga kami?”
“Apa yang bisa saya tolong?” tanya Gumara.
“Puteriku yang sudah bersuami, diguna-gunakan orang.
Dia sekarang membLiat aib keluarga kami, merangkaki dinding!” ujar Lading Ganda.
“Wah, saya bukan dukun, Tuan!” ujar Gumara.
“Jadi Tuan menolak” permohonan saya yang cukup rendah hati?” tanya Lading
Ganda dengan nada ancaman.
“Kalau begitu, akan saya coba sepulang mengajar nanti”, ujar Gumara. Tetapi
Harwati memperhatikan dari kelasnya dengan cermat. Dia melihat ada hal yang tidak
wajar apabila jagoan semacam Lading Ganda mendatangi Gumara ketika Gumara
mengajar di kelas Pita Loka.
Maka ketika ada kesempatan pada jam istirahat, Harwati mendatangi Gumara yang
kebetulan sedang berdebat dengan Pita Loka. Kata Harwati pada Pita Loka “Maaf
saya mengganggu pembicaraanmu dengan Pak Guru. Saya bisa bicara sebentar saja
dengan Pak Guru?”
“Boleh. Tapi Pita Loka sebaiknya ikut mendengar. Sebab saya tak suka pembicaraan
rahasia”, ujar Gumara.
“Ah, dia akan mentertawakan saya, Pak”, ujar Harwati.
“Kalau begitu saya menyingkir demi sopan santun”, ujar Pita Loka yang segera
menghindar.
“Adaapa sih?” tanya Gumara.
“Tadi Lading Ganda menemui bapak?” tanya Harwati.
“Ya betul.”.
“Puterinya terkena guna-guna. Tentu bapak dimintainya pertolongan”, ujar Harwati.
“Betul. Saya sudah berjanji datang ke rumahnya”.
“Hati-hati, Pak. Itu cuma samaran. Bapak tahu, di Kumayan ini ada enam jagoan. Satu di antaranya Lading Ganda. Tiap jagoan di Kumayan, ingin menguji ilmu bapak. Itu
tipu muslihat Lading Ganda saja, pak”.
Gumara hanya tersenyum santai “Ah, kita tak bolah buruk sangka pada siapa pun.
Saya hadir di Kumayan dengan maksud baik. Sebagai guru sekolah. Kamu tak usah
risau”. Mendengar penolakan sarannya itu, Harwati amat kecewa. Dan cemas!
Sehingga dia ingin menanamkan budi baiknya lagi kepada sang guru. Maka dia buru-
buru pulang sebelum jam belajar habis hari itu. Dia khusus berjalan melewati rumah
Lading Ganda. Memang kedengaran suara teriakan histeris orang kesurupan. Dan
karena itu pula ada alasan baginya untuk mampir ke rumah Ki Lading Ganda, Ketika
dilihatnya Pina-- Puteri sulung Lading Ganda--merangkaki dinding dengan berteriak-
teriak, Harwati berkonsentrasi sejenak. Ki Lading Ganda tahu bahwa puteri Ki Lebai
Karat saat itu sedang berkonsentrasi. Tepat ketika itu Gumara memberi salam ke seisi
rumah untuk masuk.
Konsentrasi Harwati tetap tak buyar dengan datangnya Gumara. Gumara pun
akhirnya tahu Harwati sedang berkonsentrasi dan sedang mendapat kesulitan. Gumara
ingin membantu Harwati yang sedang mendapat kesulitan. Diam-diam dia menatap
mata Pina yang kayak mata setan.
Tiga belas orang yang hadir tegang semuanya. Tapi semuanya tak mengetahui apa
yang sedang diperbuat Gumara, sebab semua mata memperhatikan tingkah Harwati
yang begitu tegang dalam konsentrasi. Juga semua orang tak mengetahui ketika
Gumara melenguh dan lenguhannya bagaikan menampar muka Pina. Dan Pina
terbanting di lantai lalu sadarkan diri.
Ketika itu pula Harwati mengembangkan jari-jarinya yang tadi tergenggam bagai
tinju.
