Sebelumnya...
Ki Putih Kelabu mulai geram. Terdengar dengus nafasnya yang sesak, nafas harimau!
“Puteri tuan, Pita Loka, rasanya belum patut diperisteri. Baik oleh saya, maupun oleh
lelaki lain. Dia terlalu muda”, kata Gumara. “Anda hanya berkilah, Peto A/am! ” Aku ingin menguji, sampai mana batas maluku!” suara Ki Putih Kelabu menjadi tambah geram.
“Tuan jangan tantang aku berkelahi, Ki Putih Kelabu!” ujar Gumara, “Aku tak pandai
berkelahi. Aku hanya guru matematika”.
Tapi ucapan Gumara yang sabar, bukan menjadi air si dingin . Malah ucapan Gumara
dianggap air mendidih yang disiramkan ke mukanya. Ki Putih Kelabu dengan secepat
kilat meloncat dan tubuhnya langsung berubah menjadi seekor harimau.
“Pulanglah anda!” pinta Gumara.
Tetapi harimau itu menggeram dengan bengis. Dengan satu gerak mundur, dia lalu
meloncat ke depan menerkam Gumara.
Gumara mencoba menangkis dengan tendangan sembari jatuh miring. tendangan itu
agaknya begitu hebat, sehingga darah bercucuran dari tulang rusuk sang harimau.
Harimau itu tetap saja menghambur deras, menerkam Gumara. Tetapi Gumara mengibaskan lengan untuk mengelak, sehingga sang lawan tersungkur setelah
menghajar sebuah kursi sampai hancur.
Gumara tegak tegap menanti.
Dia berharap si tua itu kapok. Dia menghirup nafas sejenak, dan hampir saja lengah.
Satu tubrukan ditangkisnya dengan tinju. Tepat mengenai dada harimau itu sebelum
cakarnya mengenai muka Gumara.
Rupanya tinju itu begitu ampuh.
Terdengar suara hentakan nafas dari mulut harimau itu menjelang dia jatuh
tertelentang.
Gumara tidak ingin melayaninya lagi. Gumara langsung ke kamar mandi. Dia handuki
keringatnya. Keringatnya menetes lagi. Dia berhanduk lagi! Dan kemudian dia
melihat pada jam dinding. Wah, satu jam kami telah berkelahi. Tapi rupanya
perkelahian sedemikian hebat dan cepatnya. Keringatnya dihapusnya lagi dan
dipungutnya pecahan kursi tadi, sembari melirik ke tubuh yang terlentang di lantai itu.
Dan tubuh itu bukan tubuh harimau iagi. Tetapi tubuh lelaki tua, Ki Putih Kelabu.
Jidatnya berbekaslima garis yang masih menetes luka.
Rusuk bajunya robek dan darisana tampak juga darah.
Gumara kasihan juga padanya. Dalam keadaan si tua pingsan itu, Gumara mendekapkan telapak tangan pada luka di jidat dan di perut. Hingga keringlah seketika.
Lalu Ki Putih Kelabu siuman dari pingsan. Dan bangun dengan meringis. Dia memegang dadanya, Gumara berkata, “Pak, coba buka pakaian tuan. Tadi saya tinju dada tuan”.
Ki Putih Kelabu membuka pakaiannya. Tampak bekas tinju Gumara membiru di dadanya. Lalu Gumara melekatkan jempol jari ke langit-langit mulut. Lumeran dari langit-langit mulut itu digosokkan Gumara ke dada yang biru itu. Ki Putih Kelabu meringis, Gumara berkata, “Tahankan sebentar”, lalu dia barut dengan jempol jarinya ke bekas tinju yang membiru itu.
“Aku ingin berguru padamu, Peto Alam”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Cukup puteri anda saja yang berguru matematika pada saya”, sahut Gumara.
“Di mana kamu belajr ilmu macanan begitu hebatnya?” ujar Pak Tua.
“Belajar? Saya tak pernah belajar kecuali untuk menjadi guru sekolah SMP saja”.
“Luar biasa!” ujar Ki Putih Kelabu.
“Ah, saya cuma orang biasa saja”.
Setelah mohon maaf pada Gumara, Ki Putih Kelabu pun pulang. Dia melihat
wajahnya di cermin, Bekas cakaran layaknya! Juga di perut bekas cakaran macan
juga! Ha?
Dan rupanya, perkelahian seru yang satu jam malam itu, membuat Ki Putih Kelabu
lelah sekali. Dia tidur menggeletak begitu saja bagaikan orang mati, sampai tiba
waktunya subuh.
Betapa terkejutnya Pita Loka sewaktu kembali dari surau, mendapatkan ayahnya
ketiduran. Dia kasihan melihat sang ayah bagai lelaki tua tidak diurus sepertinya!
Diciumnya kening sang ayah dengan sayang. Tapi dia amat terkejut melihat bekas
guratan luka yang mengering!
“Ayah!”
“Apa Pita?”
“Ini bekas luka?”
Lalu diguncangnya sang ayah dengan kesal. Tapi Ki Putih Kelabu pun kesal pula
sebab letihnya belum hilang.
“Ini di jidat ayah semacam bekas cakaran yang mengering, apa ayah kembali
berkelahi dengan Ki Lebai Karat?” tanya Pita Loka.
“Bukan”, sahut Ki Putih Kelabu.
“Ayah jangan berdusta!”
“Sungguh bukan, Pita. ini cuma perkelahian dengan harimau biasa. Aku tadi malam
ingin berlatih silat lagi, lalu kuundang si Mantege”.
Setelah menyiapkan sarapan pagi dengan kopi daun (kopi daun adalah ternikmat bagi pewaris ilmu harimau . . . maka Pita Loka menyelidiki lagi bekas luka di kening itu.
“Itu bukan bekas cakaran harimau, pasti cakaran Ketua Harimau. Rupanya ayah ingin membuktikan diri lebih hebat dari Ki Karat, ya?”
“Lagi-lagi kau sebut lagi nama Ki Karat! Kau kira ia pantas kulawan untuk
menggertak dia? Untuk membuktikan padanya, bahwa jika aku menang dari Ki Karat
lantas kau patut jadi isteri Gumara?”
“Ayah harimau tua yang konyol”, Pita Loka menggerutu.
“Sebentar, Pita!” ujar Ki Putih Kelabu geram.
“Aku mau menyiapkan buku-buku pelajaran”, Pita Loka tak acuh.
Ki Putih Kelabu mendatangi puterinya tercinta. Dibelainya rambut Pita Loka yang
sedang berkaca di kaca hias antik itu, lalu bertanya “Kau kira kamu begitu cantik dari
Harwati, sehingga Gumara Peto Alam bisa tergiur padamu?”
Mendengar ucapan ayahnya itu, Pita Loka berkata geram “Yang jelas, saya tidak
membutuhkan dukungan ayah dalam bersaing dengan Harwati !”
Dan Pita Loka mengulangi kemba!i kejengkelannya “Ayah konyol”.
Ki Putih Kelabu meninggalkan puterinya menuju ruang tengah. Sembari tegak dia
menikmati kopi daun. Dia berkata “Semoga kamu dengar, Ki Karat bukan sainganku.
Tapi pasti, Harwati sainganmu. Kau tidak memiliki kelebihan apa-apa dari
sainganmu”.
Ucapan itu didengar Pita Loka yang sedang bersisir. Gadis itu melempar sisir ke
tempat tidur. Dia melangkah jantan mendekati sang ayah lalu membalas “Harwati tidak pantas jadi saingan saya”.
“Kau mengira Gumara mencintaimu, ya nak?” tanya sang ayah bernada sedih.
“Ya”.
“Kalau ya, potong semua kuku-kuku harimauku”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Kenapa ayah begini pesimis? Tak layak seorang jagoan di antara enam jagoan
Kumayan ini untuk berkata demikian!” ujar Pita Loka.
“Kini di Kumayan bukannya enam jagoan lagi yang menjadi pagar kejantanan. Kini
di Kumayan telah ada tujuh jagoan, anakku!”
“Tujuh?” tanya Pita Loka heran.
“Betul, tujuh. Yang ketujuh itu adalah Gumara Peto Alam”.
Mendengar itu, Pita Loka tersenyum menyeringai. Hatinya begitu yakin ketika
berkata “Tidak pernah saya dengar, jagoan yang berilmu tinggi pantas terkena racun
sampai muntah darah”.
“Itu aku tahu. Aku sudah faham mendengar laporanmu ketika Gumara muntah darah
di dalam kelas. Lalu Harwati yang mengobatinya dengan ilmu warisan ayahnya yang
hebat. Tapi siapa tahu itu cuma siasat saja? Untuk mengelabui anggapan enam
harimau Kumayan lainnya? Baru terbukti dia bukan jagoan ilmu ghaib jika dia mati
diracun!”
Pita Loka mencoba mencerca analisa ayahnya. Baru dia berkata kemudian dengan
nada pasti “Dia lebih menyukai ilmu matematika ketimbang ilmu ghaib yang tidak
masuk akal itu. Dia bukan tampang manusia yang gemar berkelahi. Dia lebih pantas
untuk dicintai daripada untuk dilawan, ayah!”
“Soal begitu, aku tak usah kau ajari, anakku! Akulah yang pantas mengajari kamu.
bahwa Jagoan yang menyamar lebih berbahaya daripada yang suka pamer kekuatan.
Bersambung...