“Nah, Ki Lading Ganda sebaiknya berterimakasih kepada puteri Ki Karat. Saya kira
puteri anda telah sembuh total”, ujar Gumara.
Harwati senang sekali, sebab di balik kalimat gurunya ini tersembunyi pujian tak
langsung.
Lalu, ketika Harwati pamitan pada keluarga Lading Ganda, maka Gumara pun ikut
berpamitan. Dengan alasan terburu waktu, Gumara menolak minuman kopi daun yang
disediakan Lading Ganda untuknya, juga untuk Harwati.
Gumara dan Harwati jalan beriringan. Jalan itu menuju rumah Gumara. Harwati
berkata “Saya cemas sekali bapak akan lebih dulu tiba di rumah Ki Lading Ganda.
Maka saya segera meninggalkan kelas sebelum pelajaran selesai”.
“Kau masih saja berburuk sangka”, kata Gumara.
“Itu hal yang pasti. Bapak tahu, yang meracun bapak sebetulnya bukannya bu Tarikh.
Bu Tarikh cuma minta rempah-rempah racun itu kepada Lading Ganda untuk dia
masukkan ke dalam makanan rantang yang diantar Pak Yunus. Tahukah bapak bahwa
ayahku mati-matian melakukan pengobatan terhadap Bu Tarikh dalam jarak jauh
sewaktu ayahku menyuruh bapak segera menemui Bu Tarikh?”
“Salam terimakasihku pada Ki Karat, ayahmu, atas bantuan dari jauh itu. Juga
terimakasih padamu yang tadi sudah mendahuluiku mengobati si Pina sebelum saya
kena jebakan Lading Ganda”.
Di samping jalan itu, Pita Loka memergoki Harwati dan Guru Gumara sedang
melangkah berdampingan. Pita Loka bukan menghindar, tetapi menggabung. Dan
langsung saja berkata mengolok gurunya; “Wah, Pak Guru barusan saja jadi dukun
menyembuhkan Ki Lading Ganda ya?”
Harwati mendongak kepada Pita Loka “Itu hanya jebakan, karena itu aku mendahului
datang ke rumah si Pina. Yang membuat si Pina histeris kayak orang gila itukan
ayahnya sendiri, Pita?”
“O, jadinya kau yang dukun, Wati?” Pita Loka sinis.
“Kau jangan menyindir, Pita”, ujar Harwati.
Kemudian Gumara berhenti melangkah “Saya akan istirahat. selamat siang”.
Harwati dan Pita Loka sadar bahwa mereka berdua ditinggalkan Gumara yang
langsung memasuki pekarangan rumahnya.
“Saya rasa kita berdua tak usah bersaing lagi, Wati”, ujar Pita Loka sewaktu keduanya sama melangkah meninggalkan tempat mereka tercengang tadi.
“Apa kau merasa saya menyaingi kamu?” tanya Harwati.
“Saya merasa begitu”, kata Pita Loka.
“Saya hanya menyelamatkan Pak Guru”, ujar Harwati.
“Untuk menanam budi baik kedua kalinya?”
“Ya”. sahut Harwati tegas.
“Tapi budimu tetap saja tidak dibalasnya dengan cintanya. Dia lebih menyukai ilmu matematika dari ilmu ghaibmu itu, Wati. Tapi jika pun dia bersimpati karena di
kelasku akulah jagoan matematika, toh Pak Guru tidak juga akan jatuh cinta pada
saya. Itu maka kau dan saya tidak perlu bersaing lagi. Secara singkat, Wati . . . di
Kumayan ini tak ada satu manusia pun yang ditakuti, dikagumi dan dicintai Pak Guru.
Termasuk enam manusia harimau yang hebat-hebat seperti ayahmu, ayah saya
maupun Lading Ganda. Kita hanya kehabisan energi untuk mamperebutkan Pak
Guru”.
Harwati terdiam sejenak, meski hatinya jengkel.
Dan mereka berdua tetap berjalan seiring, sekalipun dengan batin yang bertentangan.
Bersambung...